Siapa yang tak kenal Sinar Harapan? Pada dekade 70-an hingga 80-an, koran ini meneguhkan diri sebagai salah satu media besar dan sangat berpengaruh di Indonesia, mengekor KOMPAS dan majalah TEMPO. Distribusinya juga tergolong baik, hampir merata ke berbagai kota di Indonesia.
Rentang waktu 2005 hingga 2008, saya masih bisa menemukan koran ini di Kota Pematangsiantar. Meski tiba sore hari, saya masih kerap membelinya meski tidak rutin. Tapi kini, Sinar Harapan sudah tiada. Ketika pertama kali menerima pesan berantai lewat BlackBerry Mesanger sekitar Oktober 2015 berisi pemberitahuan bahwa Sinar Harapan akan berhenti terbit sejak Januari 2016, saya tertegun. Dan sedih. Saya ingat sebuah nama: Sihar Ramses Simatupang, sastrawan muda Batak, redaktur sekaligus penjaga halaman budaya di suratkabar itu.
Koran-koran lain seperti Media Indonesia, Suara Pembaruan dan Republika, kini juga tak bisa lagi saya temukan di kota berhawa sejuk ini. Satu-satunya koran nasional yang masih hadir adalah KOMPAS. Suara Merdeka yang terbit di Semarang, Pikiran Rakyat di Jogyakarta, Koran Tempo yang tergolong masih baru, seingat saya, memang tidak pernah terdistribusi ke kota ini meskipun namanya amat dikenal.
Secara emosional, saya mencintai koran-koran legendaris itu sebab saya kerap mengirimkan tulisan ke meja redaksinya dan beberapa pernah mereka terbitkan. Hingga periode 2000-an, koran-koran inilah 'juri' atau 'nabi' yang menabalkan status kepenulisan atau kesastrawanan seseorang. Tapi sejak kemunculan dunia saiber, yang kemudian diikuti histeria blog dan jejaring sosial, ribuan sastrawan bermunculan dan melakukan perlawanan terhadap apa yang mereka sebut 'sastra koran' itu.
Tapi saya tidak hendak membahas itu. Bahwa Sinar Harapan sudah tutup, langsung atau tidak, saya percaya merupakan dampak dari era internet atau media digital. Bagaimanapun, internet telah memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk mengakses informasi dalam jumlah dan variasi yang tak terbatas, sehingga mengurangi kebutuhan akan media cetak. Akibatnya, tiras media cetak terus mengalami penurunan. Penurunan tiras berbanding lurus dengan penurunan pendapatan iklan dan itu adalah jalur berbahaya menuju krisis finansial.
Dan faktanya, dari hari ke hari, penggunaan internet kian masif bahkan hingga ke pelosok. Kenyataan itu diikuti dengan menggilanya media-media online. Program periklanan Google AdSense turut memancing menjamurnya media-media online, yang bisa dikelola dan dikembangkan oleh satu atau dua orang. Tentu saja dengan harapan bisa jadi penerbit (publisher) bagi AdSense.
Sebaliknya, perusahaan-perusahaan, baik besar maupun kecil, yang awalnya beriklan di media cetak untuk memperkenalkan dan memasarkan produknya, kini mulai lari ke Adsense. Mengapa? Sebab pembiayaan dan efektifitasnya lebih terukur. Betapa dasyatnya AdSense ini, sampai-sampai jual-beli tanah kaplingan pun masuk ke sana.
Dan menarik merenungkan, bukan hanya Sinar Harapan yang gulung tikar, tapi beberapa media lain juga sudah bertumbangan. Koran Tempo, misalnya, kini hanya terbit 6 hari, Minggu diliburkan. Hal yang sama terjadi pada Indopos. Koran-koran kecil di berbagai daerah sudah banyak menerapkan strategi ini untuk mengurangi produksi. Sebab memang, koran edisi Minggu sulit laku dan sering kembali sebagai kerugian.
Tahun 2014, Harian Jurnal Nasional atau Jurnas sudah terlebih dahulu 'wafat'. Media ini berubah menjadi media online. Sebagian besar karyawan diberhentikan karena tidak sanggup lagi bertahan di tengah gempuran media digital.
Koran berbahasa Ingris, Jakarta Globe, yang terbit pertama kali tahun 2008, berhenti cetak karena ongkos produksi makin tinggi sementara jumlah pembaca terus susut dihantam internet. Kini Jakarta Globe hanya bisa berjuang dengan versi daring.
Media lain seperti Harian Bola, kini berubah jadi media mingguan dengan nama Bola Sabtu. Media-media lain yang tergabung dalam grup Kompas Gramedia, ternyata telah banyak juga yang tutup, seperti Majalah Fortune, Chip dan Jeep.
Bukan hanya di Indonesia, malapetaka perusahaan pers ini juga terjadi di Amerika. Media cetak di negara ini hancur oleh media online, bahkan The New York Times pun mengakui kehebatan media online. Media cetak ini mengakui oplahnya turun drastis. Untuk bertahan hidup, perusahaan ini menyewakan sebagian ruang di gedung kantor pusatnya di New York untuk membantu biaya operasional.
Sejumlah media legendaris di Amerika kini beralih ke online murni, seperti Tribune Co, Majalah Newsweek, Majalah Reader’s Digest, Rocky Mountain News, bahkan suratkabar terkemuka di Amerika, The Washington Post, harus dijual karena masalah finansial.
