Entah bagaimana, wartawan seringkali menjadi saluran terakhir masyarakat untuk menyuarakan aspirasi. Mereka yang kecewa terhadap kualitas pelayanan publik, misalnya, seringkali mengadu kepada wartawan. Pun ketika kecewa terhadap kinerja penegak hukum, mereka acap mengadu kepada wartawan.
Tentu saja tujuannya agar keluhan itu disuarakan. Istilah pasarnya: dikorankan. Dan sering memang, setelah keluhan disuarakan lewat koran, selalu ada jalan keluar. Kondisi itu praktis menyebabkan wartawan dianggap 'dewa' yang bisa menyelesaikan banyak hal. Padahal sesungguhnya, wartawan tidak punya kekuatan apa-apa. Yang ‘berkuasa' adalah suratkabarnya.
Sesungguhnya, itulah antara lain fungsi pers di tengah-tengah masyarakat. Selain memenuhi kebutuhan masyarakat akan informasi, ia juga berpotensi 'meluruskan yang bengkok', mendorong kualitas pelayanan publik, mengawal penegakan hukum, menyuarakan aspirasi rakyat.
Atau lebih tepat, sesuai Pasal 3 UU Pers No.40/1999, pers berfungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. Pers juga bisa berfungsi sebagai lembaga ekonomi.
Namun, masyarakat terlanjur memercayai wartawan, sehingga fungsi pers seolah-olah fungsi wartawan. Maka demikianlah, setiap kali ada aspirasi yang ingin disampaikan, mereka 'memanggil' wartawan, bukan menyampaikannya ke media. Bahkan, sesuai pengalaman, ada pimpinan instansi atau lembaga yang begitu goblok: mengharuskan wartawan A meliput kegiatannya. Jika bukan A, mereka tidak mau melayani. Lalu bagaimana jika A tidak lagi bekerja di suratkabar itu?
Itulah satu sisi gambaran betapa penting dan strategisnya posisi wartawan di tengah-tengah masyarakat. Di sisi lain, wartawan sering 'terhina' dengan bermacam-macam stigma, misalnya: tukang minta-minta, berlagak preman, arogan, dll. Dan stigma ini tentu saja muncul karena ulah wartawan abal-abal, wartawan gadungan, atau wartawan bodrex.
Wartawan profesional tentu saja tidak akan melakukan hal-hal yang merusak martabat. Tapi seringkali, wartawan profesional juga melakukan hal-hal yang tidak etis, meskipun 'dibungkus' dengan cara-cara elegan. Demikianlah, situasi lingkungan kerapkali menjadi faktor alami penyebab wartawan jadi rusak. Kenapa?
Karena kepercayaan masyarakat seringkali disalahgunakan, sehingga berubah jadi arogansi yang pada akhirnya justru menyebabkan pelanggaran terhadap kode etik jurnalistik dan undang-undang pers.
Baru-baru ini, misalnya, saya mendengar percakapan antara seorang 'wartawan' dengan beberapa warga. Peristiwa ini terjadi di sebuah kedai kopi. Berikut saya simpulkan inti pembicaraan itu:
Warga mengeluh karena mereka dikutip uang ketika mengurus KTP ataupun KK. Jumlah kutipan lumayan besar, antara Rp50 ribu hingga Rp100 ribu. Sampai di situ, pembicaraan masih berlangsung normal, tapi tiba-tiba salah seorang warga itu menyampaikan niatnya, katanya: "Maksud kami, kita mainkan. Kami punya data siapa-siapa yang dikutipi uang. Dan mereka siap bersaksi. Kau kan wartawan, temui dulu lurahnya. Agak kau gertak dia, kan gampang. Tinggal sebut.....".
Tiba-tiba si 'wartawan' memotong pembicaraan warga itu, "Oke, aku paham. Kita mainkan. Bila perlu, kita hajar dia kalau macam-macam. Kita korankan kalau tidak mau…."
