05 September 2016

Sajak-sajak Panda MT Siallagan



Lagu Air


Tanggul setipis kelopak, gemetar di mata. Kolam luka apa ini?
Terbang air, menjilat langit, membawa birahi riak pada kabut.
Hampa dan dingin.

Maka pasang adalah jeritan sayap, menyisakan darah yang melumpur.
Dengan resah rapuh, tanggul itu kuretak.
Mata membanjir, doa menghilir ke ujung dosa. 

Kisaran, Juli 2009


Ilustrasi.
Bayangan Perjalanan

Dihantar ikan asin dan kelat jengkol, butir-butir nasi menunaikan janji di perutnya. Sepi dapur terngiang, gemetar. “Kawan, sampai kapan ada kepergian?”
Belum sempat ia membaca sejarah pada dinding gedek yang berantakan, jalanan berseru mengukur usianya. Demikian memang, kota-kota hadir untuk merampas.

Doa sembab terburai dari matanya, tapi ia tahu petang hanya milik dingin. Serupa punggung katak terdampar oleh banjir got usai hujan, ia tersesat di kolong ranjang dipan. Ia usir jiwa yang tiada berumah, tapi di jalanan ini ia bebas meraung. Terbang ke mana tawa itu? Pohon-pohon berlarian.

Ia mengukur jalanan dengan mimpi. Ada radio butut dan piring plastik, penanda aroma dan alamat rumah. Jalanan dan kota-kota mungkin hanya tempat bermain, gambaran laut di atas ranjang kapuk. Tapi ikan segar dan cumi-cumi cuma mimpi, tak pernah tiba di kuali.

Api, semerah mata anaknya, meringis disengat nyamuk. Ia ingat asap kompor tak mengusir apa-apa, kecuali memedihkan mata. Pura-pura menyanyi ia menemani deru mesin bus, ingat rumah penuh cerita. Pertengkaran-pertengkaran, sungguh bumbu yang mahal.

Siantar-Kisaran, Oktober 2009

Mencari Surga

Di manakah surga itu, kau ketuk-ketuk ombak. Tak ada jawab. Pekik camar hanya melempar rintih karang untuk makanan hiu.

Ke laut kau mencari, sebab bulan meraung di balik bukit, mengentalkan asap pembakaran jerami dan tungku-tungku batu. Kau gali pasir, sedalam langit mengubur cahaya di sepanjang pantai. Kau temukan jawab, kedamaian itu seluas samudera.

Kau menangis tidak lahir jadi burung, seolah samudera hanya berjodoh dengan sayap. Kau dekap ombak. Oh, batu-batu desa dan tanah-tanah tandus ingin kau basuh dengan tangis. Di mana surga itu?
Lubang tikus memanjang dalam kepalamu, desa sepi karena pestisida terbang ke langit. Surga itu mungkin racun, tapi ayo kita pulang. Masih ada ruang tenang di hatiku, masih tersimpan tangis bayi, pohon rambutan dan seruling bambu. Rebung santan, tidakkah kau ingat nikmatnya.

Surga ada di mulutmu, meniup seruling di punggung kerbau. Ya, kau murung karena burung-burung gagak selalu datang mematuki doamu pada malam hari. Dan di pantai, camar-camar menjerumuskan senyummu.

Pematangsiantar, 2008


Bagikan:

Baca Juga:

  • Sajak-sajak Panda MT Siallagan
    Sunyi Tubuh renta, merayap lamban Dilumat hujan Hentak kaki di pematang Katak-katak melompat Petani tinggalkan senja basah Juni 2009 &n…
  • Doa-doa Kepada Mulajadi Na Bolon
    Puisi-puisi Panda MT Siallagan Jampi Sekali ingin kembali pada takdir semula jadi Bangun amat pagi, merapal jampi pada Mulajadi. Di lembah semedi…
  • Luka Harus Dijahit Sebelum Cinta Lepas Jadi Dongeng
    Puisi-puisi Panda MT Siallagan Ilustrasi. Kemarau Sejak Kau buka tingkap, detak jantungnya meluncur bagai embun luruh dari dedaun pul…
  • Kau Cuma Dengkur, Pencemar Udara Sunyi
    Sajak-sajak Panda MT Siallagan Ilustrasi SAJAK BUTAJadi begitu, ia sobek-sobek bulan itu mencari benang mantera, begitu caranya meluncur ke dasar…
  • Puisi-puisi Panda MT Siallagan
    Ornamen cicak dan adop-adop. Lahir Bertahun-tahun ia bertanya, pergi ke mana airmata yang dulu sering melintas pada masa kecilnya. Dan bertah…
  • Saat Mengenangmu dengan Mantera-mantera
    Puisi-puisi Panda MT Siallagan Ilustrasi. Menjenguk Godot Tiga ikan lele, dinamai seperti ini: tanah, udara dan langit Tanah untuk darah, udara…
  • Pengantin Kelelawar
    Sajak-sajak Panda MT Siallagan Ilustrasi. Pengantin Kelelawar Sebagai sepasang sunyi, kami menjelma sepasang kelelawar di malam luka. Inilah mus…
  • Sajak Pulang
    Oleh Panda MT Siallagan Ilustrasi. Ketika bulan pecah di kaca jendela, kuputuskan jaga. Meski malam mengapung, kukemasi sisa sunyi dari kolong ra…

0 komentar:

Posting Komentar