06 November 2015

Antara Selat Bosphorus dan Pesona Tapian Nauli


Sebuah desa, kota atau wilayah selama-lamanya akan dikenang atas seluruh karakter dan keunikannya. Alam, tradisi, sejarah, budaya, adat-istiadat, kuliner dan capaian modernisasi selalu menjadi referensi tentang mengapa seseorang datang, pergi dan rindu  pada sebuah tempat.

Senja di Pantai Bosur, Pandan, Tapanuli Tengah.
Saya selalu terharu membaca buku memoar berjudul Istanbul, Kenangan Sebuah Kota karya Orhan Pamuk, sastrawan Turki peraih Hadiah Nobel Sastra pada 2006. Buku ini mengisahkan secara menakjubkan perenungan-perenungan yang lembut tentang Kota Istanbul.

Masa kejayaan Kesultanan Usmani, jalan-jalan yang menyedihkan usai keruntuhan imperium itu, acara makan dan pesta-pesta masyarakat borjuis dengan daging panggang, roti keju, coklat dan tetek bengek etika di meja makan dan seni dapur.

Orhan juga secara sentimentil membicarakan Bosphorus, selat yang memisahkan Turki dengan bagian Eropa. Jika Istanbul bicara tentang kekalahan, kehancuran, kehilangan dan kesedihan, tapi Bosphorus menghidangkan kehidupan dan kesenangan.

Selama berabad-abad, Bosphorus hanya dikenang sebagai jalan air, tapi kemudian para pejabat Usmani mulai membangun vila dan rumah-rumah musim panas di kawasan itu. Dan Istanbul kemudian mendapatkan kekuatannya dari selat itu.

Lalu segalanya menjadi rahasia dan keajaiban yang hangat. Dinamika pantai, perahu-perahu, kafe, vila dan rumah-rumah peristirahatan disemangati oleh udara laut yang berhembus riuh. Buku ini cemerlang mengisahkan hal-hal sederhana dari sejarah masa silam hingga masa modern. Orhan menghubungkan benda-benda, lanskap, penanda kota, bangunan kuno, sungai, pantai dan seluruh intrik politik menjadi sajian yang menyentuh.

Dan setiap membaca itu, pikiran saya selalu mengembara ke Samosir, Toba, jalanan berkelok penuh bahaya menuju lembah Silindung, terus membelah gunung hingga tiba di Tapian Nauli yang syahdu. Atau mungkin memanjangkan tualang ke Barus, peninggalan kesultanan besar di masa lalu. Betapa ajaibnya. Betapa menggetarkan merenungkan bagaimana alam yang terberkati ini terhidang penuh energi dan tak akan habis jika diletakkan dalam penggambaran-penggambaran detail.

Dan kita menjadi kurang waktu mempelajari seluruh sejarah, geografi, kekayaan tradisi dan budaya, juga keseluruhan hal-hal menakjubkan di dalamnya. Tetapi, adakah seseorang diantara kita yang mampu merekam kesyahduan Tapian Nauli itu dalam bentuk buku, biografi, memoar atau lukisan-lukisan? Adakah seseorang berkenaan menuliskan memoar tentang hidupnya di tengah kegemilangan sejarah dan masa depan Toba dan Tapian Nauli.

Ketika seorang Tionghoa bernama Sio Hong Wai menulis buku Tionghoa di Tarutung, muncul gelombang protes karena buku itu dinilai melecehkan Batak. Sekilas saya baca, buku ini mengisahkan sejarah perjumpaan Tionghoa dengan Batak, yang diawali dengan pengisahan Lembah Silindung tempo dulu, yang di dalamnya disinggung kisah kanibalisme yang entah bagaimana menjadi momok kepada generasi baru.

Saya lebih tertarik membahas, apa sesungguhnya kanibalisme dalam konteks sejarah Batak? Ia tidak serta merta serupa dengan kanibalisme yang dirumuskan Barat, sebab ada konsep hukum (uhum) yang berlaku dan tak bisa dilepas dari konteks itu. Buku ini subjektif, maka sebaiknya ia didudukkan dalam dialektika yang menjunjung tinggi etika intelektualitas.

Baiklah, dalam suatu perjalanan yang tak menjanjikan ketenteraman menuju Tapian Nauli, segalanya merangsek dan menggoda untuk dicatat. Tapi karena begitu banyak hal berseliweran, saya pilih satu topik untuk saya akhiri di catatan ini: kuliner!

Berangkat dari Pematangsiantar menjelang senja, roti Ganda sepertinya sudah wajib jadi oleh-oleh. Sesungguhnya, produk toko Asli lebih dikenal pada masa lalu, tapi popularitas produk itu kini mulai raib. Tiba di Parapat, kopi dan telur asin menjadi ‘terpaksa’, sebab Kota Turis itu tak menjanjikan apa-apa soal kuliner. Di jantung Lembah Silindung, kota Tarutung yang lembut itu, kecewa kembali mendera sebab sebuah rumah makan tetap menawarkan menu kering sebagaimana bisa ditemukan di rumah-rumah makan di manapun.

Di Sibolga, rumah-rumah makan banyak menawarkan kuliner bahan dasar ikan laut. Tapi seni masak itu masih menganut bumbu-bumbu nasional dan internasional. Mana bumbu khas?

Bonaran Situmeang, mantan Bupati Tapteng yang pengacara kondang itu, ketika itu menawarkan menu tradisional khas Tapteng di sebuah rumah makan Tapian Nauli dekat jembatan. Di bawah jembatan itu, mengalir arus air menuju muara untuk selanjutnya berakhir di laut. Di situ ada lokan gulai, daun ubi santan, ikan bakar, udang goreng alami dan masakan-masakan lain yang masih menganut bumbu tradisional. Konon, Tapteng memiliki kekayaan kuliner seperti panggang pacak, badar, gulai sale dll.

Tapteng memang telah dicanangkan sebagai Negeri Wisata Sejuta Pesona mulai tahun 2012. Bonaran sepertinya ingin masyarakat dunia melihat keindahan dan keunikan alam maupun sejarah di Tapteng dengan secara kontinue melakukan publikasi, mengundang artis hingga Tapteng dikenal dunia internasional, termasuk kekayaan kulinernya. Hmm……! (Panda MT Siallagan)

Bagikan:

0 komentar:

Posting Komentar