Apa jurnalisme digital? Janganlah sukak-sukakmu bikin istilah. Istilah itu bisa merunyamkan pemahaman orang tentang jurnalistik. Ada-ada saja kau.
Saya terima kalimat pendek itu lewat surel. Itu sebuah reaksi yang wajar atas beberapa catatan yang saya buat tentang jurnalisme digital. Jika dihayati, pertanyaan itu sesungguhnya tidak memerlukan jawaban sebab substansinya bukan diniatkan untuk bertanya, melainkan menyampaikan ketidaksetujuan. Dan frasa sukak-sukakmu pada kalimat itu sengaja ditampilkan apa adanya, agar citarasa aksentuasi Batak di dalamnya tidak lenyap ditelan aturan bernama EYD.
Ada dua hal penting yang bisa kita bahas dari surel itu. Pertama, pertanyaannya langsung to the point, apa jurnalisme digital? Tanpa salam. Tanpa perkenalan. Tanpa basa-basi. Ini menggambarkan karakter manusia modern di era digital, yang melek gadget, yang hari-harinya berlalu tanpa bisa lepas dari perangkat teknologi. Zaman dulu, untuk melabrak orang, seseorang perlu merenung panjang dan wahananya tidak selalu tersedia. Tapi sekarang, sedikit berbeda pendapat saja bisa disebarkan secara masif, liar, bahkan tak terkendali. Medsos membuat banyak hal jadi mudah, termasuk 'bertengkar'.
Berita-berita pun demikian, tiba-tiba sudah nongol di kamar tidur, di dapur, bahkan di kamar mandi. Seperti tawon yang bubar dari sarang, semua jenis informasi wara-wiri sedemikian acak melalui berbagai saluran dan aplikasi. Langsung. Tanpa salam. Pertanyaan seseorang yang tidak dikenal itu kurang lebih seperti itu. Dan jelas, ia juga menggunakan perangkat telekomunikasi modern ketika mengirimnya.
Yang kedua, dan ini sangat disayangkan, surel tadi tak senafas dengan iklim demokrasi. Jangan sukak-sukakmu adalah 'perintah' yang bisa dikatakan sangat seram di era modern ini. Sangat tidak demokratis. Sesungguhnya, jauh lebih indah seandainya 'kawan' itu menyorongkan gagasan tentang penolakannya terhadap istilah jurnalisme digital. Sebab sesungguhnya, saya juga belum sepenuhnya memahami jurnalisme digital, apalagi merumuskannya. Dan sejujurnya, saya comot istilah itu dan sengaja saya memunculkan agar kian banyak diskusi tentangnya.
Baiklah. Seperti sudah disinggung sekilas-lewat, kini pemahaman orang tentang berita memang tidak lagi selalu terkait dengan surat kabar atau televisi. Bahkan mungkin, sebagian besar generasi terkini, yang kita namai teenager itu, sepanjang hidupnya tak pernah bersentuhan dengan koran, tapi mereka pembaca berita 'koran' yang rajin. Tentu saja koran digital. Mereka juga pembaca portal dan media-media online, yang selalu muncul melalui dengan kicauan 'notifikasi'. Mereka tahu banyak hal melalui gadget miliknya. Produk jurnalisme apa itu? Jurnalisme digital, jurnalisme internet, atau jurnalisme smartphone?
Jurnalisme arus utama atau jurnalisme konvensional pada waktu tertentu bisa juga menjadi bagian dari jurnalisme digital ketika dipandang dari pola pembacaan audiens. Misalnya koran dalam bentuk epaper. Konten epaper adalah produk jurnalisme konvensional, tapi dibaca secara digital.
Sejumlah website, portal atau media online milik suratkabar, awalnya juga hanya memindahkan konten versi cetak ke media internet. Tapi ketika konten (berita) itu dibaca oleh audiensi yang sama sekali tidak pernah menyentuh bahkan melihat koran fisiknya, apakah ia masih produk jurnalisme konvensional? Mungkin ya, mungkin tidak. Dan sejauh itu, belum ada masalah dengan jurnalistik. Masalah justru muncul di sisi bisnis. Ketika semakin banyak orang membaca media digital, tiras koran terus turun. Dan rumusnya: makin tipis tiras, makin tipis pula pendapatan iklan, dan akhirnya banyak suratkabar berhenti terbit alias tutup. Juragan-juragan media sudah sejak lama meresahkan ini.
