25 Juli 2016

Kisah Rengge-rengge, Cinta dan Keteladanan Wanita Batak


Namanya rengge-rengge, tomat berukuran kecil. Rasanya asam. Seperti asam kehidupan, barangkali. Orang-orang desa, hampir dipastikan sangat akrab dengan jenis sayuran ini. Orang Batak yang hidup di pedesaan sering mengklaimnya sebagai tomat Batak. Hebat orang Batak ini. Semua punya. Ada tomat Batak, ada bawang Batak (kucai), ada ikan Batak (jurung), ada lada Batak (andaliman), dan ada spageti Batak (mi gomak), dan lain-lain.


Demikianlah, rengge-rengge juga berperan besar mendukung citarasa sebagian kuliner khas desa bahkan kuliner tradisi. Coba bayangkan, cabai hijau digiling agak kasar, dicampur dengan bawang dan rengge-rengge yang diiris halus, lalu ditumis setengah matang, sungguh sajian sambal yang sedap. Suatu kali ia dilumat halus dengan terasi, juga menawarkan cita rasa yang berbeda. Makan siang di sopo (dangau) di tengah ladang akan terasa seperti di surga ketika menyantapnya. Dan sering, rengge-rengge juga digunakan sebagai pengganti jeruk nipis atau asam gelugur untuk kuliner tradisional Na Niarsik. Hmmm...

Sebagian anak-anak desa bahkan sering memakan rengge-rengge ini sebagai cemilan, terutama buah yang masih setengah matang. Ketika digigit dan dikunyah, terasa bunyinya: krek! Lalu pecahlah cairan itu dan rasa asam menyebar ke seluruh mulut, dan terkadang membuat tubuh bergidik saking asamnya. Tapi semakin dimakan, lama-lama semakin terasa manisnya. Seperti asam-manis kehidupan, barangkali.

Saya tidak tahu bagaimana sejarahnya orang Batak menamai tomat kecil ini sebagai rengge-rengge. Setelah saya telusuri melalui sumber-sumber internet, tomat ini ternyata dikenal dengan nama tomat cherry dan tomat ranti, hanya saja ada perbedaannya. Tomat cherry bentuknya bulat halus, sementara tomat ranti memiliki bilah-bilah pada permukaan buahnya. Tapi bagi orang Batak, kedua jenis tomat kecil ini dinamai rengge-rengge. Dan sejarah masuknya tomat ini ke tanah Batak juga tak banyak saya ketahui, tapi yang pasti tomat jenis ini sangat mudah dibudidayakan. Ia bisa tumbuh dan berbuah lebat dalam berbagai kondisi tanah dan iklim.

Saya ingat, ibu saya dulu sering menanam tomat ini di pekarangan rumah atau di sekitar tunggul kayu sisa penebangan hutan di tepi ladang bersama cabe rawit. Buahnya sangat banyak dan tidak akan habis untuk konsumsi rumah tangga. Oleh karena itu, ibu sering membawanya ke pasar. Dan selalu habis terjual. Rengge-rengge memang masih pilihan utama memenuhi kebutuhan tomat sebagian besar warga desa, sebab harganya relatif lebih murah dibanding tomat besar. Jika harga tomat besar anjlok, barulah warga desa leluasa menikmatinya. 

Penopang Ekonomi

Dalam tatanan sosial masyarakat Batak, kita mengenal profesi kaum perempuan yang disebut parrengge-rengge. Zaman sekarang, parrengge-rengge ini disebut pedagang kali lima. Merekalah kaum ibu yang menggelar dagangan di kaki lima dan sering berbenturan dengan pamong kota. Mereka kerap terusir atas nama keindahan dan tata kota. Padahal, dalam konteks ekonomi rakyat, marrengge-rengge sungguh memiliki peran luar biasa, terutama sebagai penopang ekonomi keluarga. Banyak keluarga Batak bisa mengirim anak-anak ke jenjang pendidikan strata satu bahkan strata dua hasil marrengge-rengge.

Pada mulanya, parrengge-rengge adalah pedagang yang khusus menjual hasil-hasil bumi dan rempah-rempah seperti sayuran, cabe rawit, jahe, kunyit, kencur, lengkuas, bawang merah, andaliman dan lain-lain. Tapi dalam perkembangannya, arti parrengge-rengge semakin luas. Setiap orang yang menggelar dagangan di kaki lima kemudian dinamai parrengge-rengge. Dan istilah ini tidak lagi hanya dikenal di tanah Batak, tapi di tanah-tanah perantauan, bahkan di kota-kota besar di lain provinsi dan pulau, istilah parrengge-rengge sudah sangat populer.


Di tanah asalnya Tanah Batak, parrengge-rengge dahulu termasuk 'pengembara'. Mereka pedagang keliling dari satu pasar ke pasar lainnya, hampir setiap hari. Pasar (onan) di kota-kota kecamatan di Tanah Batak memang tidak berlangsung setiap hari, tapi terjadwal pada hari-hari tertentu. Jika hari ini mereka ke Kota A, maka besok mereka ke Kota B. Mereka biasanya berangkat bersama-sama dengan sesama parrengge-rengge dengan menumpang truk. Dengan kondisi infrastruktur yang kadang berbahaya, mereka berjuang dari onan ke onan. Berangkat pagi, pulang malam. Kadang harus bermalam di jalan jikalau truk terperosok pada musim hujan.

Sesungguhnya, darimanakah etimologi (asal-usul kata) parrengge-rengge itu? Berdasarkan wawancara saya dengan sejumlah orangtua, istilah parrengge-rengge memang berasal dari rengge-rengge, tomat kecil itu. Lazim memang orang-orang tua zaman dulu menanam rengge-rengge ini di pekarangan atau di sudut-sudut ladang.

Karena hasilnya tak habis untuk konsumsi rumah tangga, maka kaum ibu membawanya ke pasar. Dan dari sana, insting dagang perempuan Batak muncul. Ketimbang hanya membawa rengge-rengge, maka mereka sekalian membawa hasil-hasil bumi lainnya. Dalam proses lanjutnya, jadilah mereka pedagang kali lima.

Secara filosofis, rengge-rengge yang berwujud kecil itu kemudian mengonstruksi status sosial dalam praktek perniagaan. Parrengge-rengge kemudian menjadi representasi kaum cilik, pedagang kecil tak bermodal, yang hanya mengandalkan kesuburan lahan dan pekarangan. Dan itulah yang dipahami generasi baru sekarang ini, bahwa parrengge-rengge adalah kaum lemah yang sering jadi korban kekuasaan.

Namun demikian, sangat banyak kisah-kisah mengharukan dan inspiratif tentang parrenggge-rengge. Sangat banyak generasi muda Batak dihantarkan sang ibu yang parrengge-rengge jadi manusia hebat, bahkan jadi pejabat. Tapi setelah pejabat, mereka tak bisa menghargai parrengge-rengge. Demikianlah. Horas...! (Panda MT Siallagan)***
Bagikan:

2 komentar:

  1. Luar biasa kata2 terakhirnya "banyak ank muda yg sukses oleh parengge2,tp setelah sukses mereka tdk mnghargai parengge2"

    BalasHapus
  2. Sejahtra ma tu sude parenggerengge

    BalasHapus

Terimakasih kunjungan Anda. Salam Literal...!