26 Oktober 2016

Solup Sama dengan Paradaton


Sebagaimana telah diceritakan pada tulisan sebelumnya (BACA: Arti dan Makna Solup dalam Kehidupan Orang Batak) bahwa solup adalah perkakas kehidupan tradisional orang Batak pada zaman dahulu. Secara umum, solup dikenal sebagai alat takar (tumba) beras. Alat minum (semacam cangkir) juga disebut dengan solup.
Ilustrasi Solup.
Alat takar atau cangkir itu terbuat dari bambu. Untuk tumba, biasanya terbuat dari bambu besar. Bambu itu dipotong dan dikikir secara kreatif sehingga wujudnya sama seperti tumba, atau literan beras. Bagian buku bambu menjadi dasar atau alas. Hal serupa terjadi pada solup alat minum.

Oleh karena ia terbuat dari bambu secara alami, dan ukuran bambu yang digunakan si pengguna tidak mungkin sama, maka volume atau isi literan solup ini tentu tidak sama. Maka dalam konteks inilah orang Batak zaman dulu menggunakan solup ini sebagai salah satu perangkat adat (ukuran paradaton). Jadi disepakatilah bahwa solup yang berlaku adalah solup dimana transaksi atau aktivitas menakar berlangsung.

Contoh, seseorang ingin menukar ayam jantan miliknya dengan beras (barter). Jika diseakati harga ayam itu sebesar 3 solup beras, maka solup yang berlaku adalah solup pemilik beras, meski mungkin si penjual ayam juga memiliki solup sendiri. Artinya, si pemilik ayam tidak bisa membawa solupnya sendiri ke desa atau kampung lain. Solup yang berlaku adalah solup di tempat tujuan.

Contoh lain, jika seseorang meminjam beras dari satu desa, maka solup di desa itulah yang berlaku. Ini senyawa dengan pepatah Malayu: di mana tanah dipijak, di situ langit dijunjung.

Dalam konteks paradaton, hal ini juga sudah menjadi kesepatakan alami bahkan bisa dikatakan sebagai alat untuk menghargai antara satu puak dengan puak lain. Itulah kenapa acara-acara adat selalu mengikuti atau menyesuaikan adat setempat. Sebutlah misalnya ada acara pesta di Huta (desa) A. Maka tamu dan undangan yang datang dari huta B atau atau C dst, harus mengikuti atau merujuk tatacara adat di Huta A. Huta B, C dan seterusnya tidak bisa memaksakan adat yang berlaku di daerahnya. Solup di Huta A sepenuhnya harus dihormati oleh Huta B.

Dalam salah satu umpasa (pantun) Batak, hal ini juga sangat tegas dinyatakan: disi tano diinganhon disi solup niparsuhathon (dimana tanah dipijak, di situ solup jadi ukuran), atau dalam pribahasa disebut sidapot solup do na ro (tunduk pada solup yang dituju).

Dengan demikian, solup bisa dikatakan sebagai paradaton. Maka masyarakat adat Batak yang tinggal di satu daerah, solup atau adat isiadatnya juga sama. Itulah sebabnya dalam acara adat, masyarakat setempat (dongan sahuta), selalu dimintai pendapat oleh pihak yang ingin melakukan pesta, sehingga acara bisa berlangsung sesuai dengan adat (solup) di daerah itu, atau dalam bahasa Batak disebut adat na somal hu ulahon di huta i.

Namun demikian, meskipun makna terkandung dalam umpasa sidapot solup do na ro sudah menjadi hukum tradisional, bukan berarti hal itu dipahami secara kaku atau harga mati. Dalam adat Batak, berlaku juga istilah mangelek (memohon pengertian) dari salah satu pihak kepada pihak lain, tentu alasan atau argumen harus sesuai kewajaran dan tidak menyimpang terlalu jauh dari paradaton/solup di daerah tersebut.

Demikianlah makna solup secara lebih rinci. Semoga bermanfaat dan perlu kiranya nilai-nilai kearifan lokal ini dijadikan pedoman dalam menjalani kehidupan di zaman modern ini. Masih sangat kontekstual. Horas...! (Panda MT Siallagan)
Bagikan:

0 komentar:

Posting Komentar