Dan belakangan, kehadiran era digital yang gila-gilaan tak lagi hanya berpusar pada keresahan bisnis, apakah masadepan koran akan berakhir. Masa depan jurnalistik juga mulai dipertanyakan. Akan seperti apakah jurnalistik kita di masa mendatang? Kemungkinan terburuknya begini, andai seluruh suratkabar di dunia mati oleh gempuran teknologi digital, apakah jurnalistik akan mati?
Tentu saja tidak. Jurnalistik puluhan tahun mendatang itulah yang mungkin disebut jurnalisme digital. Atau mungkin saja muncul istilah-istilah baru yang substansinya tetap mengacu pada defenisi jurnalistik yang kita pahami saat ini. Lagipun, istilah jurnalistik atau jurnalisme inipun sudah 'membingungkan' jika dikaji secara etomologis. Apa yang dimaksud dengan jurnal? Generasi kini mengenal jurnal sesuai dengan pengertian bidang masing-masing. Orang-orang keuangan, misalnya, memahami jurnal sebagai bentuk laporan keuangan. Jika memang jurnalistik berasal dari kata jurnal, apakah seorang akuntan juga disebut jurnalis?
Yang pasti, kini jurnalistik sedang terancam. Lihatlah, media-media online menyebar teramat ganasnya. Ia muncul lintas batas, lintas waktu. Di kota-kota megapolit, metropolis, kota besar, kota kecil hingga ke desa-desa, siapapun bebas menerbitkan media online hanya bermodalkan pengetahuan menulis alakadarnya. Dan modal finansial yang dibutuhkan untuk membuat sebuah media online juga alakadarnya. Maka kita saksikan: setiap hari media-media itu bermunculan, dan setiap menit muncul 'menyolek' mata kita.
Apa kontennya? Produk jurnalistikkah? Sebab kita tahu, sebagian jurnalis yang bekerja di media online itu, lahir seperti keajaiban sulap. Abracadabra. Maka jadilah wartawan. Menulis juga abracadabra. Cukup lihat dan dengar. Ketik. Lalu tayang. Maka jadilah berita.
Kecepatan adalah dewanya. Proses penyuntingan yang dalam jurnalistik berperan sakral sebagai 'hakim', kini seolah tak dibutuhkan lagi. Intinya cepat, cepat dan cepat. Wartawan media online berburu dengan detik. Penayangan berita berburu dengan detik. Apakah ini yang disebut jurnalisme digital?
Mungkin ya, mungkin tidak. Tapi hemat saya, itu sebuah kondisi yang saat ini dinamai sebagai jurnalisme digital. Karena ia sebuah kondisi, maka ia bisa diubah. Dan itulah penjelasan saya untuk pertanyaan tak demokratis dari 'kawan' tak dikenal itu. Bahwa jurnalisme digital pada akhirnya harus muncul sebagai sebuah istilah. Tapi jurnalisme digital, atau apapun istilahnya, juga harus diperlakukan sebagai jurnalistik arus utama. Padanya, berlaku Undang-undang Pers No.40/1999, berlaku Kode Etik Jurnalistik, dibutuhkan komitmen dan profesionalitas. Jurnalisme digital adalah keniscayaan. Tapi sudahkah kita memperlakukan keniscayaan itu sebagaimana kita 'mengurusi' media-media konvensional?
Akhir kata, jurnalisme digital harus diurus sebagai bagian dari sejarah dan dinamika perkembangan dunia pers kita, sehingga jurnalistik tidak dikerjakan atau dilembagakan secara sukak-sukak, meski setiap orang juga berhak menjadi jurnalis di era digital. Paling tidak, menjadi jurnalis bagi diri sendiri, menulis catatan atau laporan di jejaring, website, blog, atau apapun medianya.
