28 Juli 2016

90 Wartawan Indonesia Tidak Kompeten

Sebuah pertanyaan mungkin sulit dijawab, berapa banyakkah jumlah wartawan saat ini di Indonesia? Belasan ribu, puluhan ribu atau mungkin sudah ratusan ribu? Jika diambil angka kasar, misalkan di setiap provinsi terdapat 1.000 wartawan, maka sudah terdapat paling tidak 35.000 wartawan. Jika begitu, hampir 100 persen wartawan di Indonesia tidak kompeten. Wah...

Itulah konsekuensi sebuah peraturan. Jika peraturan tidak dipatuhi, maka si pelanggar otomatis dianggap buruk, jelek, bandal, dan sejumlah penyebutan lain yang jauh dari makna 'baik'. Dan akibat peraturan ini, ribuan bahkan mungkin puluhan ribu wartawan di Indonesia menjadi jelek, tidak standar, atau tidak kompeten sesuai istilah dalam peraturan itu.

Memang demikian adanya. Sejak Peraturan Dewan Pers tentang Standar Kompetensi Wartawan ditetapkan tahun 2010, hingga artikel ini ditulis (19 Maret 2016), baru 8.672 orang wartawan Indonesia yang sudah mendapat sertifikasi kompetensi (sesuai data yang dilansir dewanpers.or.id). Padahal, peraturan itu dengan tegas menyatakan: Wartawan yang belum mengikuti uji kompetensi dinilai belum memiliki kompetensi sesuai standar kompetensi.

Sementara, data 35.000 itu masih berpeluang bertambah. Bisa dilacak, data di bagian kehumasan pemerintah gubernur, pemerintah kabupaten/kota, jumlah wartawan unit bisa mencapai 100 orang. Belum lagi unit-unit lain seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan, wartawan ekonomi, wartawan entertaint, wartawan digital (online), dan lain sebagainya, bisa-bisa jumlah wartawan Indonesia sudah mencapai ratusan ribu.

Dengan perkiraan angka kasar itu, maka selama kurang lebih 6 tahun, hanya sekian persen wartawan yang berhasil dikompetenkan (disertifikasi). Ini salah siapa? Dewan Pers, Organisasi Pers, Perusahaan Pers, atau salah wartawan itu sendiri? Sebab peraturan itu juga menyatakan begini: Selambat-lambatnya dua tahun sejak diberlakukannya Standar Kompetensi Wartawan ini, perusahaan pers dan organisasi wartawan yang telah dinyatakan lulus verifikasi oleh Dewan Pers sebagai lembaga penguji Standar Kompetensi Wartawan harus menentukan jenjang kompetensi para wartawan di perusahaan atau organisasinya.

Nah, sekarang sudah 6 tahun, tapi hasilnya belum sesuai harapan. Saya ambil contoh di dua wilayah: Kota Pematangsiantar dan Kabupaten Simalungun. Dengan perhitungan kasar, jumlah wartawan di wilayah ini bisa mencapai 300 orang, tapi yang sudah mendapat sertifikasi atau ikut Ujian Kompetensi mungkin belum sampai 10 persen.

Tentu saja banyak faktor yang menjadi penyebab. Antara lain: perusahaan pers belum sepenuhnya manjalankan peraturan ini, organisasi pers tidak serius mendorong dan memfasilitasi anggotanya mengikuti ujian kompetensi, atau wartawan itu sendiri tidak mau tahu urusan standar kompetensi ini. Alasan yang lebih global, barangkali: seluruh stakeholder pers tidak serius menyosialisasikan program ini.

Sebenarnya, jika dicermati secara seksama, wartawan adalah pihak yang paling berkepentingan mengikuti uji kompetensi. Sebab, sebelum ia dinyatakan lulus oleh lembaga penguji dan belum memperoleh sertifikat dari dewan pers, maka selama-lamanya ia masih 'dianggap' sebagai wartawan abal-abal alias tidak kompeten. Betapapun hebatnya seorang wartawan, betapapun ia punya skill dan integritas yang mumpuni, ketiadaan 'surat sakti' dari Dewan Pers akan membuatnya 'tak profesional'.

Sebab, hanya tokoh pers yang sudah diakui dan berusia lebih 50 tahun yang bisa ditetapkan Dewan Pers sebagai wartawan kompeten tanpa harus mengikuti ujian. Hemat saya, di sinilah letak kelemahan peraturan ini. Dewan Pers seolah-olah hanya 'menunggu' wartawan, organisasi pers, dan perusahaan pers datang menawarkan diri untuk uji kompetensi. Mestinya, agar adil, Dewan Pers juga harus jemput bola memantau kinerja dan integritas para wartawan, yang dengan sendirinya bisa mereka tetapkan sebagai wartawan kompeten sesuai jenjangnya: apakah wartawan muda, wartawan madya, atau wartawan utama.

Sebab kita tahu, ada banyak wartawan berkualitas dan penuh integritas, misalnya para wartawan pemenang anugerah-anugerah jurnalistik itu, apakah kompetensi mereka masih diragukan? Mudah-mudahan ke depan akan muncul pemikiran baru terkait ihwal ini. Tapi intinya, jika tidak ingin 'dilecehkan' sebagai wartawan tak kompeten, wartawan sebaiknya getol menuntut organisasi atau perusahaan pers tempatnya bernaung untuk 'menyekolahkannya' jadi wartawan kompeten.

Dan bagi perusahaan pers sendiri, memiliki atau memperkerjakan wartawan yang belum kompeten akan berdampak pada status perusahaan pers itu sendiri. Sebab, sejalan dengan pemberlakukan Standar Kompetensi Wartawan, telah diberlakukan pula Standar Perusahaan Pers. Maka jangan heran, banyak suratkabar-suratkabar besar dan terkemuka ternyata BELUM MEMENUHI STANDAR PERUSAHAAN PERS. Itu antara lain terjadi karena sebagian besar wartawannya tidak/belum kompeten atau tidak memenuhi standar kompetensi wartawan.

Pertanyaannya, apakah Dewan Pers juga proaktif 'menasehati' atau memberi peringatan kepada perusahaan pers yang BELUM STANDAR itu? Entahlah! Dan agak menyedihkan memang, biaya untuk uji kompetensi wartawan ini tergolong mahal, terutama bagi banyak wartawan yang belum memperoleh gaji dari perusahaan pers tempatnya bernaung. Kadang-kadang, kita heran, kenapa mereka bisa hidup? Saya pikir, pada konteks inilah UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik tampil sebagai 'mahluk lemah' yang tiada bertenaga. ***
Bagikan:

0 komentar:

Posting Komentar