Oleh: Panda MT Siallagan
Semakin panjang alasan untuk tidak percaya lagi pada ‘yang transedental’. Kematian seyogianya dipahami sebagai tanda atau jalan menempuh makna itu. Tapi agaknya, kita kian kehilangan arah terhadap ruang-ruang kontemplatif.
Hari-hari ini, kita semakin banyak menyaksikan kisah-kisah pembunuhan sadis yang selalu menyedot perhatian publik. Bagi sebagian orang, kasus-kasus itu melelahkan dan memedihkan. Bagi sebagian yang lain, itu menakutkan. Dan media, demi kepentingan bisnis, sah-sah saja mengeksploitasi segala yang mungkin tersirat dalam peristiwa sambil bertaruh secara profesional dengan kaidah-kaidah jurnalistik.
Kini terbersit tanya, mengapa pembunuhan sadis bisa terjadi hanya karena motif sederhana? Sudah begitu tak berhargakah kehidupan dan masa depan? Tapi kita tak hendak bicara tentang itu. Jika polisi ingin menyederhanakan kasus agar tugas mereka segera tuntas, atau ingin menutup kemungkinan keterlibatan pihak lain yang perlu ‘diamankan’, itu bukan urusan kita.
Substansi dukungan kita terhadap seluruh kinerja penegak hukum adalah pengusutan tuntas terhadap seluruh kasus, termasuk kasus pidana lain yang juga melukai hati rakyat, semisal korupsi. Sekali lagi, kita sampaikan dukungan penuh kepada penegak hukum, sekaligus kita tunggu konsistensi, integritas dan profesionalitas mereka.
Begitulah, di dunia yang tersaput kegelapan dan kemurungan ini, peristiwa demi peristiwa akan terus berlangsung. Dan segalanya mendesak diselesaikan. Dan terhadap semua hal, kepada kita telah dikabarkan sejak lama betapa pentingnya teamwork. Jalan sukses selalu terhidang lebih lapang pada rumus itu. Pada titik ini, saya teringat kata sapangambei, satu kata dari bahasa Simalungun.
Saya tak bisa menjelaskan makna kata ini secara etimologis. Tapi secara harafiah, kata ini dapat dimaknai sebagai teamwork, seiring-sejalan, seide-seperasaan, atau istilah lain yang mengacu pada makna itu. Sebab bahasa daerah selalu tak luput dari nilai-nilai filosofis. Sapangambei mengandung nilai budaya dan adat, bukan hanya seiring sejalan, tapi sekaligus menyimpan kebenaran yang khas dan mendasar: jujur dan tulus.
Maka segala rekayasa dan manipulasi, meski untuk tujuan bersama, terlebih ingin mengaburkan kebenaran, saya pikir tak termasuk dalam konteks makna ini. Maka, dalam konteks kerja sektor apapun, sapangambei mutlak diperlukan. Barangkali, bahasa keren dari sapangambei yang kerap kita dengar dan lontarkan adalah sinergi.
Maka untuk mengusut dan membongkar kasus-kasus, misalnya, polisi harus bersinergi dengan berbagai pihak. Pendapat atau asumsi warga tak selalu lahir sebagai asumsi negatif. Sebaliknya, asumsi negatif bisa menjelma kekuatan positif jika ditanggapi dengan jernih dan cerdas.
Sejalan dengan itu, kita kemudian bertanya, kenapa pemerintah bisa berubah wujud jadi Tuan yang harus dihormati dan dilayani? Substansi kepemimpinan sesungguhnya terletak pada pemahaman dan kesediaan melayani rakyat. Dan semua kita memahami itu. Semua kita telah lama diajarkan tentang hal itu. Dan sapangambei bisa menjadi jalan atau jembatan bagi seluruh pihak menuju tujuan bersama. Bupati bukan penguasa, demikian juga walikota.
Tapi kemudian sapangambei berakhir menjadi sebatas kompromi dan negoisasi terbatas antara pemilik akses dengan penguasa. Model ini sesungguhnya melukai, tapi banyak pihak memilihnya jadi jalan tengah demi pembenaran terhadap situasi yang tak lagi terselamatkan. Sapangambei menjalankan urusan atau negoisasi yang entah kapan bisa diakhiri. Dan kita tahu: semua itu tak akan berakhir sebelum korupsi dan pengkhianatan berakhir.
Akan tetapi, yang murni dan yang najis memang menyimpan pesona masing-masing. Dan kita kerap menyerah pada zaman dan situasi di mana kita hidup dan berkarya. Kita tahu kebenaran kerap tersisihkan, tapi kita kerap sapangambei, berkomplot mengamini segala yang tercemar di hadapan adat dan Tuhan, bahkan kerap menumpuk kebatilan atas nama adat dan Tuhan.
Barangkali kita harus kembali menjenguk diri. Jika Anda pernah merampok, jangan menghakimi maling kecil. Jika Anda diminta berdoa, jangan berjoget atau menari. Sudah terlalu panjang alasan untuk tidak percaya pada yang transendental. Rasa kecewa yang tiada akhir akan menjerumuskan kita pada kemarahan yang kemudian mendidik kita jadi manusia kompromis.
Baiklah, saya akhiri goresan ini dengan sedikit ngawur. Sebab barangkali, ngawur adalah salah satu cara mempertahankan hidup dari kekalahan dan ketidakmampuan. Tapi jika terus menerus bicara ngawur, kita akan kehilangan arah. Dan makna sapangambei akan kian jauh, jauh dan terus menjauh. Dan barangkali, hanya kata-kata dan laku bijak yang mampu mengantarkan kita pada tempat yang ditinggikan dan dimuliakan. ***
0 komentar:
Posting Komentar