Tiba-tiba sebuah pemahaman dan keresahan baru muncul dari balada terbaru itu. Balada atau badai, entahlah. Selama ini kita seolah tak berjarak dengannya. Tapi pengetahuan kita tentangnya ternyata sangat jauh. Sangat sepi.
Ilustrasi. |
Dikisahkan, tokoh kita si bawang merah selalu berkarakter jahat, licik, egois, ingin menang sendiri. Ia adalah representasi karakter negatif. Representasi masyarakat kebanyakan. Tapi kita tahu, bawang goreng adalah kerapuhan yang nikmat dan wangi, yang tiada tara rindu bagi lidah.
Engkau mengenalnya dalam riak rasa sop, atau lelehan sate beragam nama. Betapa jauh dan kontras situasi ini. Tapi begitulah, khalayak banyak memang sangat gampang memahami hal-hal yang lezat dan nikmat. Tapi sangat sedikit orang yang benar-benar paham memaknai luka. Dan seperti tokoh kita bernama bawang merah, marilah menonton teater ketika seorang ibu atau wanita mulia memasak di dapur. Bawang merah selalu lebih banyak digunakan ketimbang bawang putih.
Dan engkau tahu, pribadi-pribadi berkarakter bawang merah, seperti ditegaskan kenyataan, memang lebih eksis di dunia yang fana ini. Tapi ya, bawang adalah sumber sejuta kisah. Ia rekat dengan makanan, rekat dengan perkembangan gastronomi atau yang karib kita namai kuliner.
Segalanya tak pernah lepas dari bawang. Belakangan, dunia yang jauh, dunia sastra Indonesia, juga berpadu-paut dengan kuliner. Banyak cerpen-cerpen bisa kita baca bertemakan makanan. Terhitung sejak 2008, tema-tema kuliner boleh dikata sangat menonjol pada karya-karya sastra Indonesia, baik pada genre cerpen maupun puisi.
Tentu, fenomena itu tak lepas dari program-program kuliner di berbagai media massa. Dan kini, seperti sebuah kejutan yang menyakitkan sekaligus geli, bawang mendobrak pentas politik nasional.
Jika selama ini kita mengenal komoditi politik hanyalah sebatas beras, pupuk, minyak dan kelapa sawit, kini bawang hadir sebagai ‘pemain baru’. Dulu, cabai juga pernah menghebohkan situasi nasional dan memaksa parlemen bersidang.
Tetapi, apakah para elit pemerintah dan politisi terlambat memahami seluruh potensi benda-benda dapur ini? Saya tiba-tiba berpikir usil, jangan-jangan bawang ini sudah belajar dari sahabat-sahabat mereka di dapur. Pisau dan talenan, atau batu giling yang cadas bersama cabai.
Dan memang sudah saatnya mereka bicara tentang situasi kebangsaan kita yang tak kunjung berujung baik. Dan demikianlah, para budayawan dan sastrawan sudah bisa mencium geliat bawang dan bumbu-bumbu sejak jauh-jauh hari, sementara para elit tak peka dan baru sibuk setelah sebuah peristiwa meledak.
Bermula dari harga bawang yang melejit tinggi dan menghempaskan ekonomi masyarakat bawah. Lalu api mulai begulir, hingga muncul tudingan bahwa menteri pertanian ikut bermain bawang. Bah! Kabar terakhir dari Batubara, Sumut, sebanyak 35 ton bawang bombay diselundupkan.
Bawang-bawang itu dikemas dalam tujuh unit truk, diduga berasal dari Malaysia dan masuk melalui Pelabuhan Tanjung Tiram. Sebuah sajak pernah saya tulis, berjudul Tragedi, terbit di Kompas 4 Oktober 2009.
Demikian nukilan beberapa baitnya:
Cabai terbaring bugil di atas batu pipih. Maaf, jerit batu bulat, pasrah ditunggang telapak tangan penggiling. Bawang mengerang untuk siung kering yang dibuang ke tong. Pasrah, sebab berlapis-lapis waktu usang serupa sampah.
Meluncur jahe, lengkuas dan kunyit: terperas membasahi lumatan cabai dan lendir bawang. Dan inilah tragedi itu. Budaya kehancuran. Kita seolah disiapkan memainkan peran-peran menghancurkan, mencari nikmat dan untung dari setiap penghancuran.
Dan bila kita mengupas bawang merah dan mengirisnya, mata berkaca-kaca karena panas, bukankah itu sebuah keyakinan bahwa setelah itu kita akan memperoleh nikmat? Karakter tokoh kita si bawang bawang merah mungkin harus membuat kita menangis.
Dan pernahkah kita ingat, tokoh kita si bawang putih yang tidak membiarkan airmata menetes? Tokoh ini sebetulnya sangat baik hati, penyabar dan rendah hati. Maka secara filosofis, bawang putih adalah jelmaan hati dan jiwa mulia yang sedikit itu.
Dan bawang merah adalah jelmaan para elit, para walikota dan bupati, para penyulundup, juga masyarakat banyak yang serakah itu. Maka, kenanglah para petani bawang di desa-desa yang jauh itu, kenanglah kesepian mereka, hayati ketulusan mereka mencintai tanah dan tanaman. Dan engkau harus mafhum, selama-lamanya mereka tak akan mengenalmu. Tak akan mengenal politik. (Panda MT Siallagan)
0 komentar:
Posting Komentar