Sampai di situ, saya tidak ingin mendengarkan lagi. Yang terpikir di benak saya adalah: apakah si wartawan itu pernah membaca kode etik jurnalistik? Tak perlu membaca KEJ sampai habis, cukup baca pasal 1, maka nyatalah bahwa wartawan itu sudah melakukan pelanggaran kode etik, sudah beritikad buruk, dan layak diadukan ke Dewan Pers. Sayangnya, pejabat-pejabat rendah, terutama setingkat camat, lurah, kepala sekolah, tidak mau belajar dan membaca UU Pers dan KEJ sehingga seringkali jadi bulan-bulanan wartawan abal-abal. ***
Tentu saja tujuannya agar keluhan itu disuarakan. Istilah pasarnya: dikorankan. Dan sering memang, setelah keluhan disuarakan lewat koran, selalu ada jalan keluar. Kondisi itu praktis menyebabkan wartawan dianggap 'dewa' yang bisa menyelesaikan banyak hal. Padahal sesungguhnya, wartawan tidak punya kekuatan apa-apa. Yang ‘berkuasa' adalah suratkabarnya.
Sesungguhnya, itulah antara lain fungsi pers di tengah-tengah masyarakat. Selain memenuhi kebutuhan masyarakat akan informasi, ia juga berpotensi 'meluruskan yang bengkok', mendorong kualitas pelayanan publik, mengawal penegakan hukum, menyuarakan aspirasi rakyat.
Atau lebih tepat, sesuai Pasal 3 UU Pers No.40/1999, pers berfungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. Pers juga bisa berfungsi sebagai lembaga ekonomi.
Namun, masyarakat terlanjur memercayai wartawan, sehingga fungsi pers seolah-olah fungsi wartawan. Maka demikianlah, setiap kali ada aspirasi yang ingin disampaikan, mereka 'memanggil' wartawan, bukan menyampaikannya ke media. Bahkan, sesuai pengalaman, ada pimpinan instansi atau lembaga yang begitu goblok: mengharuskan wartawan A meliput kegiatannya. Jika bukan A, mereka tidak mau melayani. Lalu bagaimana jika A tidak lagi bekerja di suratkabar itu?
Itulah satu sisi gambaran betapa penting dan strategisnya posisi wartawan di tengah-tengah masyarakat. Di sisi lain, wartawan sering 'terhina' dengan bermacam-macam stigma, misalnya: tukang minta-minta, berlagak preman, arogan, dll. Dan stigma ini tentu saja muncul karena ulah wartawan abal-abal, wartawan gadungan, atau wartawan bodrex.
Wartawan profesional tentu saja tidak akan melakukan hal-hal yang merusak martabat. Tapi seringkali, wartawan profesional juga melakukan hal-hal yang tidak etis, meskipun 'dibungkus' dengan cara-cara elegan. Demikianlah, situasi lingkungan kerapkali menjadi faktor alami penyebab wartawan jadi rusak. Kenapa?
Karena kepercayaan masyarakat seringkali disalahgunakan, sehingga berubah jadi arogansi yang pada akhirnya justru menyebabkan pelanggaran terhadap kode etik jurnalistik dan undang-undang pers.
Baru-baru ini, misalnya, saya mendengar percakapan antara seorang 'wartawan' dengan beberapa warga. Peristiwa ini terjadi di sebuah kedai kopi. Berikut saya simpulkan inti pembicaraan itu:
Warga mengeluh karena mereka dikutip uang ketika mengurus KTP ataupun KK. Jumlah kutipan lumayan besar, antara Rp50 ribu hingga Rp100 ribu. Sampai di situ, pembicaraan masih berlangsung normal, tapi tiba-tiba salah seorang warga itu menyampaikan niatnya, katanya: "Maksud kami, kita mainkan. Kami punya data siapa-siapa yang dikutipi uang. Dan mereka siap bersaksi. Kau kan wartawan, temui dulu lurahnya. Agak kau gertak dia, kan gampang. Tinggal sebut.....".
Tiba-tiba si 'wartawan' memotong pembicaraan warga itu, "Oke, aku paham. Kita mainkan. Bila perlu, kita hajar dia kalau macam-macam. Kita korankan kalau tidak mau…."
Sampai di situ, saya tidak ingin mendengarkan lagi. Yang terpikir di benak saya adalah: apakah si wartawan itu pernah membaca kode etik jurnalistik? Tak perlu membaca KEJ sampai habis, cukup baca pasal 1, maka nyatalah bahwa wartawan itu sudah melakukan pelanggaran kode etik, sudah beritikad buruk, dan layak diadukan ke Dewan Pers. Sayangnya, pejabat-pejabat rendah, terutama setingkat camat, lurah, kepala sekolah, tidak mau belajar dan membaca UU Pers dan KEJ sehingga seringkali jadi bulan-bulanan wartawan abal-abal. ***
0 komentar:
Posting Komentar