Suatu petang di awal Maret 2016, saya terkejut ketika melintas di sebuah pangkalan becak. Dari lima unit becak yang parkir di situ, tiga diantaranya sudah menggunakan sepedamotor buatan Jepang. Sudah lama saya tidak peduli lagi pada Becak Siantar ini (karena tak mampu beli, hehe), tapi sejak itu saya curahkan lagi perhatian mengamati becak-becak itu, baik yang melintas di jalanan maupun yang mangkal. Saya tertegun, ternyata sudah banyak becak itu yang tidak lagi menggunakan mesin BSA.
Saya terkenang peristiwa 2006. RE Siahaan, walikota Siantar ketika itu, berkolaborasi dengan segelintir anggota DPRD yang culas, berencana 'menggudangkan' becak Siantar sebagai barang bersejarah, sehingga nantinya tidak lagi digunakan sebagai moda transportasi komersil. Sebagai gantinya, Becak Siantar akan menggunakan sepedamotor pabrikan. Tapi sebelum digodok menjadi sebuah peraturan, informasi itu bocor.
Sebagai jurnalis, ketika itu saya turut 'berjuang' agar rencana itu tak terwujud. Bersama jurnalis lain, kami banyak menulis aspirasi penolakan terhadap wacana itu. Sayangnya, tulisan-tulisan itu lenyap seluruhnya, barangkali senasib dengan becak-becak itu. Dan singkat kisah, publik menang ketika itu. Becak Siantar bisa beroperasi seperti sedia kala.
Tapi, pergantian Becak Siantar dari BSA ke sepedamotor buatan Jepang, kini pelan-pelan terjadi seperti perang gerilya, senyap, tanpa wacana, dan tak tersadari. Pengalaman selalu jadi guru terbaik, kata sebuah adagium. 'Keributan' 10 tahun lalu itu mungkin dijadikan pelajaran oleh 'para pemain'. Sama halnya dengan korupsi, semakin banyak modus-modus korupsi terbongkar, semakin canggih dan gigih pula para pelaku mencari strategi baru.
Sesungguhnya, saya sudah curiga sejak lama. Kira-kira dua tahun lalu, Becak Siantar milik tetangga saya tiba-tiba 'hilang'. Saya tidak lagi mendengar suara dentuman mesin becak setiap pagi dan malam, ketika ia pergi dan pulang kerja. Setelah saya amati, ternyata becak tetangga itu sudah berganti dan kini tercantol pada sepedamotor buatan Jepang. Becak BSA itu sudah dijual. Hasil penjualan digunakan membeli sepedamotor baru. Sisanya tentulah dipergunakan untuk biaya lain-lain. Sebab siapapun tahu, saat ini harga becak BSA sangat tinggi, bahkan bisa mencapai ratusan juta rupiah.
Pertanyaannya, kalau semakin banyak pemilik becak BSA menjual becaknya dan menggantinya dengan sepedamotor baru, kemana perginya becak-becak BSA itu? Siapa pembelinya? Siapa yang mengawasinya? Bagaimana sikap pemerintah kota? Pertanyaan inilah muasal kecurigaan saya. Apakah benar ada upaya pelestarian seperti didengung-dengungkan itu?
Sebagaimana kita tahu, nilai sejarah BSA ini layak dijunjung sebagai kenangan yang menakjubkan atas perjalanan kota bekas keresidenan ini. The Birmingham Small Arms Company (BSA), demikian dikisahkan kepada kita, adalah perusahaan penyuplai persenjataan tentara Inggris selama Perang Crimean (1853- 1856). Periode setelah perang, BSA terus mengembangkan produknya dan menjadi pemasok kendaraan militer untuk tentara Inggris. Pada masa itu, mereka memproduksi 126.000 sepeda motor tipe M20 berkapasitas mesin 500 cc. Sepedamotor buatan tahun 1941 inilah yang ikut dibawa pasukan sekutu ke Pematangsiantar.
Setelah kepergian sekutu, ratusan sepedamotor BSA di Siantar ditinggalkan terbengkalai, termasuk milik tentara Inggris. Para pengusaha perkebunan Belanda dan Eropa sebagian memberikan sepedamotor itu secara cuma-cuma kepada warga pribumi. Masa itu tahun 1950-an, sepedamotor BSA konon terbiarkan seperti barang rongsokan, tidak terpakai. Lalu muncul kesadaran warga untuk memberdayakannya sebagai mesin penarik becak. Tak hanya BSA, sepedamotor tua lain seperti Norton, Triumph, dan BMW juga dimanfaatkan ketika itu. Tapi hanya BSA yang cocok dan efisien mengarungi topografi Siantar yang berbukit-bukit, lolos dari seleksi alam.
Setelah para pionir Becak Siantar berhasil meningkatkan daya guna sepedamotor BSA, banyak orang kemudian mencarinya dan memburunya ke berbagai daerah, sebab harganya sangat murah. Prinsip ekonomi berlaku di sini, BSA bisa diperoleh dengan murah, tapi sangat berguna dijadikan mata pencaharian. Konon, orang-orang Siantar mencari BSA ini hingga ke Medan, Asahan, Deli Serdang, Rantau Prapat bahkan ke Riau. Dari Pulau Jawa, motor ini diangkut dengan Kapal Tampomas II. Pencarian makin gencar ke pulau-pulau lain. Hasilnya, kurang lebih 2.000 unit becak BSA sudah berada di Siantar pada periode 80-an hingga 90-an.
Sejak itu, Siantar terkenal sebagai gudangnya sepedamotor BSA, menjadi legenda. Akhirnya, banyak kolektor berburu BSA ke kota ini, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, bahkan dari negara asalnya: Birmingham. Gelombang aksi jual-beli inipun berlangsung dasyat, sehingga dalam rentang waktu 10 tahun sejak 1990, jumlah becak BSA di Siantar kembali ciut tajam. Konon tahun 2000-an sudah turun lagi ke angka 600-an unit. Siapa tak tergoda dengan uang? Ancaman kepunahan itulah kemudian yang mendorong para pecinta Becak BSA berupaya melestarikan becak-becak itu. Maka wajar, ketika RE Siahaan berwacana mengganti BSA dengan Win, resistensi sangat kuat karena kondisinya memang sudah 'gawat'.
Ibarat satwa liar yang dilindungi, Becak Siantar makin bernilai tinggi, makin langka, makin seksi, dan makin menggairahkan sebagai lahan bisnis bagi para pengkhianat. Sekarang, becak-becak ini makin tersingkir dari jalanan Siantar, tergusur oleh kian marak dan menjamurnya becak-becak bermesin buatan Jepang mutakhir.
Tiba-tiba, saya tertegun. Imajinasi saya merayap sendu. Orang-orang yang belum pernah menaiki Becak Siantar bermesin BSA, segeralah ajak keluarga, naik becak ke tempat-tempat wisata, sebab kelak becak ini mungkin tak bisa kita saksikan lagi.***
0 komentar:
Posting Komentar