29 Juli 2016

Tentang Lagu Batak, Kenangan dan Kedai Tuak


Nyanyian itu sayup-sayup, merayap dari jauh, mengayun-ayunkan jiwa, kian lama terdengar kian dekat. Dan akhirnya, muncul kesadaran bahwa pagi telah tiba. Waktunya untuk bangun.

Lagu Antar Didokkon yang dilantunkan Eddy Silitonga, atau lagu yang menguras perasaan itu: Andung-andung ni Anak Siampudan, selalu mengalun di masa kanak yang jauh itu. Ada juga lagu Bunga Na Bontar dan Atik yang dikumandangkan Bunthora Situmorang dan Jhonny Manurung. Lagu-lagu itu, setiap pagi yang berulang, seperti bertugas membangunkan saya dari tidur.

Memang begitu kebiasaan ayah. Setiap ia bangun sekira pukul 05.00 subuh, ia langsung menghidupkan tape-recorder. Meski tidak pernah saya tanya, tapi agaknya ayah menyukai Eddy Silitonga dan Bunthora. Sementara ibu, dengan kadar apa adanya, sesekali mendengarkan Lamser Girsang atau Sarudin Saragih.

Saya kemudian mengenal Charles Simbolon, Rita Butar-butar, Nainggolan Sisters, Trio Maduma dan....! Sepertinya hanya itu, ditambah sedikit lagu Simalungun milik Sarudin Saragih, dan satu lagi penyanyi yang saya lupa namanya, bermarga Sitopu.

Pengenalan saya pada musik populer hanya terbatas pada nama-nama tersebut di atas. Tentu, lebih awal lagi, ada kidung-kidung gerejawi, yang dalam prakteknya tak pernah saya dengarkan bersentuhan dengan musik. Sebab nyanyian itu hanya dikumandangkan dengan vokal. Tak ada organ atau keyboard pengiring di gereja ketika itu. Sungguh desa yang miskin.

Maka, di alam nyata, saya tak mengenal alat musik apapun. Kecuali gitar, itupun hanya terdengar dari kedai ketika anak-anak muda nyanyi ramai-ramai sambil minum tuak. Pesawat TV waktu itu hanya ada satu unit, milik orang kaya desa sekaligus pemilik kedai. Di kedai itulah warga desa ramai-ramai menonton, itupun ketika aki terisi. Jika aki kosong, desa gelap gulita. Saya tak pernah bisa menikmati TV hitam putih itu. Ayah-ibu saya sangat tegas dalam hal ini. Tak seorangpun dari kami bisa keluar rumah jika malam.

Tentang kedai tuak, saya ingat bahwa suasananya berlangsung sangat nyaman dan menggembirakan. Tuak hanya penghangat badan dan penggembira jiwa. Pada masa lalu, jarang kita temukan orang-orang bertengkar di kedai tuak.

Ketika ayah berhasil membeli tape-recorder itu, dunia seolah meledak di rumah kami. Kegembiraan merasuk begitu tinggi. Sepanjang hari hari tape itu nyala, hingga kadang-kadang baterainya cepat aus. Ini sekaligus jadi kenangan lucu. Sebab ketika baterai aus, lagu-lagu seperti layu, mendayu-dayu, penyanyinya seperti mengigau, lucu, kacau dan mengerikan.

Begitulah setiap pagi yang berulang, tape-recorder itu membangunkan saya dari tidur. Saya paling terkesan pada Andung ni Anak Siampudan dan Atik, karena keduanya sama-sama berkisah tentang tradisi merantau. Saya tahu, kelak saya akan merantau.

Benarlah demikian. Untuk melanjutkan pendidikan ke SMP, desa harus ditinggalkan dan mulai bergaul secara sosial di ibukota kecamatan. Maka pengenalan akan warna-warna musik juga kian beragam, termasuk dangdut yang entah kenapa, hingga saat ini, tidak bisa saya nikmati. Belakangan, saya malah cepat akrab dengan Beethoven, Mozart, Tchaikovsky, Bach dan lain-lain, yang membuat saya dituduh sinting oleh rekan-rekan segenerasi. Sebab Slank, Boomerang, Guns N Roses, Scorpion dll adalah identitas anak-anak muda ketika itu.

Dan pada rentang itu, lagu-lagu Batak terlupa untuk alasan-alasan tertentu yang tak masuk akal. Dan entah kenapa, saya tak menyukai Charles Simbolon dan Joel Simorangkir, yang sepertinya berlomba-lomba memiliki suara tinggi dan melengking.

Ketika usia makin uzur, minat akan musik Batak kembali menggoda. Musik-musik instrumentalia yang dimainkan hanya dengan kecapi dan seruling, tiba-tiba menjadi kesukaan yang berlebihan. Sepertinya, minat pada musik juga memiliki pengembaraan tersendiri sebelum kembali ke muasal, seirama dengan aliran darah.

Dan agaknya, musik Batak lamban berkembang. Beberapa generasi selalu dihadapkan pada penyanyi itu-itu juga dengan warna musik yang itu-itu juga. Barulah kehadiran Vicky Sianipar menawarkan nuansa baru dan kini terus berkembang. Di Kota Pematangsiantar, misalnya, muncul genre musik aneh, perpaduan rap dan musik tradisi. Siantar Rap Foundation, begitu anak-anak muda itu menamai diri. Nama-nama lain seperti Retta Sitorus, munculnya Hermann Delago Manik, membuat warna musik Batak kian hidup. Di ranah Simalungun, siapa tidak kenal Damma Silalahi yang melancarkan kritik sosial lewat lagu-lagunya?

Untuk alasan tertentu, saya tetap menyimpan kekaguman emosional pada Eddy Silitonga dan Bunthora. Mungkin, ini bentuk kultus sederhana pada ayah, yang kini sudah renta. Kadang-kadang, saya bangga menyaksikan perjalanan dinamika musik Batak, juga sesekali sedih. Syair-syair lagu Batak kini tidak lagi sekuat dulu. Tema-temanya juga mulai melabrak norma dan kemapanan budaya.

Betapa terkejutnya kita mendengar lagu Gumis ni Huting yang dipopulerkan Jhon Eliaman Saragih. Atau, betapa sedapnya lagu Holong Na So Tarputik itu, tapi sesungguhnya menggambarkan keretakan budaya. Anak-anak muda tentu akrab dengan istilah berondong dan daun muda. Boasa dang tibu hian hutanda ho, boasa...? Apakah kau punya berondong atau daun muda? Sukakmulah...! (Panda MT Siallagan)
Bagikan:

0 komentar:

Posting Komentar