10 Agustus 2016

Kenapa Kita Suka 'Begituan'?

Syahdan, seorang gadis muda datang ke kantor polisi dengan kepala tertunduk. Wajahnya tampak murung dan rambutnya acak-acakan. Ia ditemani seorang pria paruh baya, yang tak lain adalah pamannya. Rupanya, gadis itu baru saja jadi korban pencabulan.


Maka tentu saja kehadiran mereka di kantor polisi bertujuan melaporkan seorang pria, terduga pelaku cabul yang tidak bertanggung jawab itu. Singkat kisah, si gadis diperiksa sebagai saksi pelapor. Dan saya yang menyaksikan itu, merasa terguncang ketika juru periksa (juper) meminta gadis itu bercerita untuk keperluan BAP.

"Coba ceritakan, kamu diapain?" tanya si juper. Gadis itu diam.

Alangkah sulit menceritakan hal-hal memalukan yang terjadi pada diri kita. Si juper lalu menjelaskan bahwa keterangannya sangat diperlukan agar kasus tersebut bisa diproses. Tapi lagi-lagi si gadis diam. Terakhir, si juper mengubah jurus, ia setengah membujuk bak ibu yang penuh kasih. Barulah gadis itu bicara.

"Digituin," katanya. Singkat.

"Digituin bagaimana?" tanya si juper.

Si gadis diam lagi. Bersamaan dengan itu, saya meninggalkan ruangan itu. Sebab memang, saya tak punya hak berada di situ. Tapi demikianlah, saking akrabnya dengan wartawan, adakalanya seorang juper membiarkan wartawan menyaksikan proses pemeriksaan terhadap tersangka atau pelapor.

Dan saat itu, saya memutuskan tidak menuliskan berita itu. Itulah masa-masa sulit yang saya alami sebagai wartawan, ketika ditugaskan meliput di unit kepolisian. Saya jarang membawa berita ke kantor bukan karena tidak ada berita. Tapi saya tidak suka kriminalitas. Atau tepatnya, gengsi menulis berita cabul. Sebab, sebelum terjun jadi wartawan, saya telah terlebih dahulu menggeluti sastra. Saya sudah menulis puisi, cerita-pendek dan sejumlah esei di berbagai media. Akhirnya, setelah dua bulan bertugas di kepolisian dan jarang membawa berita, saya 'dipecat' dari kepolisian dan kembali ditugaskan ke unit pemerintahan. Akal bulus saya berhasil.

Tapi saya tak hendak bercerita tentang itu. Saya hanya ingin mengambil ujaran singkat gadis itu: digituin. Dan ajaibnya, kata 'digituin' kini sangat populer. Populer karena media online ramai-ramai memakainya. Jadi, kata 'disetubuhi', 'diperkosa', 'dicabuli', 'berhubungan intim', berubah jadi 'digituin' atau 'begituan'. Kok bisa? Saya menduga, redaktur yang menurunkan judul semacam itu mungkin pernah juga mengalami hal yang sama dengan saya. Mungkin gitu. Makanya judulnya digituin.

Media-media konvensional masih jarang menggunakan kata itu sebelumnya, meskipun korannya 'berjenis kelamin' kuning. Bahwa koran-koran kuning gemar mengeksplore berita-berita cabul dan sadis, itu benar. Tapi penggunaan kata 'digituin' dan 'begituan' masih sulit ditemukan. Kini, setelah istilah itu booming di media-media online, beberapa koran kuning malah ikut memakainya. Bagaimana ini? Yang digital mempengaruhi si konvensional. Bagaimana andai pengaruh- mempengaruhi ini juga terjadi antara media onlin dan koran putih dan dimenangi digital? Betapa runyamnya masa depan jurnalistik kita.

Inilah antara lain alasannya kenapa jurnalisme digital harus diurusi. Agar tidak 'begituan' dan 'digituin'. Sebab seperti kita saksikan, media-media online itu sepertinya sangat gemar mengutamakan berita-berita berbau pornografi dan kriminalitas, bahkan terkadang diberi judul blak-blakan seperti 'digituin' dan 'begituan' itu. Intinya, berita esek-esek dan berita sadis sangat disukai situs-situs berita.

Dan itu jelas bertentangan dengan Kode Etik Jurnalistik Pasal 4 yang menyatakan: Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.

Pertanyaannya, mengapa media-media saiber melakukan hal itu? Jelas untuk meningkatkan trafik pengunjung, memancing pembaca agar datang berkunjung ke situs tersebut. Sebab, sebagaimana koran menemukan kekuatan bisnisnya pada tiras, maka media online membangun prospeknya bisnisnya dengan trafik atau hits pengunjung. Tapi alangkah naif, jurnalistik dibiarkan terjebak dalam strategi 'menghalalkan segala cara'.

Pertanyaannya lagi, mengapa berita-berita semacam itu sangat laris di media-media online? Jawabnya: karena memang dibaca dan disukai pembaca. Jika begitu, jangan-jangan masyarakat digital memang suka 'begituan' (membaca berita cabul) sehingga sangat suka 'digituin' (disuguhi berita cabul).

Agaknya, inilah tantangan besar moralias kita menghadapi era digital. Entahlah! ***
Bagikan:

0 komentar:

Posting Komentar