Lagu Air
Tanggul setipis kelopak, gemetar di mata. Kolam luka apa ini?
Terbang air, menjilat langit, membawa birahi riak pada kabut.
Hampa dan dingin.
Maka pasang adalah jeritan sayap, menyisakan darah yang melumpur.
Dengan resah rapuh, tanggul itu kuretak.
Mata membanjir, doa menghilir ke ujung dosa.
Kisaran, Juli 2009
Ilustrasi. |
Dihantar ikan asin dan kelat jengkol, butir-butir nasi menunaikan janji di perutnya. Sepi dapur terngiang, gemetar. “Kawan, sampai kapan ada kepergian?”
Belum sempat ia membaca sejarah pada dinding gedek yang berantakan, jalanan berseru mengukur usianya. Demikian memang, kota-kota hadir untuk merampas.
Doa sembab terburai dari matanya, tapi ia tahu petang hanya milik dingin. Serupa punggung katak terdampar oleh banjir got usai hujan, ia tersesat di kolong ranjang dipan. Ia usir jiwa yang tiada berumah, tapi di jalanan ini ia bebas meraung. Terbang ke mana tawa itu? Pohon-pohon berlarian.
Ia mengukur jalanan dengan mimpi. Ada radio butut dan piring plastik, penanda aroma dan alamat rumah. Jalanan dan kota-kota mungkin hanya tempat bermain, gambaran laut di atas ranjang kapuk. Tapi ikan segar dan cumi-cumi cuma mimpi, tak pernah tiba di kuali.
Api, semerah mata anaknya, meringis disengat nyamuk. Ia ingat asap kompor tak mengusir apa-apa, kecuali memedihkan mata. Pura-pura menyanyi ia menemani deru mesin bus, ingat rumah penuh cerita. Pertengkaran-pertengkaran, sungguh bumbu yang mahal.
Siantar-Kisaran, Oktober 2009
Mencari Surga
Di manakah surga itu, kau ketuk-ketuk ombak. Tak ada jawab. Pekik camar hanya melempar rintih karang untuk makanan hiu.
Ke laut kau mencari, sebab bulan meraung di balik bukit, mengentalkan asap pembakaran jerami dan tungku-tungku batu. Kau gali pasir, sedalam langit mengubur cahaya di sepanjang pantai. Kau temukan jawab, kedamaian itu seluas samudera.
Kau menangis tidak lahir jadi burung, seolah samudera hanya berjodoh dengan sayap. Kau dekap ombak. Oh, batu-batu desa dan tanah-tanah tandus ingin kau basuh dengan tangis. Di mana surga itu?
Lubang tikus memanjang dalam kepalamu, desa sepi karena pestisida terbang ke langit. Surga itu mungkin racun, tapi ayo kita pulang. Masih ada ruang tenang di hatiku, masih tersimpan tangis bayi, pohon rambutan dan seruling bambu. Rebung santan, tidakkah kau ingat nikmatnya.
Surga ada di mulutmu, meniup seruling di punggung kerbau. Ya, kau murung karena burung-burung gagak selalu datang mematuki doamu pada malam hari. Dan di pantai, camar-camar menjerumuskan senyummu.
Pematangsiantar, 2008
0 komentar:
Posting Komentar