Puisi-puisi Panda MT Siallagan
Di Jalan, Doaku Remuk Digilas Langkah-langkah Kaki
Karena debu, deru dan asap dari cerobong kapitalisme selalu mengirim iblis ke dadaku, maka kubangun doa di sekujur tubuh. Menghalau mimpi buruk dari pintu rumahku bernama proletar.
KUcatat kesabaran di setiap trotoar, memahat tawakal di sudut-sudut kota. Dan nafasku menjadi akrab dengan larat yang memanjang di dalam detik-detik yang diam.
Karena waktu, manusia dan zaman selalu menanam iblis dalam adanya di kota ini. Kubungkus tubuhku dengan doa-doa, tapi derap-derap kekejaman menggilas doaku hingga remuk.
2003
Cerita dari Kloset
Jongkok aku di sini, entah untuk kematian atau demi kelangsungan hidup. Terdengar aroma politik dari mulut pembaca berita di televisi tetangga. Gumamku: bedakah aroma kotoran dengan aroma politik yang bau itu?
Dan kesadaran kita seperti direbus dalam iklan, film, berita dan liukan pantat multifungsi, menggelitik birahi dan menggali liang iblis. Tempat nurani kita dikuburkan, dan kita bersemedi di kloset merayakan kotoran.
Jongkok aku di sini, merumuskan petuah bagi bangsa: mari kita buang kotoran sebab itu nikmat, duduk berjongkok di kloset sambil merokok.
2003
Kesunyian Menggali Kuburan di Dada Kami
Kami menjahit langit di hati kami, sebab atap rumah adalah mimpi yang sejak lama telah terbelah.
Kami biarkan bintang menghinggapi kami. Malam kami pasrahkan meniduri kami. Kami menggelar asa di emperan toko-toko.
Kami jahit dingin di tubuh kami, sebab bantal dan kasur adalah milik peri, tersimpan menggali kuburan di dada kami.
2003
Sebab Tubuhmu Bau Surga di Jantungku
Kita bertemu di langit biru, ketika angin terasa surga di musim dingin. Saling menyapa kita di dalam kabut, ketika matahari terasa surga di musim dingin.
Tubuhku masuk ke dalam matamu. Nyawamu mengalir di urat nadiku. Hatiku tertanam di dadamu. Hidupku terkubur di dalam jiwamu.
Dan usia menjelma jadi keriangan, sebab tubuhmu bau surga di jantungku.
2003
Dari Debu, Aku Membangun Jembatan
Karena kita sudah lelah sepanjang perih, kau pergi melayari langit yang dilukis awan jadi jurang-jurang pilu di dadaku. Da kau titipkan angin yang berdarah dalam nafasku.
Tapi aku tak ingin sepi sendiri. Di dalam angin yang menanam duri di halamannya, kubangun jembatan dari debu-debu, menyatukan bukit-bukit tempatmu bersembunyi.
Dengan tiba di situ, benarkah kau yang meninggalkan aku? Sebab aku selalu jatuh ke lembah itu, merenangi dosa-dosaku.
2003
* Puisi-puisi ini terbit di Riau Pos, 31 Agustus 2003
Ilustrasi. |
Karena debu, deru dan asap dari cerobong kapitalisme selalu mengirim iblis ke dadaku, maka kubangun doa di sekujur tubuh. Menghalau mimpi buruk dari pintu rumahku bernama proletar.
KUcatat kesabaran di setiap trotoar, memahat tawakal di sudut-sudut kota. Dan nafasku menjadi akrab dengan larat yang memanjang di dalam detik-detik yang diam.
Karena waktu, manusia dan zaman selalu menanam iblis dalam adanya di kota ini. Kubungkus tubuhku dengan doa-doa, tapi derap-derap kekejaman menggilas doaku hingga remuk.
2003
Cerita dari Kloset
Jongkok aku di sini, entah untuk kematian atau demi kelangsungan hidup. Terdengar aroma politik dari mulut pembaca berita di televisi tetangga. Gumamku: bedakah aroma kotoran dengan aroma politik yang bau itu?
Dan kesadaran kita seperti direbus dalam iklan, film, berita dan liukan pantat multifungsi, menggelitik birahi dan menggali liang iblis. Tempat nurani kita dikuburkan, dan kita bersemedi di kloset merayakan kotoran.
Jongkok aku di sini, merumuskan petuah bagi bangsa: mari kita buang kotoran sebab itu nikmat, duduk berjongkok di kloset sambil merokok.
2003
Kesunyian Menggali Kuburan di Dada Kami
Kami menjahit langit di hati kami, sebab atap rumah adalah mimpi yang sejak lama telah terbelah.
Kami biarkan bintang menghinggapi kami. Malam kami pasrahkan meniduri kami. Kami menggelar asa di emperan toko-toko.
Kami jahit dingin di tubuh kami, sebab bantal dan kasur adalah milik peri, tersimpan menggali kuburan di dada kami.
2003
Sebab Tubuhmu Bau Surga di Jantungku
Kita bertemu di langit biru, ketika angin terasa surga di musim dingin. Saling menyapa kita di dalam kabut, ketika matahari terasa surga di musim dingin.
Tubuhku masuk ke dalam matamu. Nyawamu mengalir di urat nadiku. Hatiku tertanam di dadamu. Hidupku terkubur di dalam jiwamu.
Dan usia menjelma jadi keriangan, sebab tubuhmu bau surga di jantungku.
2003
Dari Debu, Aku Membangun Jembatan
Karena kita sudah lelah sepanjang perih, kau pergi melayari langit yang dilukis awan jadi jurang-jurang pilu di dadaku. Da kau titipkan angin yang berdarah dalam nafasku.
Tapi aku tak ingin sepi sendiri. Di dalam angin yang menanam duri di halamannya, kubangun jembatan dari debu-debu, menyatukan bukit-bukit tempatmu bersembunyi.
Dengan tiba di situ, benarkah kau yang meninggalkan aku? Sebab aku selalu jatuh ke lembah itu, merenangi dosa-dosaku.
2003
* Puisi-puisi ini terbit di Riau Pos, 31 Agustus 2003
0 komentar:
Posting Komentar