26 Agustus 2018

Sempat Pulang ke Kisaran, Hamsad Rangkuti Drop di Medan


Hamsad Rangkuti saat trerbaring di RS Sembiring jalan Deli Tua, Kabupaten Deli Serdang. Sastrawan kenamaan itu Tidak lagi bisa beraktivitas.  Ia store berat, bahkan bicarapun tidak mampu lagi.

PANDA MT SIALLAGAN, DELI SERDANG

Nurwindasari mendekatkan diri ke wajah sang suami, Hamsad Rangkuti. Mencium keningnya. Mencoba membisikkan sesuatu. Tapi, tak ada respons.

Hamsad saat dirawat di RS Sembiring Deliserdang, Juni 2016.
Hamsad yang sebelumnya sempat mengorok, berusaha menggeliat, dan membuka mata kembali tertidur.

"Kemarin sempat diikat karena berusaha melepas jarum infus, sampai darah berceceran,’’ kata Nurwindasari sembari menata selimut yang menutupi badan cerpenis berusia 73 tahun itu.

Sejak 13 Juni 2016 sastrawan besar Indonesia tersebut dirawat di Rumah Sakit Sembiring, Deli Tua, Deli Serdang, Sumatera Utara. Dia harus dilarikan ke rumah sakit setelah muntah dan pingsan, tak lama seusai menikmati teh manis dan sepotong roti.

Sejak itu, Hamsad yang sebelum kejadian tersebut kondisi kesehatannya memang telah merosot tak siuman lagi. Beberapa hari dirawat di ruang ICU (intensive care unit), lalu dipindahkan ke ruang rawat inap. Itu dilakukan setelah kondisi cerpenis dan novelis tersebut agak membaik meski belum sadar diri.

’’Kami ke sini karena bapak sudah lama bilang kangen kampung halaman,’’ kata Nurwindasari kepada Sumut Pos (Jawa Pos Group) yang menjenguk Jumat (24/6/16).

Hamsad yang lahir di Titikuning, Medan, Sumatera Utara, 7 Mei 1943, adalah penulis yang menelurkan banyak karya besar dan kerap dianugerahi penghargaan.

Kumpulan cerpennya, Bibir dalam Pispot (2003), misalnya, terpilih sebagai pemenang kategori prosa Khatulistiwa Literary Award (kini Kusala Sastra Khatulistiwa) 2003. Pada 2008, dia juga mendapatkan SEA Write Award, penghargaan bergengsi untuk para penulis di kawasan Asia Tenggara dari Kerajaan Thailand.

Hamsad juga memenangi sayembara penulisan cerita anak terbaik dalam rangka 75 Tahun Balai Pustaka pada 2001 lewat karyanya, Umur Panjang untuk Tuan Joyokoroyo.

Secara keseluruhan, karya-karya sastrawan yang dikenal humoris itu kerap mengisahkan orang-orang kebanyakan dengan gaya realis yang khas.

Kekocakannya juga tampak dalam salah satu cerpennya yang paling terkenal yang juga termaktub di Bibir dalam Pispot: Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu?.

Tapi, jejak kebesaran Hamsad itu sama sekali tak terlihat di Ruang J 17 Lantai 13 RS Sembiring tersebut. Ruangan 2,5 x 4 meter itu terasa sangat sempit. Sebab, ruangan tersisa digunakan sebagai tempat menggelar tikar tempat tidur oleh Nurwindasari dan putra keduanya yang turut mendampingi, Girindra Rangkuti.

”Hamsad itu baik hati dan sangat suka menolong teman. Saya turut berdoa semoga dia cepat sembuh,” kata kolega Hamsad, Budi Darma, saat dihubungi Jawa Pos secara terpisah.

Hamsad dan istri yang sehari-hari berdomisili di Depok, Jawa Barat, itu tiba di Sumut tiga bulan lalu. Kota pertama yang dituju adalah Tanjungbalai. Kota pelabuhan itu merupakan kota tempat Hamsad menjalani masa-masa SMP.

Sebuah peristiwa mengharukan terjadi di sana. Saat diajak sang istri berjalan-jalan ke pantai di atas kursi roda, Hamsad menangis saat menatap perahu-perahu yang berlayar dan sandar di pelabuhan tersebut.

”Saya ingat main-main di situ sama Martin,” ujar pria bernama asli Hasyim Rangkuti itu kepada istrinya sembari menangis. Martin yang dia maksud adalah Martin Aleida, juga sastrawan kenamaan Indonesia yang masih produktif menulis cerpen sampai kini.

Selama berada di Tanjungbalai, mereka menumpang di rumah sanak saudara. Lalu, bergerak lagi ke Kisaran, Asahan. Tapi, di Kisaran, tak ada lagi pusat perbelanjaan berlantai dua tempat Hamsad memulai pengembaraan imajinasinya sebagai anak muda cikal pengarang.

Setelah hampir dua bulan berada di dua kota masa kecil itu, mereka kembali ke Medan.

