|
Ilustrasi. |
Melayat Puisi
Sebuah kabar dibisikkan, menyusup lembut ke telinga,
menusuk perih ke liang jantung: tentang ari-ari di tepi dangau,
sudah usai, Tuan!
Sebilah pisau atau sembilu, meliuk-liuk di ulu hatinya, seperti ia kenang,
racun menggeletarkan tubuh tikus di tepi ladang dan pematang sawah.
Tak ada kesedihan, ia ulurkan ruhnya terbuang, menyertai bangkai itu
ke pemakaman yang tak pernah ada.
Sejak itu, ia mencintai kematian, meski padi dan palawija
tumbuh menjunjung mimpi, menanam doa bapa-ibu di tubuh anak
yang legam dibalut cuaca. Dialah perantau yang kelak mengiris waktu,
agar mantera datu-datu tak membiusnya di jalan pulang
Lama ia bahagia menjelma bangkai tikus yang memupus
aroma belacan di lorong-lorong rantau, meninggalkan kebahagiaannya
di simpang-simpang tanpa arah, mengelana ke ceruk-ceruk firman
dan bunuh diri dalam syair-syair
Sebuah kabar dibisikkan: telah meninggal dunia dengan tenang...!
Ia bangkit seperti ia kenang anjing jantan dipenggal ekornya,
terkaing-kaing menyeruduk segala arah, hingga tiba di pangkuan ibu
rindu pada bapak, pada Tuhan. Di hadapan pembisik itu,
ia melepas seluruh ingatan dan pergi mengikuti tangisnya
Lama, sangat lama ia meliuk, mencari-cari makam, memanggil-manggil
Cinta yang pernah ia titipkan pada bangkai tikus. Akhirnya,
pada malam yang terburai, ia mengenal lagi sawah dan ladang-ladang
Di sisi dangau, ia temukan makam puisi masih basah. Ia menulis namanya
pada nisan yang masih kosong.
Pematangsiantar, 2016
Memoar
Kisah sedih antara monyet dan kebun
Berpisah di tepian dusun, kukitabkan
1/
Batuk burung hantu memanah bulan
Cahaya pecah, merampas aroma taman eden
Dan dari mulut ular yang terbedung lampin
Tangis pertama menggoda malam di atas dipan
2/
Ia terbit dari rahim datu putri
dari mata sembilu, diutus menyayat matahari
diutus jadi darah, menajamkan rahang singa
pemburu musang, monyet dan para babi
yang tak kenal luka dan airmata
3/
Begini, Tuan dan Puan-puan,
singa tak butuh buah di taman itu, ia memilih mati
mengejar panglima perang di hutan penuh jampi
ketika hewan menggali jejak untuk makam musim
darahnya menyala membakar dangau
4/
Pada musim panen, ia menghardik juru mantera
dengan mata silau sembilu, mata pembelah bulan,
ia hunus monyet-monyet yang menghina ladang,
dan amarahnya menjatuhkan burung-burung dari pohon
ia sembelih jadi sesaji, diutus memuja tungku
Oh, Takdir, ia cuma kemerdekaan semut di tepi dangau
merayakan musang yang punah dikerkah panah
5/
Sejak itu, nasibnya terapung di mulut seruling
dan tanduk kerbau, meninggalkan ladang,
sebab ia gagal mengenal ibu dan harimau.
Mantera-mantera berderap: tuhan membekukan angin,
mencairkan batu-batu, membakar segala air.
Dan ia berfirman: jikalau pantun mengerang
di mulutmu, mengayuh puisi kita di rahang rantau
6/
Dan terdengarlah nyanyian nyaring,
merongrong sangkakala, mengurai kisah
perpecahan antara binatang dan kebun
di tepian dusun yang dikitabkan
dan ia bercita-cita mati jadi kecapi
menyembunyikan kabut dalam nada
di mulut para penggali makam
Pematangsiantar, 2016
Catt: Puisi dimuat dalam buku bertajuk “Matahari Cinta, Samudra Kata”, antologi puisi tertebal di Indonesia, yang diluncurkan pada Malam Anugerah Hari Puisi Indonesia di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada 12 Oktober 2016 oleh Wakil Presiden RI Jusuf Kalla. Antologi puisi ini disusun Rida K Liamsi dengan tebal 2016 halaman dan memuat karya dari 216 penyair dari berbagai daerah di Indonesia. Panda MT Siallagan salah satu penyair Batak yang menyumbangkan karya dalam buku tersebut.