Dalam praktek kerja kewartawanan (dunia jurnalistik), mutlak diperlukan keahlian, keterampilan dan standar moral untuk menjadi profesional. Oleh karena itu, ada dua jenis wartawan: wartawan profesional dan wartawan gadungan atau lebih sering disebut wartawan abal-abal.
Ilustrasi Pers |
Sebagaimana diketahui, wartawan adalah sebuah profesi atau jenis pekerjaan yang ditekuni. Oleh karena itu, seorang wartawan harus profesional dalam menjalankan tugas-tugas jurnalistiknya. Untuk tujuan profesionalisme inilah dibuat undang-undang dan kode etik yang harus dipatuhi setiap wartawan.
Wartawan profesional adalah yang memahami tugasnya, yang memiliki skill (keterampilan), seperti melakukan reportase, wawancara, dan menulis berita atau feature yang bagus dan akurat, dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Selain itu, wartawan juga dinaungi organisasi profesi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan masih banyak asosiasi wartawan lainnya.
Menurut Undang-Undang No. 40 tahun 1999 tentang Pers, wartawan profesional adalah wartawan yang mengerjakan pekerjaannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam Kode Etik Jurnalistik (KEJ) disebutkan, wartawan Indonesia menempuh cara-cara profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik. Cara-cara profesional itu adalah:
- Menunjukkan identitas diri kepada narasumber
- Menghormati hak privasi.
- Tidak menyuap dan tidak menerima suap
- Menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya
- Pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi keterangan sumber dan ditampilkan berimbang.
- Menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara.
- Tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri.
Dengan demikian, seorang wartawan adalah seorang yang profesional, kompeten, punya kebanggaan profesi yang akan dipertahankan dengan cara apapun dan akan melindungi citranya dari berbagai gangguan dan ancaman yang akan merusaknya. Profesionalisme menyangkut kecakapan, keterampilan, pengetahuan umum dan pengetahuan khusus.
Praktisi pers yang juga seorang akademisi, Asep Syamsul Romli (2005), menyebutkan, wartawan profesional memiliki beberapa karakteristik yang menjadi standar atas profesinya tersebut, yaitu:
1. Menguasai Keterampilan Jurnalistik
Seorang wartawan harus memiliki keahlian (expertise) menulis berita sesuai dengan kaidahkaidah jurnalistik. Ia harus menguasai teknik menulis berita, feature serta artikel.
Wartawan sejatinya adalah orang yang pernah menempuh pendidikan kejurnalistikan secara khusus atau setidaknya pernah mengikuti pelatihan dasar jurnalistik. Ia harus terlatih dengan baik dalam keterampilan jurnalistik yang meliputi, teknik pencarian berita dan penulisannya, di samping pemahaman yang baik tentang makna sebuah berita.
Ia harus memahami apa berita, nilai berita, macam-macam berita, bagaimana mencarinya, dan kaidah umum penulisan berita.
2. Menguasai Bidang Liputan
Seorang wartawan harus memahami dan menguasai segala hal, sehingga mampu menulis dengan baik dan cermat tentang apa saja. Namun yang terpenting, ia harus menguasai bidang liputan dengan baik.
Wartawan ekonomi misalnya, ia harus menguasai istilah-istilah dan teori-teori ekonomi. Wartawan kriminal, ia harus memahami segala sesuatu yang berhubungan dengan dunia kriminalitas, seperti sebutan-sebutan, istilah atau kasus-kasus kriminal, dan lain-lain.
3. Memahami dan Mematuhi KEJ
Wartawan yang profesional memegang teguh etika jurnalistik. Di Indonesia sendiri, etika jurnalistik tersebut sudah terangkum dalam Kode Etik Jurnalistik yang sudah ditetapkan Dewan Pers sebagai Kode Etik Jurnalistik bagi para wartawan di Indonesia.
Kepatuhan pada kode etik merupakan salah satu ciri profesionalisme, di samping keahlian, keterikatan, dan kebebasan.
Dengan pedoman kode etik, wartawan diharapkan tidak mencampuradukkan fakta dan opini dalam menulis berita, tidak menulis berita fitnah, sadis, dan cabul, dan paling utama, tidak “menggadaikan kebebasannya” dengan menerima amplop. Seorang wartawan profesional hanya akan menginformasikan suatu peristiwa yang benar dan faktual, tidak lebih dari itu.
Seorang wartawan dapat dikatakan baik apabila ia bekerja dengan segenap hati nurani (Coblentz, 1961). Seorang wartawan yang berhati nurani harus memenuhi pikiran-pikirannya mengenai kebenaran dan keadilan, dan harus menyesuaikan diri pada nilai-nilai tinggi yang telah dibina publik untuk dirinya (William Randolph Hearst, 1961).
Duanne Bradley (1996) mengatakan bahwa wartawan yang baik harus memiliki sejumlah aset dan modal, di antaranya, pengetahuan, rasa ingin tahu (sense of knowing), daya tenaga hidup (vitalitas), nalar berdebat, kemampuan brainstorming (bertukar pikiran), keberanian, kejujuran serta keterampilan berbahasa, baik lisan apalagi tulisan.
John Hohenberg (1977) mengemukakan sedikitnya ada 4 (empat) syarat untuk menjadi seorang wartawan yang baik, antara lain:
- Tidak pernah berhenti mencari kebenaran
- Maju terus menghadapi jaman yang berubah dan jangan menunggu sampai dikuasai olehnya.
- Melaksanakan tugas-tugas yang berarti ada konsekuensinya bagi umat manusia.
- Memelihara suatu kebebasan yang tetap teguh
Adinegoro (1961), salah seorang perintis pers Indonesia menambahkan bahwa wartawan yang baik harus memiliki sejumlah sifat yang mutlak ditanam dan dipupuk oleh seorang wartawan, antara lain:
- Minat mendalam terhadap masyarakat dan apa yang terjadi dengan manusianya.
- Sikap ramah tamah terhadap segala jenis manusia dan pandai berbicara dan menulis dalam bahasa Indonesia, lebih baik lagi jika menguasai berbagai bahasa asing.
- Memiliki daya peneliti yang kuat dan setia kepada kebenaran.
- Memiliki rasa tanggungjawab dan ketelitian.
- Kerelaan mengerjakan lebih dari apa yang ditugaskan.
- Kesanggupan bekerja cepat.
- Selalu bersikap objektif.
- Memiliki minat yang luas.
- Memiliki daya analisis yang tajam.
- Memiliki sikap reaktif.
- Teliti dalam mengobservasi.
- Suka membaca.
- Suka memperkaya bahasa.
Seorang wartawan yang baik, menurut Mochtar Lubis (1963) harus mampu membuat laporannya sedemikian rupa, sehingga berita yang disajikannya menjadi ”hidup” dan pembaca dapat merasakan dan melihat apa yang ditulisnya seakan ia ikut melihat atau mengalaminya sendiri. (berbagai sumber/int)
0 komentar:
Posting Komentar