Baiklah, selamat jadi jurnalis, menyongsong jurnalisme digital. ***
Saya terima kalimat pendek itu lewat surel. Itu sebuah reaksi yang wajar atas beberapa catatan yang saya buat tentang jurnalisme digital. Jika dihayati, pertanyaan itu sesungguhnya tidak memerlukan jawaban sebab substansinya bukan diniatkan untuk bertanya, melainkan menyampaikan ketidaksetujuan. Dan frasa sukak-sukakmu pada kalimat itu sengaja ditampilkan apa adanya, agar citarasa aksentuasi Batak di dalamnya tidak lenyap ditelan aturan bernama EYD.
Ada dua hal penting yang bisa kita bahas dari surel itu. Pertama, pertanyaannya langsung to the point, apa jurnalisme digital? Tanpa salam. Tanpa perkenalan. Tanpa basa-basi. Ini menggambarkan karakter manusia modern di era digital, yang melek gadget, yang hari-harinya berlalu tanpa bisa lepas dari perangkat teknologi. Zaman dulu, untuk melabrak orang, seseorang perlu merenung panjang dan wahananya tidak selalu tersedia. Tapi sekarang, sedikit berbeda pendapat saja bisa disebarkan secara masif, liar, bahkan tak terkendali. Medsos membuat banyak hal jadi mudah, termasuk 'bertengkar'.
Berita-berita pun demikian, tiba-tiba sudah nongol di kamar tidur, di dapur, bahkan di kamar mandi. Seperti tawon yang bubar dari sarang, semua jenis informasi wara-wiri sedemikian acak melalui berbagai saluran dan aplikasi. Langsung. Tanpa salam. Pertanyaan seseorang yang tidak dikenal itu kurang lebih seperti itu. Dan jelas, ia juga menggunakan perangkat telekomunikasi modern ketika mengirimnya.
Yang kedua, dan ini sangat disayangkan, surel tadi tak senafas dengan iklim demokrasi. Jangan sukak-sukakmu adalah 'perintah' yang bisa dikatakan sangat seram di era modern ini. Sangat tidak demokratis. Sesungguhnya, jauh lebih indah seandainya 'kawan' itu menyorongkan gagasan tentang penolakannya terhadap istilah jurnalisme digital. Sebab sesungguhnya, saya juga belum sepenuhnya memahami jurnalisme digital, apalagi merumuskannya. Dan sejujurnya, saya comot istilah itu dan sengaja saya memunculkan agar kian banyak diskusi tentangnya.
Baiklah. Seperti sudah disinggung sekilas-lewat, kini pemahaman orang tentang berita memang tidak lagi selalu terkait dengan surat kabar atau televisi. Bahkan mungkin, sebagian besar generasi terkini, yang kita namai teenager itu, sepanjang hidupnya tak pernah bersentuhan dengan koran, tapi mereka pembaca berita 'koran' yang rajin. Tentu saja koran digital. Mereka juga pembaca portal dan media-media online, yang selalu muncul melalui dengan kicauan 'notifikasi'. Mereka tahu banyak hal melalui gadget miliknya. Produk jurnalisme apa itu? Jurnalisme digital, jurnalisme internet, atau jurnalisme smartphone?
Jurnalisme arus utama atau jurnalisme konvensional pada waktu tertentu bisa juga menjadi bagian dari jurnalisme digital ketika dipandang dari pola pembacaan audiens. Misalnya koran dalam bentuk epaper. Konten epaper adalah produk jurnalisme konvensional, tapi dibaca secara digital.
Sejumlah website, portal atau media online milik suratkabar, awalnya juga hanya memindahkan konten versi cetak ke media internet. Tapi ketika konten (berita) itu dibaca oleh audiensi yang sama sekali tidak pernah menyentuh bahkan melihat koran fisiknya, apakah ia masih produk jurnalisme konvensional? Mungkin ya, mungkin tidak. Dan sejauh itu, belum ada masalah dengan jurnalistik. Masalah justru muncul di sisi bisnis. Ketika semakin banyak orang membaca media digital, tiras koran terus turun. Dan rumusnya: makin tipis tiras, makin tipis pula pendapatan iklan, dan akhirnya banyak suratkabar berhenti terbit alias tutup. Juragan-juragan media sudah sejak lama meresahkan ini.
