31 Juli 2016

Kisah Adam Malik Kecil, Jualan Kue Demi Film Koboi

Masa kolonial tahun 1926, Kota Pematangsiantar sudah tergolong maju. Jalan-jalan protokol sudah diaspal. Listrik dan air ledeng sudah tersedia di rumah orang kaya dan pusat-pusat pertokoan. Truk sudah mulai banyak menggantikan kereta lembu mengangkut teh. Dan, sudah ada bioskop.


Suatu hari di tahun itu, bioskop di tengah kota sedang memutar film koboi berjudul Tom Mix. Setelah saya telusuri, Tom Mix ternyata Mega Bintang. Nama lengkapnya Thomas Edwin Mix, lahir 6 Januari 1880 dan meninggal 12 Oktober 1940. Sepanjang hidupnya, aktor film Amerika membintangi 291 film antara 1909 dan 1935. Dia adalah megabintang Hollywood peletak dasar genre film koboi.

Yusuf Malik tergoda dan sangat berhasrat menonton film itu. Ia kemudian mengajak adiknya, Adam Malik, untuk menonton film itu. Tapi darimana uang beli karcis? Yusuf sengaja memanas-manasi Adam yang memang dikenal cerdik dan selalu punya akal.

Perbincangan tentang hasrat menonton film koboi itu berlangsung ketika mereka dan rekan-rekan berjalan kaki pulang dari sekolah di Holland Indische School (HIS). Sesampai di rumah, Yusuf masih menggoda Adam dan memberi isyarat agar mencuri uang di toko. Maka, sehabis makan siang, keduanya berusaha masuk toko, tapi ternyata ayahnya sedang sibuk di situ dan melihat kedatangan mereka. Dan, keduanya segera hambur dan lari menjauhi toko. Mereka pergi mandi-mandi ke Sungai Bah Bolon dan bertemu teman-teman sebaya.

Di Sungai Bah Bolon itu, salah seorang teman mereka tidak ikut mandi-mandi. Ketika teman mereka bertanya tentang Parto, Yusuf  menjelaskan bahwa Parto sedang sakit. Yusuf tahu karena Parto juga anak buah ibunya, yang setiap hari menjajakan kue-kue buatan ibunya. Pikiran Adam langsung bekerja. Ia pulang dan mengambil kue-kue buatan ibunya itu, lalu menjajakannya di jalan-jalan dan lapangan sepak bola. Jadilah Adam penjaja kue dadakan. Ketika ada orang bertanya kenapa ia menjajakan kue, Adam menjawab karena Parto sedang sakit.

Setelah dagangan itu habis separoh, Adam memghitung uangnya. Sudah cukup beli karcis untuk 4 orang. Untuk dia dan abangnya, dua lagi untuk teman mereka bernama Matun dan Usman. Dan terwujudlah mimpi mereka menonton Tom Mix dengan kuda putihnya yang gagah dan lincah. Meski untuk itu Adam menyerahkan dirinya dihukum ayah: disebat dengan sapu lidi.

Potongan kisah itu saya baca di buku Si Bung dari Siantar, sebuah novel anak-anal karangan Syahwil. Syahwil menyusun novel ini berdasarkan hasil serangkaian wawancara dan rekaman yang dilakukan Upi Tuti Sundari Azmi dengan Adam Malik. Novel yang dibuat atas persetujuan Adam Malik itu diterbitkan Fa. Aries Lima, Jakarta (1978).

Sebagaimana halnya novel anak-anak, buku ini diselarsakan dengan logika anak-anak, sehingga tidak berjarak dan bisa dinikmati. Maka, dalam buku ini kita bisa 'menonton' Adam Malik kecil dengan karakternya yang khas: nakal dan gemar main-main. Dan dari perilaku itu, kecerdasan seorang anak sudah terlihat sejak dini, sebagaimana tergambar dalam diri Adam memecahkan masalah.

