Cerpen Panda MT Siallagan
Setelah dua hari Felis tidak pulang, barangkali terdorong oleh rasa sayang yang dalam terhadapnya, aku dan Bibi Maryanka terpuruk dalam kepanikan yang hebat. Kami mencarinya kemana-mana, bertanya kepada tetangga, anak-anak, juga kepada orang-orang yang sekedar lewat di depan rumah kami. Tapi, tiada seorangpun di antara mereka yang tahu di mana Felis berada.
|
Ilustrasi. |
Bibi Maryanka menangis. "Dia pasti sudah dicuri orang. Atau, jangan-jangan dia terlalu asyik bermain di jalan, lalu mati digilas truk. Oh, Tuhan, tolonglah. Tolonglah kucingku yang manis," katanya tersedu-sedu. Aku ikut larut terseret pilu.
Hingga malam tiba, Bibi Maryanka terus saja bersedih dan dari mulutnya berdentingan igauan-igauan nyeri. Ketabahannya sebagai seorang perempuan longsor. Tumpas.
Di kamar, aku juga merenung dengan hati yang tersayat, meski mungkin tak sesedih bibi. Felis, kekasih kami yang manis itu, sungguh memang merupakan kucing yang baik. Dia tidak pernah mencuri ikan, tidak pernah kencing di lantai, dan tidak pernah mengeong-ngeong mengganggu tidur kami pada malam hari. Dia mempunyai bulu berwarna belang, mata berkilauan yang tajam, dan wajah yang imut. Dan semua itu benar-benar membuat kami sangat cinta padanya.
Tetapi, ada kalanya dia sangat manja dan merengek-rengek ketika lapar, tapi dia sangat patuh pada aturan. Jika kami makan, dia akan menggolekkan tubuhnya di atas lantai dan menunggu sampai kami selesai makan. Dia benar-benar tahu bahwa gilirannya makan adalah setelah kami selesai makan.
Begitulah. Setelah makan, dia akan pergi entah kemana. Bermain-main. Lalu pulang pada waktu-waktu tertentu, bermain sejenak bersama kami, lalu tidur di tempat yang selalu berbeda.
Sekarang, bayangkanlah jika Felis adalah seorang anak. Betapa bahagiannya dia. Hidup baginya hanya untuk bermain-main, merengek jika lapar, makan, tidur di sembarang tempat tanpa ada aturan, lalu bangun tanpa harus gosok gigi dan mandi. Alangkah indah hidup jika aku bisa seperti itu.
Tapi, aku mungkin sudah ditakdirkan untuk hidup dalam kesedihan-kesedihan. Tinggal bersama bibi yang kehidupan ekonominya tak memadai, membuat aku harus gesit mencuci piring, menyapu rumah, menyetrika, membersihkan pekarangan, dan memanfaatkan sebaik mungkin waktu belajar yang hanya tinggal sedikit.
Dan, jika seandainya aku menghilang, sedihkah Bibi Maryanka? Akankah dia panik mencari dan bertanya ke sana kemari tentang keberadaanku? Diserbu pertanyaan seperti itu, aku bangkit dari tempat tidur, keluar dari kamar, dan bertanya pada Bibi Maryanka yang masih bersedih.
"Sesayang apa Bibi pada Felis?"
"Seperti sayangku padamu, Nak."
"Jika aku yang hilang atau tewas digilas truk, akan menangiskah Bibi?"
"Nak, Bibi sayang kamu," katanya, lalu meringkus aku dalam dekapannya yang hangat. Sedu sedan mengalir dari bibirnya yang gemetar. Aku tiba-tiba teringat pada Bunda.
"Bi, mengapa bunda tidak baik seperti Bibi?"
"Jangan berkata seperti itu, Nak. Bundamu juga baik, sama seperti Bibi."
Tapi, aku tidak lagi mempercayai kata-kata Bibi. Aku tahu bundaku sangat jahat. Aku sebenarnya ingin agar Bibi Maryanka jujur menceritakan apa yang telah terjadi, agar aku tak dihantui rasa takut. Dan inilah makna 'bunda yang baik' yang menari-nari di pikiranku sejak itu: bunda yang baik adalah bunda yang tidak membiarkan putrinya hidup bersama orang lain; bunda yang baik adalah bunda yang bersedih jika kucing hilang, bukan justru menghilang melukai banyak orang.
