11 September 2016

Sketsa Sunyi dari Hidup yang Sibuk


Puisi-puisi Panda MT Siallagan

Jalan Gelap

Lagi, keluh ini harus kunyalakan. Sebab banyak kisah telah tenggelam ditelan malam. Warna-warna kota, sejarah yang tergilas di jalan raya, pejalan yang melangkahi nasib sendiri di jalan raya.

Betapa lemah hati kita membaca perjalanan. Dan senantiasa, dengan menggendong luka, kita tak pernah bosan memeta hari-hari yang datang dengan mata terbeliak.

Tapi kenapa setiap persimpangan selalu menjadi tanda tentang arah yang terlupa, sementara kita tak pernah memoles senyum di sepanjang tujuan yang berdarah?

Alangkah ganji segala kemungkinan. Maka, keluh ini harus kunyalakan.

Pekanbaru, 2004


Sketsa Sunyi dari Hidup yang Sibuk

Akhirnya tercecer juga hati kami dalam kegenitan har-hari. Setiap pagi, mentari selalu membunyikan hp, membangunkan kami. Dan di seberang, sebuah mimpi menyapa dengan mesra: "Halo, sudah berapa banyak doa berlepasan dari dari nafasmu?"

Tapi kami sudah lupa apakah kami pernah berdoa. Kami hanya ingat bahwa suka dan duka sudah kami simpan di dalam televisi. Dan kabel-kabel telepon telah berjanji mengirimkan surga ke rumah kami. Tapi, ketika siang meraja, hiruk-pikuk dunia menyala di dalam komputer kami dan email-email seksi merayu: "Hai, sudah kau santapkah luka dunia hari ini?"

Kami tercengang, sebab telah begitu lama memang jiwa kami kenyang disuapi luka. Jalan dan gang-gang yang kami susuri, juga selalu menjajakan luka. Maka kami pun menaikkan hidup ke ats motor, ke dalam opelet dan mobil-mobil. Demikianlah cara kami memposkan usia supaya lebih cepat tiba di neraka, sebab surga sudah bersembunyi di telapak kaki pengemis, di kantong pejalan sunyi.

Lalu, ketika senja tiba, rumah kami yang sesak disumpal harta itu berbisik: "Hi, how are you today? Apa saja isi inbox hp dan emailmu? Apakah gadis-gadis belia telanjang? Atau otot-otot gigolo? Tadi telepon berdering berkali-kali, ada pesan dari kematian. Televisi juga sudah kangen pada matamu."

Ketika kami buka pintu, dosa sedang bermain-main di rumah kami, dan kami hanya bisa mendesah: "Alangkah sepi hidup di dunia yang sibuk."

Pekanbaru, 2004

Puisi Terakhir

Ini puisi terakhir, barangkali akan kau muntahkan juga. Dunia yang kutanam di lambungmu dengan kata-kata, selalu terburai. Terlalu tajamkah garis nasib yang kukalungkan di lehermu? Sebab kelam tak henti-henti meneriakkan darah: "Do you like coffee?"

Dan aku menyeruputnya dari cangkir berlumur malam. Berjaga, takut terhadap peluh perjalanan yang meramu hidup jadi racun. Kutulis juga kegenitan kecoak. Barangkali, ada yang mesti kutangkap dari suara jangkrik. Ladang luas yang masih perawankah? Tapi mengapa kita lukai rumah kita?

Tapi ini puisi terakhir. Barangkali, kau tidak berbakat memelihara kampung, kota dan taman-tamannya. Kau biarkan semak-semak merampas takdir kita. Dan ketika kusiangi, darah muncrat dari tanah. Seberapa banyak nasib yang telah terkubur? Sehitam mimpi-mimpi manusia, katamu. "So, do you want to drink coffee?"

Oke, oke, sebab ini puisi terakhir. Akan kuteguk luka dunia seperti kopi yang setia menemaniku bersajak.

Pekanbaru, 2004

* Puisi-puisi ini terbit di Riau Pos, 31 Oktober 2004
Bagikan:

1 komentar:

Terimakasih kunjungan Anda. Salam Literal...!