Pada suatu hari yang lain, Yusuf mengajak Adam lomba lari dari suatu tempat ke gardu kereta api. Taruhannya adalah kertas rokok, mungkin semacam kartu mainan anak-anak sekarang. Kartu itu digunakan sebagai alat bermain dengan anak-anak lain. Kertas rokok milik Yusuf waktu itu memang sedang kosong, dan ia tahu punya adiknya masih banyak. Dan ia tahu adiknya tak mungkin mengalahkannya. Tapi pikiran Adam langsung bekerja. Ia setujui tawaran abangnya. Siapa menang akan mendapatkan 5 kertas rokok.

Hiyaakk! Aba-aba disuarakan Adam. Mereka lari. Yusuf di depan. Saat berada di tikungan, Adam berbelok, mengambil jalan pintas. Sebelumnya ia sudah membayangkan ada jalan pintas yang lebih dekat menuju gardu meski medannya agak sulit. Saat berlari itu, Yusuf malah sesekali menoleh ke belakang dan mengurangi laju lari sembari menunggu adiknya. Dan ketika gardu sudah dekat, Yusuf terkejut sudah melihat Adam sudah berada di gardu, bergabung bersama anak-anak lain. Lokasi gardu itu memang lazim digunakan anak-anak sebagai tempat bermain.

Buku ini juga mengisahkan bahwa anak-anak masa itu suka melakukan permainan lomba lari di atas rel kereta api. siapa paling lama bertahan dan tidak terpeleset keluar rel, dialah pemenangnya. Suatu kali, Adam berjanji dengan Parto bertemu di rel. Tapi bukan untuk lomba, melainkan memberikan hadiah kepada Parto.

Lama sekali Adam memunggu Parto di rel itu, tapi tak kunjung datang. Setelah ia bosan dan mulai jengkel, tiba-tiba dari arah semak-semak sebutir batu kerikil dilemparkan kepadanya. Dan entah kenapa, ia langsung menduga bahwa itu adalah ulah Parto yang sengaja mempermainkannya. Dengan otaknya yang cerdik, dia langsung balas dendam. Katanya: "Wah, ada setan di siang bolong. Tapi aku tak takut setan. Kalau setan melemparku dengan batu kecil, aku akan membalasnya dengan batu besar. Pasti kena. Aku jago permainan gundu, sekarang bidikanku akan tepat mengenai kepala setan."

Lalu ia membungkuk mengambil batu besar untuk dilempar. Dan benar saja, saat itu juga Parto muncul dari arah semak-semak dan berkata, "Setannya menyerah. Jangan dilempar."

Tapi Adam pura-pura tak peduli. Ia malah berkata, "Mana ada setan yang mengaku. Akan kulemparkan batu ini, biar tahu rasa dia..."

"Aku bukan setan, Adam. Aku Parto."

Lalu Adam tertawa-tawa. Dua sahabat itu kemudian berpelukan. Ternyata, Parto sudah melihat Adam dari jauh, tapi agak ragu karena tubuhnya sangat gemuk. Dan di sinilah drama mengharukan itu terjadi. Adam kemudian membuka bajunya. Tapi setelah dibuka, masih ada satu baju lagi di dalam. Ia mamakai baju rangkap. Dan itulah yang menyebabkan ia kelihatan gemuk.

"Kenapa? Apakah kau sakit?" tanya Parto.

"Tidak, baju ini hadiah untukmu. Karena kau sudah pandai menulis dan membaca," ujar Adam.

Singkat kisah, Adam memberikan hadiah baju itu kepada Parto karena Parto sudah pandai menulis. Parto memang anak miskin, ayahnya hanya kuli kontrak, sehingga tidak mampu memgirimnya ke sekolah. Dan Adamlah yang mengajarinya menulis. Adam pula yang memberinya 5 buah buku tulis untuk Parto selama belajar.

Sampai di sini, saya berhenti berhenti membaca novel ini. Saya nikmati sejenak rasa haru. Dan demikianlah perlahan-lahan saya memahami bahwa sejak kecil, Adam Malik memang sudah jadi tokoh yang patut diteladani. Dan kita tahu, kelak ia jadi wartawan handal asal Siantar dan mendirikan kantor berita Antara, dan terakhir menjadi Wakil Presiden RI. Baiklah, horas buat rakyat Siantar. ***
Bagikan:

0 komentar:

Posting Komentar