Dan belakangan, kehadiran era digital yang gila-gilaan tak lagi hanya berpusar pada keresahan bisnis, apakah masadepan koran akan berakhir. Masa depan jurnalistik juga mulai dipertanyakan. Akan seperti apakah jurnalistik kita di masa mendatang? Kemungkinan terburuknya begini, andai seluruh suratkabar di dunia mati oleh gempuran teknologi digital, apakah jurnalistik akan mati?
Tentu saja tidak. Jurnalistik puluhan tahun mendatang itulah yang mungkin disebut jurnalisme digital. Atau mungkin saja muncul istilah-istilah baru yang substansinya tetap mengacu pada defenisi jurnalistik yang kita pahami saat ini. Lagipun, istilah jurnalistik atau jurnalisme inipun sudah 'membingungkan' jika dikaji secara etomologis. Apa yang dimaksud dengan jurnal? Generasi kini mengenal jurnal sesuai dengan pengertian bidang masing-masing. Orang-orang keuangan, misalnya, memahami jurnal sebagai bentuk laporan keuangan. Jika memang jurnalistik berasal dari kata jurnal, apakah seorang akuntan juga disebut jurnalis?
Yang pasti, kini jurnalistik sedang terancam. Lihatlah, media-media online menyebar teramat ganasnya. Ia muncul lintas batas, lintas waktu. Di kota-kota megapolit, metropolis, kota besar, kota kecil hingga ke desa-desa, siapapun bebas menerbitkan media online hanya bermodalkan pengetahuan menulis alakadarnya. Dan modal finansial yang dibutuhkan untuk membuat sebuah media online juga alakadarnya. Maka kita saksikan: setiap hari media-media itu bermunculan, dan setiap menit muncul 'menyolek' mata kita.
Apa kontennya? Produk jurnalistikkah? Sebab kita tahu, sebagian jurnalis yang bekerja di media online itu, lahir seperti keajaiban sulap. Abracadabra. Maka jadilah wartawan. Menulis juga abracadabra. Cukup lihat dan dengar. Ketik. Lalu tayang. Maka jadilah berita.
Kecepatan adalah dewanya. Proses penyuntingan yang dalam jurnalistik berperan sakral sebagai 'hakim', kini seolah tak dibutuhkan lagi. Intinya cepat, cepat dan cepat. Wartawan media online berburu dengan detik. Penayangan berita berburu dengan detik. Apakah ini yang disebut jurnalisme digital?
Mungkin ya, mungkin tidak. Tapi hemat saya, itu sebuah kondisi yang saat ini dinamai sebagai jurnalisme digital. Karena ia sebuah kondisi, maka ia bisa diubah. Dan itulah penjelasan saya untuk pertanyaan tak demokratis dari 'kawan' tak dikenal itu. Bahwa jurnalisme digital pada akhirnya harus muncul sebagai sebuah istilah. Tapi jurnalisme digital, atau apapun istilahnya, juga harus diperlakukan sebagai jurnalistik arus utama. Padanya, berlaku Undang-undang Pers No.40/1999, berlaku Kode Etik Jurnalistik, dibutuhkan komitmen dan profesionalitas. Jurnalisme digital adalah keniscayaan. Tapi sudahkah kita memperlakukan keniscayaan itu sebagaimana kita 'mengurusi' media-media konvensional?
Akhir kata, jurnalisme digital harus diurus sebagai bagian dari sejarah dan dinamika perkembangan dunia pers kita, sehingga jurnalistik tidak dikerjakan atau dilembagakan secara sukak-sukak, meski setiap orang juga berhak menjadi jurnalis di era digital. Paling tidak, menjadi jurnalis bagi diri sendiri, menulis catatan atau laporan di jejaring, website, blog, atau apapun medianya.
Baiklah, selamat jadi jurnalis, menyongsong jurnalisme digital. ***
0 komentar:
Posting Komentar