04 November 2015

Kita dan Kiper


Seluruh tikungan sejarah dan peradaban manusia akan berakhir pada jalan lurus bernama kematian. Dan setiap yang ngeri selalu mengguncangkan jiwa. Bagi pikiran, kematian dan kengerian akan menjadi penantian getir yang berlangsung selama-lamanya.

Ilustrasi.
Tentang kematian, saya terguncang hebat ketika pertama kali membaca novel berjudul The Outsider, buah karya Albert Camus. Kalimat pembuka novel itu menggambarkan situasi psikologis yang betul-betul kacau. Camus mengawali novelnya dengan kalimat: Ibu meninggal hari ini. Atau, mungkin kemarin, aku tak yakin.

Dalam kisah selanjutnya, kita mengetahui bahwa tokoh yang kehilangan ibu ini tidak pernah menangis. Lalu, tokoh dalam cerita ini pulang ke kampungnya di Aljazair untuk menjenguk jenazah ibunya.

Ia seperti bermimpi sepanjang perjalanan. Dan tergambar di novel itu, setibanya di depan jenazah ibu, tokoh kita yang bohemian ini tak tahu bagaimana mengekspresikan kesedihan. Ia hanya merokok di depan jenazah.

Terlalu jauh mengkaji novel ini secara mendalam, sebab selain pembacaan kita harus menyeluruh terhadap seluruh teks dan latar belakang kehidupan masa itu, kita juga memerlukan perangkat teori bahkan psikoanalisis untuk membahasnya. Tapi mari kita sederhanakan: betapa memang segala hal tak perlu ditangisi, bahkan kematian.

Lalu, kematian sering menjadi analogi untuk menyatakan kehancuran sesuatu. Dalam bahasa Indonesia, kita mengenal frasa mati suri. Ketika dunia sepak bola di Indonesia tak kunjung berkembang dan tak bisa menyamai kejayaan pada tahun 50-an, kita menyebutnya mati suri.

Ketika bulu tangkis kita pernah jadi kebanggaan yang tak terkalahkan di seluruh dunia lalu surut lagi, orang menyebutnya mati suri. Tentu, ini hanya idiom. Makna denotatifnya adalah optimisme: boleh mati, tapi harus hidup kembali.

Albert Camus mungkin menyadari betul situasi kehilangan itu. Kematian tak perlu ditangisi, sebab ada hal-hal yang harus berlalu dan ada yang harus lahir. Tapi mengapa Albert Camus? Sebab selalu ada histeria sepak bola dalam berbagai ajang bergengsi.

Di Indonesia sendiri, bahkan hingga pelosok-pelosok, kejuaraan sepak bola selalu ditunggu dan dirayakan bak pesta massa paling membahagiakan. Ada euforia, judi dalam beragam bentuk, atau pemujaan-pemujaan yang kadang tak rasional pada sebuah tim (negara) atau para pemain. Tentu, pusat seluruh goncangan jiwa, harapan, kekecewaan, akan tumpah di lapangan ajaib yang sangat dinamis selama 2 x 45 menit itu.

Dalam beberapa catatan, Albert Camus disebut pernah menjadi kiper klub bola kampung semasa muda, saat ia masih tinggal di pemukiman miskin di Aljazair. Panggilan hidup menggerakkannya hijrah ke Perancis dan kemudian kita mengenalnya sebagai filsuf, penyair, sastrawan dan wartawan. Tahun 1957, ia dianugerahi hadiah Nobel bidang sastra. Maka barangkali, Camus adalah sosok yang paling paham arti kesepian. Kesepian seorang kiper, kesepian pemikir yang tak pernah henti mencari.

Demikian adanya: ketika bola digiring ke arah gawang lawan, darah kita mulai dipacu. Jantung terasa riuh dan pikuk. Ketika bola diolah dengan beragam teknik dan estetika permainan, kita juga disuguhi semacam rasa nikmat dan harapan. Pernahkah kita teringat pada kiper? Lalu ketika segalanya meledak dengan gol, kita tersentak. Kita berteriak hebat, mengalami puncak bahagia tiada tara.

Tapi kiper lebih sering terlupa. Kita tak melihatnya dalam eforia itu. Dia berteriak sendirian. Sebaliknya, ketika tim favorit dan kesayangan kita dibobol, kita terhempas, harapan terampas, dan kita memaki kiper. Apa salahnya? Bayangkanlah, betapa sepinya.

Sebagaimana tampak dalam karya-karyanya, Camus adalah orang yang paling jeli melihat kenyataan, juga kebesaran hati untuk menerima sesuatu yang pantas, atau menolak sesuatu yang bukan miliknya. Baiklah, pada akhirnya bola bukan sekedar bola. Ia bisa merepresentasi segala ihwal, segala kenyataan. Tentang kehidupan, bisnis, industri, sportivitas, bahkan bisa diambil nilai-nilainya menjabarkan kematian.

Ketika dunia diukur dan ditentukan produktivitas, maka sesungguhnya bola adalah model yang pas untuk proyeksi setiap unit usaha dan bisnis. Tak perlu mempersoalkan siapa dan bagaimana, kecakapan mutlak jadi syarat utama, lalu tim work. Satu mengumpan yang lain, yang lain menyambut untuk kemudian memberi lagi umpan yang lain. Begitu tanpa henti, tanpa ada waktu untuk lalai. Dan tujuan itu, goal itu, akan mempertemukan kita dalam kebanggaan yang solid dan penuh persaudaraan.

Maka kadang-kadang, kita heran mengapa para politisi dan elit pemerintahan sangat suka dan sebagian gila bola, tapi mereka gagal membangun semangat dan kebersamaan mengharukan? Entahlah! (Panda MT Siallagan)

Bagikan:

0 komentar:

Posting Komentar