Malam itu, seluruh poster perempuan cantik kuturunkan dari dinding kamarku. Selama ini aku membayangkan poster-poster itu adalah wajah bunda, agar dendamku padanya tidak semakin menggila. Entah mengapa memang, setiap kali melihat poster-poster perempuan anggun itu, aku selalu terbebas dari amarah, benci dan dendam. Tapi kini, aku ingin membiarkan dendamku pada bunda menyala.
Maka, kubayangkan wajah bunda seperti tikus, jelek, bermata liar dan nyalang, hidungnya nyaris rata dengan mulutnya, ada misai panjang di atas bibirnya, dan ekor yang menjijikkan bertengger pada bokongnya. Aha, bunda seperti tikus. Oh tidak, dia wanita yang jahat, keras, suka menggonggong. Ya, bunda juga seperti anjing. Bunda memang anjing. Aku benci kedua binatang itu. Aku benci pada bunda.
Malam itu, aku berharap semoga Felis sedang berburu tikus, mencabik-cabik tubuhnya hingga berserpih, lalu menelannya hingga ludes. Tapi bagaimana jika Felis sedang terjebak dalam terkaman anjing gila yang mematikan? Aku tiba-tiba menangis, dan rindu sekali pada Felis. Aku benci Bunda, juga lelaki itu.
*****
Ketika Felis, kucing kami yang manis dan imut itu menghilang, Ulinya tiba-tiba bertanya lagi tentang bundanya. Seperti biasa, aku berbohong mengatakan bahwa bundanya sangat baik. Tapi aku melihat kecurigaan yang ganas memancar dari matanya. Aku merasa kecurigaan itu seolah menyerangku sebagai balasan atas kebohongan yang kulakukan terhadapnya.
Sejak itu, Ulinya menjadi senang melukis. Menggambar, tepatnya. Dan dia selalu bangga menunjukkan gambar-gambarnya kepadaku.
"Bibi," katanya suatu kali, "Baguskah gambarku ini?" sambil menunjukkan sebuah gambar kepala yang di sisinya tertancap beberapa paku. Aku ngeri, dan nyaris muntah manyaksikan gambar itu. Jika pada awalnya gambar yang dibuatnya masih terbatas pada objek-objek umum seperti bunga, matahari, laut, gunung, sungai dan perabotan-perabotan rumah, maka gambar kepala itu merupakan awal dari gambar-gambar 'setan' yang ditunjukkannya padaku hampir rutin setiap minggu.
Dan inilah beberapa gambar yang pernah ditunjukkannya: seekor gajah menginjak seorang perempuan tepat pada bagian kelaminnya; sebuah wajah dengan mata tercungkil dan mata itu diikat dengan benang merah, tergantung di telinga yang berselekeh darah; tubuh seorang perempuan yang ditusuk dengan lembing dari bagian dubur hingga leher, persis seperti ikan yang ditusuk dan dipanggang di atas perapian.
Dan ini gambar yang membuatku hampir pingsan: seorang anak menyayat payudara ibunya, membakarnya, lalu melahapnya seperti menyantap hamburger. Mulut si anak berlumuran darah, tapi dari bibirnya tersunggging senyum yang lebar, matanya memancarkan cahaya kepuasan. Di bawah lukisan itu, tertulis kalimat pendek:
MARI MAKAN DAGING.
Sungguh, aku tidak pernah tahu darimana kegilaan melukis itu diperolehnya, dan aku harus menanggungkan rasa takut yang hebat atas semua itu. Aku ingin sekali melarangnya mambuat gambar-gambar mengerikan seperti itu, tapi aku tidak berani. Aku tidak ingin melukainya dengan mengatakan bahwa lukisan itu sangat tidak baik. Maka kubiarkan dia terus melukis, gila dan bermain-main dengan dunianya yang kejam.
