Oleh Panda MT Siallagan
Di masa yang tenang itu, alam masih menyediakan segalanya. Tanaman tumbuh begitu gampang dan berbuah selebat ia mau. Pun hewan-hewan, masih leluasa berbiak tanpa terancam dan mengancam. Kadang-kadang, muncul pertanyaan yang bikin lelah sekaligus sunyi: mungkinkah kita bisa kembali ke zaman yang damai itu?
[Foto/Internet] |
Itulah zaman ketika anak-anak masih memiliki banyak pilihan mengisi waktu bermain. Zaman yang sesungguhnya belum terlalu jauh, tapi seolah sudah berabad-abad berlalu, seolah tak mungkin lagi menjemput jejak yang pernah membekas di sana. Tahun 80-an hingga 90-an, sesungguhnya, masih seperti kemarin, tapi entah sudah raib kemana kehidupan indah pada masa itu.
Jauh menggugat, juga tentu tiada arti. Mengetengahkan ingatan yang rapuh barangkali bisa menjadi bagian dari pengekalan sejarah atau setidaknya kepingan sejarah. Adakalanya cuma salinan-salinan subjektif, tapi penghapusan total setiap ingatan akan menghantarkan kita pada peradaban yang tak bermuasal. Betapa ngerinya.
Salah satu ingatan yang syahdu sekaligus menggembirakan adalah kehangatan bermain bersama alam dan ikan-ikan. Saluran irigasi yang sekaligus berfungsi sebagai sarana MCK, areal persawahan, sungai-sungai, parit-parit kecil yang muncul di musim penghujan, lembah-lembah kecil kecil saluran mata air, atau kubangan-kubangan kerbau mengaso, semua masih menghadiahkan ikan-ikan beragam spesies.
Begitulah anak-anak di desa yang indah itu bermain-main dengan alam. Anak-anak itu punya tradisi menegangkan, menangguk ikan-ikan dari segala ruang yang diisi air. Tradisi itulah yang disebut mandurung. Terjemahan bebasnya: menangguk. Di zaman ini, menangguk kerap bermakna pejoratif. Hmm...
Alat yang digunakan mandurung disebut durung. Dengan demikian, mandurung adalah bentuk verbal dari kata durung, yang berarti alat tangguk, alat tangkap ikan tradisional, atau istilah-istilah lain yang merujuk pada fungsinya. Barangkali, seluruh daerah pedesaan di nusantara juga mengenal tradisi ini dengan penyebutan berbeda-beda.
Hingga kini, durung tetap akrab bagi petani, terutama bagi peternak ikan lele di kolam-kolam budidaya modern. Dan tentu, mendapatkannya juga gampang. Sudah sangat banyak toko yang khusus menjual alat-alat pancing dan perikanan. Durung beragam bentuk dan ukuran sudah jadi komoditas bisnis.
Tapi durung di desa kami akan tetap jadi kenangan yang unik. Sebab, jaring tak selalu gampang didapat. Maka adakalanya anak-anak punya kreatifitas lain: menukangi durung. Jaring-jaring kadang harus diganti dengan goni plastik, kain bekas berbahan kasar, atau karung tepung. Bahan-bahan pengganti jaring itu dilubangi dengan beragam cara: digunting, disulut, ditusuk-tusuk dengan obeng, hingga lubang air dirasa cukup. 'Jaring' lalu dibingkai dengan rotan untuk mulut dan tangkainya.
Lalu, senikmat apakah? Senikmat ikan-ikan itu. Senikmat para ibu menyuguhkan makan malam dengan sajian ikan-ikan segar. Tapi sudahlah. Ketika pestisida, fungisida dan insektisida menjajah ladang, sawah, dan kebun-kebun di pekarangan, perlahan-lahan ikan itu lenyap.
Dan, tradisi mandurung juga perlahan tertinggal jadi kenangan. Sejak itu, alam mengubur kisah-kisah. ***
0 komentar:
Posting Komentar