”Sopir bus di sini baik-baik, masih mau bantu Bapak meski pakai kursi roda. Kalau di Jakarta, waduh...” kata Nurwindasari.

Di Medan, yang sangat ingin dikunjungi Hamsad adalah Taman Sri Deli. Dulu tempat tersebut menyerupai taman kota. Sering menjadi lokasi kongko seniman setempat.

Taman itu kini telah dipugar dan berubah dari bentuknya yang asli. Tapi masih tetap memiliki fungsi sebagai taman rekreasi, di mana pengunjung bisa bersantai dengan memandang air mancur.

Belum sempat rencana itu terwujud, Hamsad jatuh sakit. ”Saya sedih sekali, belum sempat membawa Bapak ke sana. Medan itu sebenarnya tempat beliau transit sebelum ke Jakarta, menjalani takdir sebagai penulis,” kata Nurwindasari.

Hamsad mendarat di Jakarta pada 1964 bersama rombongan delegasi pengarang Sumut yang mengikuti Konferensi Karyawan Pengarang Seluruh Indonesia. Penulis Sampah Bulan Desember itu termasuk penanda tangan Manifesto Kebudayaan yang intinya menentang upaya menjadikan politik sebagai panglima.

Menghabiskan masa kecil dan remaja di Kisaran dan Tanjungbalai, cerpen pertama Hamsad bertajuk Sebuah Nyanyian di Rambung Tua dimuat di sebuah koran di Medan. Diva Press, sebuah penerbit di Jogjakarta, juga menerbitkan lagi novelnya, Ketika Lampu Berwarna Merah, pada Mei lalu.

Hamsad dikenal akrab dengan berbagai kalangan, termasuk generasi yang jauh di bawahnya. Sastrawan muda Sunlie Thomas Alexander masih mengingat betapa kocaknya Hamsad saat diundang ke Bangka dalam rangka Temu Sastrawan Indonesia II pada 2009.

”Itu terakhir saya ketemu langsung dengan beliau. Kebetulan, saya ketua panitia waktu itu,” kata Sunlie, yang tengah berada di Taiwan, kepada Jawa Pos melalui Facebook Messenger.

Selama acara itu, kenang Sunlie, Hamsad bercengkerama riang dengan para pengarang muda. ”Bagi saya, dia seorang cerpenis Indonesia yang luar biasa. Cerpen-cerpen realis konvensional beliau sulit ditandingi,” katanya.

Kondisi kesehatan Hamsad mulai drop sekitar setahun setelah menerima SEA Write Award. Pemicunya, tutur Nur, lahan berukuran 5x12 meter yang dia klaim sebagai miliknya diambil alih secara sepihak oleh Pemerintah Kota Depok.

Di tanah yang hanya berjarak beberapa meter dari kediaman Hamsad itu, Pemerintah Kota Depok lantas membangun tempat pembuangan sampah. Nur menuturkan, dirinya dan Hamsad sudah berusaha keras melakukan perlawanan. Tapi gagal.

”Kami malah dituduh melawan pemerintah. Melawan bagaimana? Kami hanya inginkan kebenaran. Bapak ini dipakai pemerintah ke mana-mana, tapi sekarang diperlakukan begitu,” katanya.

Sejak itulah Hamsad yang sangat terpukul mulai sakit-sakitan. Dia dan Nurwindasari tak betah lagi tinggal di rumah yang dibangun dengan jerih payah sebagai seorang pengarang. ”Bau menyengat, penuh belatung, tikus, kecoak, gimana hidup seperti itu?” katanya.

Sejak itu pula Hamsad dan istri memilih lebih sering bepergian dan tinggal bersama keluarga yang satu ke keluarga lain. Tapi, setiap pulang ke rumah, sampah-sampah itu kembali menghantui.

Sampai kemudian Hamsad berulang-ulang menyuarakan kerinduannya untuk pulang ke kampung halaman.

Niat itu memang akhirnya kesampaian. Sayang, Hamsad kembali jatuh sakit di tanah yang dirindukannya tersebut. Saat keinginan ke Taman Sri Deli belum tertuntaskan.

Sunlie pun berharap Hamsad lekas pulih. ”Semestinya seorang sastrawan besar seperti beliau mendapatkan perhatian pemerintah. Tapi, toh kita tahu seperti apa posisi sastra di Indonesia,” ujar Sunlie.

Nurwindasari mengatakan belum punya niat atau rencana untuk pindah maupun menetap di Medan. Semuanya bergantung sang suami. Bahkan, jadwal kepulangan mereka ke Jakarta pun awalnya juga bergantung Hamsad.

”Kalau dia bilang pulang ke Jakarta, kami pulang,” ujarnya sembari kembali memandang wajah sang suami tercinta di pembaringan. (tulisan ini pernah dimuat di Jawa Pos dan sejumlah media jejaringnya) ***

Bagikan:

1 komentar:

Terimakasih kunjungan Anda. Salam Literal...!