Suatu kali, ayahnya datang menjenguknya. Seperti kepadaku, Ulinya juga menunjukkan gambar-gambar itu kepada ayahnya. Meski terluka, ayahnya memuji Ulinya dengan mengatakan bahwa lukisan itu sangat bagus. Lalu, setelah bercanda dan merasa puas bercengkerama dengan putrinya, ayahnya pamit, dan hanya menitipkan sedikit uang kepadaku. "Dik, jaga anak gadisku ya! Kebahagiaan dan penderitaannya kuserahkan padamu."
Aku sedih. Bang Burju kian hari kian tak karuan hidupnya. Aku terus berdoa kepada Tuhan semoga Bang Burju tabah, begitu juga denganku. Dan biarlah hanya Tuhan yang punya hak memberi hukuman kepada istrinya yang lari bersama lelaki biadab itu.
*****
"Apa yang terlintas di benakmu ketika kau membuat gambar-gambar itu?" Bibi Maryanka bertanya suatu kali.
Sesungguhnya aku ingin sekali menjawab pertanyaan itu dengan jujur, tapi kesedihan selalu membungkam mulutku. Aku justru terjebak dalam pertanyaan lain dalam hatiku, mengapa bibi tidak marah pada bunda? Mengapa bibi membiarkan bunda pergi begitu saja? Apakah bibi takut pada bunda?
"Bibi, baikkah bundaku?" tanpa kusadari pertanyaan itu meluncur lagi dari mulutku.
"Mengapa kamu selalu bertanya tentang bunda, Nak? Kau rindu padanya?"
"Lalu aku harus bertanya apa, Bibi? Baiklah, aku bertanya tentang ayah saja, ayah baikkah?"
"Ayahmu bukan hanya baik, Nak. Dia seperti Tuhan. Hatinya seperti malaikat. Ketika bibi dan ayahmu masih kecil, dia selalu melindungi bibi. Ayahmu itu pintar, dan selalu membuat kakek dan nenek bangga. Maka bersikaplah seperti ayah dan bunda. Mereka adalah orang-orang baik."
"Bibi bohong."
"Tidak."
"Bohong."
Aku berlari ke kamar, menumpaskan tangis ke dalam bantal. Tapi aku sedikit lega ketika bibi menyusulku ke kamar dan terperangah melihat dua buah gambarku yang baru. Satu tentang gambar kucing yang mencakar-cakar payudara perempuan berwajah tikus, di bawahnya kutulis:
Felis Mengamuk pada Bunda.
Gambar satunya lagi adalah tentang kucing yang tubuhnya terpotong-potong, di bawahnya tertulis:
Bunda Menjagal Felis. Agak lama Bibi Maryanka menatap kedua gambar itu, lalu berbalik arah sambil menangkupkan kedua tangannya ke wajah. Di ruang lain, kudengar tangis bibi lamat-lamat, mendengung, menyebarkan kesedihan sepanjang malam itu.
*****
Sering terkenang olehku masa kanak-kanak yang damai bersama Bang Burju. Hingga kini, masa itu selalu melekat dalam ingatan sebagai masa paling damai, paling membahagiakan. Meski ayah dan ibu hanyalah petani miskin dan sehari-hari selalu berkutat di ladang dan sawah, aku dan Bang Burju selalu bahagia. Tidak pernah sekalipun terjadi percekcokan menyakitkan di dalam keluarga kami. Bang Burju cukup tahu cara membahagiakan orangtua.
Sejak masih duduk di sekolah dasar, Bang Burju selalu mengayomiku dengan sifatnya yang perasa, lembut, penyayang tapi bisa menjadi sangat garang manakala orang lain berbuat curang. Bang Burju adalah orang cerdas dan selalu mendapat ranking di kelasnya. Beda dengan aku yang tergolong lamban menangkap mata pelajaran. Dia juga seorang pekerja keras. Maka jika kelak dalam usia dewasanya ia bisa menjadi orang sukses, aku selalu percaya bahwa apa yang diperolehnya adalah berkat dari Tuhan atas kebaikan-kebaikan dan kerja kerasnya.
