12 Agustus 2016

Defenisi Wartawan Muda, Madya dan Utama

Seorang teman bertanya tentang defenisi wartawan muda, madya dan utama. Patut kita sampaikan hormat kepada kawan ini, sebab ia bukan berasal dari kalangan wartawan, tapi mengaku tertarik mengetahui hal-ihwal kewartawanan. Dan saya mahfum ketika kawan itu bertanya seperti ini: wartawan muda usia berapa? Madya dan utama berapa?


Istilah wartawan muda, madya dan utama tidak terkait dengan usia. Bisa saja wartawan utama berumur 25 tahun, wartawan muda berumur 45 tahun. Demikian halnya wartawan madya, bisa saja berumur 20, 25, 30, 40 bahkan 50 tahun. Lantas?

Istilah itu adalah jenjang kompetensi kewartawanan, sebagaimana terdedah dalam Peraturan Dewan Pers No.1/Peraturan-DP/II/2010 tentang Standar Kompetensi Wartawan. Mengacu pada peraturan ini, kiranya dapat dijelaskan sebagai berikut:

- Wartawan Muda adalah wartawan yang sehari-hari bertugas di lapangan, meliput dan menulis berita hasil liputannya.

- Wartawan Madya adalah redaktur, kordinator liputan dan/atau redaktur pelaksana (redpel).

- Wartawan Utama adalah redpel senior, wakil pemimpin redaksi, dan pemimpin redaksi.

Dengan demikian, jelaslah bahwa jenjang kompetensi kewartawanan ini tak berkaitan dengan usia. Sebab ada wartawan masih berusia 30 tahun tapi sudah menjabat pemimpin redaksi, dan ada wartawan sudah berumur 50 tahun, tapi masih bertugas sebagai reporter di lapangan.

Pertanyaannya, apakah semua wartawan yang bertugas di lapangan disebut wartawan muda? Apakah semua redaktur dan kordinator liputan disebut wartawan madya? Apakah semua pemimpin redaksi otomatis jadi wartawan utama?

Belum ada penjelasan memadai tentang hal ini. Sebelumnya, dunia pers mengenal istilah wartawan junior, madya dan senior. Tapi dalam peraturan standar kompetensi wartawan ini, klasifikasi wartawan hanya didasarkan pada jenjang kompetensinya. Maka, jika mengacu pada peraturan ini, menurut saya hanya wartawan berkualitas dan profesional yang layak mendapat gelar Wartawan Muda, Madya atau Utama. Sebab, seperti sudah disebutkan, istilah itu adalah jenjang kompetensi. Maka, untuk mendapat gelar wartawan muda, madya dan utama, seorang wartawan harus memiliki sertifikat dari lembaga penguji atau Dewan Pers.

Dan untuk mendapatkan sertifikat itu, wartawan harus mengikuti ujian, yaitu UKW (Uji Kompetensi Wartawan) secara berjenjang. Seorang wartawan harus terlebih dahulu mengikuti UKW Wartawan Muda. Jika lulus, ia memperoleh Sertifikat Wartawan Muda, yang berarti dia sudah kompeten dan layak disebut sebagai wartawan profesional. Beberapa tahun kemudian, ia bisa mengikuti UKW Wartawan Madya, dan jika lulus akan memperoleh Sertifikat Wartawan Madya dan layak mendapatkan promosi jabatan di perusahaan pers untuk mengemban amanah redaktur, redpel atau kordinator liputan. Selanjutnya, ia ikut lagi UKW untuk Wartawan Utama dan mendapat Sertifikat Wartawan Utama dan layak mendapat promosi untuk menjabat wakil pemimpin redaksi atau pemimpin redaksi.

Namun, pada tahun-tahun awal penerapan Standar Kompetensi Wartawan, ujian berjenjang itu belum bisa diterapkan sepenuhnya. Dewan Pers masih memberi kelonggaran untuk situasi-situasi tertentu. Sebagai contoh, ketika saya menjabat pemimpin redaksi,  saya langsung mengikuti UKW untuk Wartawan Utama. Dan lulus. Dan saya memperoleh Sertifikat Wartawan Utama dari Dewan Pers, meskipun saya tidak pernah mengikuti UKW wartawan muda dan madya.

Pada masa-masa mendatang, tentu saja perusahaan pers diharapkan hanya mempekerjakan wartawan kompeten dan harus memiliki sertifikat kompetensi. Hal ini bertujuan agar pers tumbuh dan berkembang dengan iklim profesionalitas yang sehat. ***
Bagikan:

1 komentar:

Terimakasih kunjungan Anda. Salam Literal...!