25 Mei 2016

Mekar dalam Mimpi

Puisi-puisi Panda MT Siallagan

Kota Mekar dalam Mimpi Kami

Setiap kali mimpi kami mengembara pada malam-malam lengang dan jejak-jejak kami berpecahan jadi bintang-bintang, kami selalu membangun kota ini jadi kebun dan ladang-ladang semarak. Daun-daun menyalakan warna hijau, melambai memulihkan letih kami, menari mengiringi mimpi yang kerlap-kerlip seperti gemerlap lampu dan cahaya melukis harapan kami jadi bunga-bunga yang bermekaran, menyalakan taman di sepanjang jalan-jalan yang kami ibadahi.

Maka wewangianpun berhamburan dari pucuk-pucuk rumput, menguapkan aroma sejuk dari peluh dan airmata kami. Dan karena ketabahan kami, embun-embun berkilatan, berpantulan jadi gelombang yang menggemuruhi nafas kami. Geloranya memahat-mahat kedamaian jadi rangkaian bukit-bukit.

Dari kota ini kami manatapnya seperti sedang berkunjung dan membawa doa-doa ke dalam hati kami. Kami temui keheningan dan menjadi takjub: alangkah indah kota kami, tertata rapi dalam mimpi, terawat indah dalam doa-doa.

Dan kami makin bergairah menyulam rakaat-rakaat jadi bentangan alam, jadi hamparan sajadah. Kami lalu membangun istana-istana peristirahatan di sepanjang jiwa kami dan terus membesarkan kota ini dengan mimpi yang menggelora karena doa-doa. Taman-taman kami tanami dengan senyuman. Setiap sudut kami pagari dengan pelangi yang dijemput hati kami dari langit tak berkabut. Asap dan api yang merimbun menyesatkan usia kami ke dalam lindap resah, telah kami halau dengan hujan airmata dan hutan-hutan itu telah kembali menjadi kokoh memagari rumah kami.

Dan di langit biru, keriangan kami bersilangan, mengepak-ngepak jadi burung dan mencericitkan tembang-tembang sorga di atas atap-atap rumah kami. Angin berhembus saban waktu. Merangkai nyala mentari dan senyum rembulan jadi jembatan. Kami melintasinya sambil bersiul menemani kupu-kupu dan capung-capung yang membingkai sukacita kami jadi ombak-ombak kecil di sepanjang sungai yang mengalir tenang di rongga darah kami.

Seperti seruling gembala di padang-padang hijau, kebahagiaan kami melengking, mengirimkan nyanyian ikan-ikan dari dasar sungai yang mengekalkan batu-batu jadi keheningan di jiwa kami, dari dasar laut yang mengokohkan karang-karang jadi ketabahan di hati kami. Tapi, setiap kali kami terjaga, kota dan tanah kami selalu pecah. Taman, kebun dan ladang-ladang memuing, terbang jadi debu, harapan dan mimpi-mimpi kami tersesat. Tapi kami selalu menguntai doa-doa dan berdamai dengan resah yang mendera di hati kami, agar rumah kami bisa membesar jadi sarang damai.

Pekanbaru, 2003




Rumah

Sudah selapuk rindumu
rumah itu. Dingin dan lembab
yang mengalir dari matamu,
melukiskan sunyi di dindingnya

Ketika kau berkunjung
membawa rindu, lantai
sudah berlubang-lubang
digali luka. Nafasmu tersentak
Kau berlari ke halaman
tapi pekarangan sudah usang

Tak ada lagi taman,
juga bunga-bunga
untuk kau petik jadi
kenangan, sejarah kepergian
Sejauh apa
kita telah mengembara?

Pekanbaru, 2003


Suara Penyair

Aku telah membakar tubuhku dengan api kata, tapi kau sebut di jemariku masih tumbuh mawar. Telah melepuh mataku oleh bara kalimat, tapi selalu kaulihat sungai jernih memantulkan bulan di situ. Aku telah memanggang jiwaku dengan sajak-sajak, tapi kaubilang di dalamnya masih terbentang hutan hijau. Telah menjadi arang jantungku oleh syair-syair tapi selalu kaudengar denyut kesucian di situ. Kapan kau paham makna kepedihan?

Pekanbaru, 2003
Bagikan:

2 komentar:

Terimakasih kunjungan Anda. Salam Literal...!