13 November 2015

Serangan Fajar dan Jas Pinjaman


Hal pertama yang mereka hancurkan adalah makna. Lalu dusta menjadi sesuatu yang lumrah. Entah bagaimana, pesona gagasan dan pemikiran kehilangan tempat sejak itu, menjadi retorika yang menguap jadi asosiasi buruk. Percakapan-percakapan yang baik seolah telah lama kehilangan substansinya. Dan memang, tahu apa kita soal politik dan politisi?

Ilustrasi.
Di zaman orde baru, kita ‘hanya’ diizinkan memahami politik lewat satu warna. Atau setidaknya 3 warna, tapi kita tahu sebuah manipulasi selalu terjadi di situ: formalitas keberagaman. Tapi sejak reformasi, warna itu berkibar-kibar melampaui hembusan angin, melebihi kemampuan kita menduga.

Demikianlah dua atau lebih generasi mengenang, setiap momentum pemilu adalah semarak kuning, merah dan hijau. Lalu semarak janji-janji. Warna apakah janjimu?

Dari sanalah proses penghancuran itu bermula. Jika partai X menang, jalan-jalan akan mulus, harga sembako terjangkau, pendidikan akan gratis, layanan kesehatan akan bermutu. Lalu, isu-isu penegakan hukum menjadi santapan retorika mutakhir, termasuk pemberantasan korupsi.

Praktis, pesta demokrasi menjadi produksi isu dan para politisi menjadi mahir menabur janji. Tapi, segalanya menguap tak lama setelah itu, dan si legislator yang terpilih itu selanjutnya melenggang sebagai mahluk bermartabat dan secara sosial masuk ke kelas eksklusif. Mereka seolah tak ada urusan dengan rakyat.

Mengapa rakyat? Sebab demikian memang diajarkan kepada kita, atau diteruskan dari generasi ke generasi. Bahwa demokrasi memang dari rakyat untuk rakyat dan oleh rakyat, sebagaimana dikandung etimologinya: demos dan kratos, pemerintahan rakyat. Tapi pernahkah sistem pemerintahan kita dikendalikan rakyat?

Faktanya, rakyat hanya alat. Dan itu dipertegas aib-aib politik, terutama politik uang, yang kian merajalela. Rakyat dibeli. Maka kelak, penguasa akan merasa sah ketika ia tak perlu peduli pada rakyat. Dan memang ironis, sebagian besar masyarakat justru antusias menyambut bola dari serangan fajar itu.

Inilah puncak pesimisme itu: siapapun penguasa dan legislator, rakyat tetap cari makan sendiri. Dan memang, sejak dulu, tak ada alasan untuk percaya pada janji-janji. Visi misi partai politik dan para politisinya, betatapun disajikan dengan hebat, selalu berakhir menjadi sebuah kebohongan yang kosong. Segala sesuatu berakhir tanpa makna. Serangan fajar menyelesaikan skenarionya.

Dan entah kenapa aksi bagi-bagi uang ini dinamai serangan fajar. Kita tahu, Serangan Fajar adalah judul sebuah film dokumenter yang disutradarai Arifin C Noer. Sejak diproduksi tahun 1982, film ini pernah ditetapkan sebagai tontonan wajib.

Tapi setelah Soeharto lengser, film ini tidak lagi menjadi tontonan wajib. Sebab, film ini dinilai sarat manipulasi sejarah dan merupakan pengultusan terhadap Soeharto. Selain Serangan Fajar, film Pemberontakan G30/S PKI dan Janur Kuning, belakangan dinilai juga sebagai propaganda.

Serangan fajar, yang sesungguhnya dimaksudkan menegakkan nilai-nilai kesejarahan dan perjuangan bangsa, berakhir jadi hal-ihwal politik yang licik dan manipulatif.

Dan ya, serangan fajar adalah puncak hegemoni modal. Jauh sebelum itu, fragmen-fragmen lucu sudah terlebih dahulu berlangsung. Bayangkan caleg wanita mematut diri di depan cermin, berputar-berputar, melotot pada busana, menata rambut, mengoles bedak ke pipi, memoles lipstik ke bibir. Lalu blitz-blitz kamera menyerang.

Dan syahdan, ada seorang caleg meminjam jas untuk tujuan solek-molek seperti di atas. Bukan karena ia tidak mampu beli jas, tapi ia tak suka jas. Jas adalah moralitas borjuis, sedangkan caleg kita ini adalah bandit jalanan. Ia ingin sisa hidupnya dilalui dengan penuh martabat. Dan menjadi anggota dewan adalah solusi. Betapa rumitnya ritual hias diri itu.

Dan kita bahagia menatap foto-foto mereka tersenyum di sepanjang jalan dan gang, meski kemarin foto-foto itu diturunkan dan mungkin sebagian dibenamkan ke dalam lumpur atau sebagian lagi lebur bersama sampah domestik yang dikerubungi belatung di TPS (tempat pembuagan sampah).

Benarkah mereka setampan dan secantik foto di baliho, poster dan spanduk-spanduk itu? Uang memang memungkinkan segalanya berjalan dengan apik. Kulit keriput bisa diolah menjadi serupa pualam, hidung rata bisa ‘dipompa’ jadi mancung.

Dan bibir yang tersenyum itu, atau mata yang menatap lembut itu, sungguh gampang dikreasikan dengan aplikasi teknologi di era digital komputer sekarang. Tebalkan bedak dan lipstik, cantik urusan kecil. Apalagi massa, cukup selesaikan dengan uang! Oh, serangan fajar!

Menyedihkan memang menyaksikan tingkah para elit partai dan politisi itu dalam riuh pesta demokrasi ini. Sayangnya, yang menonjol adalah pertarungan personal semacam adu solek itu.

Inilah politik pencitraan yang sesungguhnya tak terkait dengan visi dan gagasan pembangunan. Mestinya para calon mampu mengedepankan politik padat isi dan gagasan ketimbang politik padat modal atifisial.

Jika pertarungan pemilu legislatif dikemas jadi pertarungan visi, ide dan gagasan, maka siapapun yang terpilih, itu hanya persoalan teknis politik. Itulah esensi demokrasi sesungguhnya. Tetapi, hal pertama dan terakhir yang mereka hancurkan adalah makna. Dan jangan-jangan, pemilu ini tak penting bagi rakyat, sebab keberadaan lembaga legislatif dan partai politik hampir tak bisa dirasakan masyarakat secara konkret.

Meski slogan itu dipampang besar-besar, bahwa suara rakyat akan menentukan masa depan bangsa, maka sesungguhnya rakyat tetaplah rakyat. Tapi mereka yang terpilih, sudah pasti jadi ‘pejabat’.’ Tapi baiklah, mari bersiap, sejenak bersolek di depan cermin, lalu ramai-ramai ke tempat pemungutan suara. (Panda MT Siallagan)

Bagikan:

0 komentar:

Posting Komentar