15 September 2016

Kepercayaan Orang Batak Sebelum Kehadiran Agama


Sebelum agama Kristen dan Islam masuk ke Tanah Batak, leluhur orang Batak juga mengenal konsep 'kekuatan lain' di luar dirinya. Mereka percaya bahwa bumi dan segala isinya tercipta oleh 'kekuatan lain' itu. Itulah tampuk segala kuasa yang mereka sebut Debata Si Tolu Sada (Debata Tri Tunggal) atau Debata Mulajadi Na Bolon.
Ilustrasi.
Debata Sitolu Sada kalau di benua atas disebut Debata Batara Guru, kalau di benua tengah disebut Debata Mangalabulan, sedangkan di benua bawah disebut Tuan Pane na Bolon atau Debata Asiasi. Pane na Bolon ini dipercaya sebagai pengatur berkat atas ladang, pemberi hujan dan matahari, penentu hari baik, pencipta petir, gempa, badai dan gelombang. Pane na Bolon juga dipercaya sebagai penyagang (penyanggah) bumi. Pane na Bolon disebut juga Raja (Gaja) Padoha.

Dengan demikian, berdasarkan konsep kepercayaan akan Pencipta itu, orang Batak kuno mengenal 3 benua, yaitu:

1. Benua Bawah (banua toru) untuk menyebut tanah berpijak dan segala lapisan bebatuan di dalamnya.
2. Benua Tengah (banua tonga) untuk menyebut bumi dan udara dimana mahluk-mahluk hidup.
3. Benua Atas (banua ginjang) untuk menyebut angkasa raya (kosmos) yang tidak terjangkau.

Namun demikian, banua ginjang tidak berarti surga, dan banua toru bukan berarti neraka. Kepercayaan orang Batak kuno, yang disebut Sipelebegu, tidak mengenal adanya konsep surga dan neraka sebagaimana diperkenalkan agama modern. Mereka percaya, orang jahat akan menangungkan kejahatan itu selama hidup.

Orang baik akan berkembangbiak dan menjadi kaya. Jika orang kaya meninggal, rohnya akan senang sebab keturunannya yang banyak akan datang menyembahnya. Dan dia akan terhormat di antara roh-roh yang lain. Tempatnya juga secara khusus akan berada di ketinggian. Sementara orang jahat akan mati dan tidak berketurunan. Di kematian, rohnya tidak terhormat, sebab tak ada keturunan yang menyembahnya.

Sesuai namanya Sipelebegu, mereka percaya pada kekuatan begu-begu. Begu dalam konteks kepercayaan itu sesungguhnya tidak negatif seperti dipahami sekarang. Begu sesungguhnya adalah roh orang yang sudah mati (sumangot). Baik orang yang meninggal secara terhormat (karena tua), maupun roh-roh orang yang meninggal secara tidak wajar. Inilah yang dipercayai sebagai begu. Konsep ziarah zaman modern sesungguhnya bertolak dari kepercayaan kuno ini. Hingga kini, orang Batak yang sudah menganut agamapun masih selalu ziarah ke makam orangtua.

Memang, kata 'begu' mengandung makna negatif karena orang Batak lama juga percaya bahwa begu bermacam-macam, sesuai dengan kekuatan atau latar belakang kematiannya. Begu-begu ini dipercaya memiliki pengaruh terhadap kehidupan mereka, baik mengenai hal-hal baik maupun hal-hal buruk. Begu-begu yang dikenal antara lain begu jau, begu siharhar, begu antuk, begu nurnur, begu pane, begu rojan, begu namora dan lain-lain.

Begu-begu ini memiliki peran masing-masing dalam mempengaruhi hidup manusia. Dan orang Batak kuno sangat percaya pada kekuatan begu-begu ini, sehingga mereka menyembahnya agar terhindar dari kesusahan dan penyakit yang bisa disebabkan sumangot (begu) tadi. Dengan demikian, menurut ilmu pengetahuan, Sipelebegu kita kenal sebagai animisme.

Demikianlah sekilas-lewat tentang kepercayaan Batak kuno. Artikel ini tidak dimaksudkan agar kita menjalankan lagi praktek-praktek animisme itu. Tapi dalam konteks kebudayaan, ini penting diketahui sebagai bagian dari kekayaan khasanah budaya Batak. Artikel ini merupakan saduran dari buku Jambar Hata karangan TM Sihombing, Penerbit Tulus Jaya (1989). (Panda MT Siallagan)
Bagikan:

0 komentar:

Posting Komentar