Lalu, berapa lama lagikah? Koran barangkali tidak akan mati, tapi alangkah beratnya jalan di depan. Generasi baru, mungkin saja pembaca berita yang rajin, tapi mereka tak kenal lagi media cetak. Smartphone atau gadget atau apapun istilahnya, setiap saat sudah mengantarkan berita ke hadapan kita. Bahkan menguntit kita hingga ke toilet. Alangkah resahnya...! ***
Rentang waktu 2005 hingga 2008, saya masih bisa menemukan koran ini di Kota Pematangsiantar. Meski tiba sore hari, saya masih kerap membelinya meski tidak rutin. Tapi kini, Sinar Harapan sudah tiada. Ketika pertama kali menerima pesan berantai lewat BlackBerry Mesanger sekitar Oktober 2015 berisi pemberitahuan bahwa Sinar Harapan akan berhenti terbit sejak Januari 2016, saya tertegun. Dan sedih. Saya ingat sebuah nama: Sihar Ramses Simatupang, sastrawan muda Batak, redaktur sekaligus penjaga halaman budaya di suratkabar itu.
Koran-koran lain seperti Media Indonesia, Suara Pembaruan dan Republika, kini juga tak bisa lagi saya temukan di kota berhawa sejuk ini. Satu-satunya koran nasional yang masih hadir adalah KOMPAS. Suara Merdeka yang terbit di Semarang, Pikiran Rakyat di Jogyakarta, Koran Tempo yang tergolong masih baru, seingat saya, memang tidak pernah terdistribusi ke kota ini meskipun namanya amat dikenal.
Secara emosional, saya mencintai koran-koran legendaris itu sebab saya kerap mengirimkan tulisan ke meja redaksinya dan beberapa pernah mereka terbitkan. Hingga periode 2000-an, koran-koran inilah 'juri' atau 'nabi' yang menabalkan status kepenulisan atau kesastrawanan seseorang. Tapi sejak kemunculan dunia saiber, yang kemudian diikuti histeria blog dan jejaring sosial, ribuan sastrawan bermunculan dan melakukan perlawanan terhadap apa yang mereka sebut 'sastra koran' itu.
Tapi saya tidak hendak membahas itu. Bahwa Sinar Harapan sudah tutup, langsung atau tidak, saya percaya merupakan dampak dari era internet atau media digital. Bagaimanapun, internet telah memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk mengakses informasi dalam jumlah dan variasi yang tak terbatas, sehingga mengurangi kebutuhan akan media cetak. Akibatnya, tiras media cetak terus mengalami penurunan. Penurunan tiras berbanding lurus dengan penurunan pendapatan iklan dan itu adalah jalur berbahaya menuju krisis finansial.
Dan faktanya, dari hari ke hari, penggunaan internet kian masif bahkan hingga ke pelosok. Kenyataan itu diikuti dengan menggilanya media-media online. Program periklanan Google AdSense turut memancing menjamurnya media-media online, yang bisa dikelola dan dikembangkan oleh satu atau dua orang. Tentu saja dengan harapan bisa jadi penerbit (publisher) bagi AdSense.
Sebaliknya, perusahaan-perusahaan, baik besar maupun kecil, yang awalnya beriklan di media cetak untuk memperkenalkan dan memasarkan produknya, kini mulai lari ke Adsense. Mengapa? Sebab pembiayaan dan efektifitasnya lebih terukur. Betapa dasyatnya AdSense ini, sampai-sampai jual-beli tanah kaplingan pun masuk ke sana.
Dan menarik merenungkan, bukan hanya Sinar Harapan yang gulung tikar, tapi beberapa media lain juga sudah bertumbangan. Koran Tempo, misalnya, kini hanya terbit 6 hari, Minggu diliburkan. Hal yang sama terjadi pada Indopos. Koran-koran kecil di berbagai daerah sudah banyak menerapkan strategi ini untuk mengurangi produksi. Sebab memang, koran edisi Minggu sulit laku dan sering kembali sebagai kerugian.
Tahun 2014, Harian Jurnal Nasional atau Jurnas sudah terlebih dahulu 'wafat'. Media ini berubah menjadi media online. Sebagian besar karyawan diberhentikan karena tidak sanggup lagi bertahan di tengah gempuran media digital.
Koran berbahasa Ingris, Jakarta Globe, yang terbit pertama kali tahun 2008, berhenti cetak karena ongkos produksi makin tinggi sementara jumlah pembaca terus susut dihantam internet. Kini Jakarta Globe hanya bisa berjuang dengan versi daring.
Media lain seperti Harian Bola, kini berubah jadi media mingguan dengan nama Bola Sabtu. Media-media lain yang tergabung dalam grup Kompas Gramedia, ternyata telah banyak juga yang tutup, seperti Majalah Fortune, Chip dan Jeep.
Bukan hanya di Indonesia, malapetaka perusahaan pers ini juga terjadi di Amerika. Media cetak di negara ini hancur oleh media online, bahkan The New York Times pun mengakui kehebatan media online. Media cetak ini mengakui oplahnya turun drastis. Untuk bertahan hidup, perusahaan ini menyewakan sebagian ruang di gedung kantor pusatnya di New York untuk membantu biaya operasional.
Sejumlah media legendaris di Amerika kini beralih ke online murni, seperti Tribune Co, Majalah Newsweek, Majalah Reader’s Digest, Rocky Mountain News, bahkan suratkabar terkemuka di Amerika, The Washington Post, harus dijual karena masalah finansial.
Lalu, berapa lama lagikah? Koran barangkali tidak akan mati, tapi alangkah beratnya jalan di depan. Generasi baru, mungkin saja pembaca berita yang rajin, tapi mereka tak kenal lagi media cetak. Smartphone atau gadget atau apapun istilahnya, setiap saat sudah mengantarkan berita ke hadapan kita. Bahkan menguntit kita hingga ke toilet. Alangkah resahnya...! ***
0 komentar:
Posting Komentar