Tidak ada yang salah dalam hal pernikahan, toh semua manusia pada akhirnya memang sebaiknya menikah. Tapi ketika Bang Burju menikah dengan seorang perempuan cantik dan menor, aku merasa sedikit tidak rela karena hanya dialah satu-satunya milikku setelah ayah dan ibu meninggal beberapa tahun sebelumnya.
Pada saat menikah itu, Bang Burju sudah bekerja sebagai Asisten Tanaman di sebuah perkebunan. Namun dengan alasan tidak biasa hidup di tengah-tengah perkebunan, istrinya tidak bersedia menyertainya tinggal di lokasi perkebunan. Bang Burju akhirnya membeli sebuah rumah di kota dan di rumah itulah istrinya tinggal, sedangkan Bang Burju tinggal di rumah dinas kebun dan pulang setiap akhir pekan.
Tak lama kemudian, aku juga menikah. Atas saran Bang Burju, aku dan suamiku tinggal berdekatan dengan rumah mereka, sehingga bisa saling membantu satu sama lain jika suatu waktu ada kesulitan. Aku sendiri, atas saran suamiku, memilih berhenti bekerja karena gajinya sebagai pegawai bank sudah lebih dari cukup untuk kehidupan kami.
Begitulah. Hubungan antara keluargaku dengan keluarga Bang Burju berlangsung sebagaimana diharapkan. Segalanya berjalan dengan baik. Ketika Bertha melahirkan Ulinya, aku benar-benar mencurahkan seluruh waktu dan tenaga membantu persalinan hingga merawat bayinya, dengan harapan: semoga aku dan suami juga segera dapat momongan.
Hingga akhirnya peristiwa itu terjadi. Bertha kabur bersama lelaki biadab itu. Itulah mula segala kehancuran dalam keluarga kami.
*****
Sebuah lorong sempit. Hari menjelang maghrib. Aku berjalan di lorong itu dengan tas mengganduldi punggung. Dan, tiba-tiba seorang manusia berkepala anjing menghadangku, menyeringai dan mencoba menerkam tubuhku dengan kuku-kukunya yang sangat tajam. Sadar akan situasi itu, aku melarikan diri. Tapi belum sempat kupacu langkah, mahluk-mahluk lain yang lebih mengerikan bermunculan. Aku ketakutan, menggigil dan mulai menangis.
Mahluk-mahluk itu kian mendekat, ketakutanku memuncak dan kurasakan celana dalamku basah. Aku terbangun. Seprei dan kasur sudah basah. Aku bangkit dengan maksud berganti pakaian. Mimpi itu sungguh sial. Dan makin sial karena bunda tak kutemukan di ranjangnya. Lalu aku keluar dari kamar, dan inilah yang terjadi:
Bunda telanjang dan terengah-engah ditindih seorang lelaki. Mulut mereka saling menguyah. Aku tersenyum karena menduga lelaki itu adalah ayah yang pulang dari perkebunan. Tapi menyadari rambut lelaki itu keriting, aku mulai bergetar. Itu bukan ayah. Dengan hati-hati, aku balik ke kamar dan mencoba mengintip dari lubang kunci. Dan jelas kusaksikan, lelaki itu adalah paman, suami Bibi Maryanka. Aku ambruk, dan sejenak tak ingat apa-apa.
*****
"Bibi," kata Ulinya padaku suatu pagi, "Mengapa Bibi tidak membunuh bunda? Mengapa Bibi membiarkan bunda kabur bersama paman?"
Bagai tersengat listrik aku mendengar tanya itu. Seketika Ulinya menangis dan meraung-raung seperti kerasukan. Aku menghampirinya, mendekapnya erat, dan kubisikkan di telinganya, "Nak, dendam tak ada guna. Berdoalah kepada Tuhan. Semoga ayahmu sehat, semoga bibi kuat. Hanya Tuhan yang bisa memberi kebahagiaan pada kita. Hanya Tuhan yang bisa menghukum manusia. Serahkan padaNya."
Kurasakan pelukan Ulinya sangat erat di dadaku. Kami sama-sama menangis. ***
Pekanbaru, Maret 2003
# Cerpen ini dimuat pertama kali di Riau Pos, 13 Juni 2004