Puisi-puisi Panda MT Siallagan
Ilustrasi. |
Kemarau
Sejak Kau buka tingkap,
detak jantungnya meluncur
bagai embun luruh dari dedaun
pulang mengetuk pori tanah
menunggu matahari
Sejak Kau buka tingkap,
debar jantung resap ke akar
menanam aroma mawar
sedalam hening, menunggu
Maka sebelum matahari tumbuh
jadi duri, bakar daun-daun itu
agar doa-doa membubung,
menjemput hujan. Sebab luka
harus dijahit sebelum cinta
lepas jadi dongeng
Sejak Kau buka tingkap,
detak jantung meluncur
meninggalkan pagi
di hamparan daun-daun.
Lalu kau buka tingkap,
memanggil matahari.
Aku pulang, menunggu hujan
2016
Gembala
Akar meringis tentang gerimis yang terkulai di kelopak bunga: mengapa segalanya kau patahkan di rahang kerbau? Sahut gembala itu: sebab kupu-kupu tak tahu jalan menolak madu.
Dan ia bertanya mengapa seruling bambu meniup kidung dari akar yang tercerabut? Alunan jantung bocah itu menggema, alunan yang dilempar ke mulut gunung: sebab pepohonan melepas jua waktu, pada daun-daun.
Sejak itu ia tidur, katanya: nyanyianku telah merabuk demi jiwa yang retak menerka jejak. Seperti kita, ranting dan daun-daun ziarah jua, menjunjung tunas. Maka, akar menjadi mafhum luka hatinya. Kerbau mahfum sepinya.
Pematangsiantar, 2016
Nubuat
Air menulis syair kepada sungai: kau tak bisa memaksa orang mencinta dan menciptamu sebulat bulan dan setinggi malam. Sebab bagi burung yang birahi, kesetiaan adalah sangkar pengap yang bersiap diacak badai.
Maka bulan hanyut, telanjang bagai kumbang, dan burung-burung memetik kematian dari jemarimu. Aroma lumut pergi selama-lamanya. Tabahlah, kelopak bunga sudah gugur dan warna membeku jadi bangkai.
Sejak itu, angin melemparkan sejarah busuk ke mulutmu. Itulah giliranmu menelan, melarung kutuk ke dalam perut. Selanjutnya adalah surga, aroma liar candu, yang memeluk takdir sedingin batu.
Sungai menulis sajak kepada air: diamlah, ijinkan kumakan segala ikan, merayakan orang-orang yang lupa.
2010-2015
0 komentar:
Posting Komentar