15 Juli 2016

Siantar, Sebuah Kenangan Traumatis

Oleh Panda MT Siallagan

Ketika usia saya berkisar 8 tahun, kira-kira pertengahan tahun 1987, saya berkenalan dengan Kota Pematangsiantar (lebih sering disebut Siantar) dalam arti sesungguhnya. Sebelumnya, saya tentu sudah berkali-kali singgah di kota berhawa sejuk ini, bahkan saya lahir di salah satu sudutnya. Tapi saya belum memiliki ingatan apa-apa ketika itu, hingga orangtua hijrah membawa kami ke dusun terpencil yang sunyi.
Suasana lalu-lintas di sekitar Pusar Pasar Horas Kota Pematangsiantar. [Foto/INT]
Tahun 1987 itulah ingatan saya mulai terang-benderang tentang sebuah peristiwa, termasuk tentang perkenalan menyedihkan itu. Ya, perkenalan saya dengan Siantar adalah peritiswa traumatis yang terus menghantui dan sulit saya maafkan. Waktu itu nenek meninggal. Saya ingat, ibu menangis histeris ketika kabar duka itu tiba di desa kami, suatu petang.  Esok harinya, ayah-ibu membawa kami, anak-anaknya yang masih kecil, menjenguk nenek untuk terakhir kali.

Tentang kampung kami yang sunyi, kelak akan saya bingkai dalam kisah tersendiri, juga tentang kampung nenek yang kami tuju itu. Saya ingat, hari masih subuh ketika kami berangkat dari desa, berjalan kaki sejauh 5 kilometer menuju sebuah simpang. Dulu, kampung itu belum bisa digapai angkutan desa (angdes), sehingga warga harus menapaki jalan sempit berlumpur jika ingin ke kota atau bepergian ke daerah lain untuk suatu urusan.

Singkat kisah, kami tiba di ibukota kecamatan, lalu naik angkutan lagi menuju Siantar. Dari Siantar, perjalanan beratus kilometer masih akan ditempuh untuk tiba di kampung nenek. Saat memasuki Terminal Suka Dame, kondektur angdes yang kami tumpangi mengingatkan penumpang agar hati-hati terhadap copet, dan cermat menjaga barang-barang, terutama dompet dan tas. Benar saja, saat angkutan tiba di terminal, segerombolan anak-anak berandal berlomba menghampiri angkutan itu, menanyai kemana tujuan para penumpang yang belum turun. Gerombolan itu bahkan berinisitif mengambil tas atau barang-barang milik penumpang.

Saya ingat dengan jelas, seorang anak muda mengambil tas kami dari atap angdes dan membawanya tanpa bertanya itu milik siapa. Ayah menyadari hal itu dan langsung menegur pemuda itu, "Heh, mau kau bawa kemana tas kami?"

Dengan santai, anak muda jelek berkulit legam itu berkata, "Tidak apa-apa, Pak. Aku bantu membawa. "Bapak mau ke Medan kan?"

"Bukan, kami mau ke S," sahut ayah.

"Sama saja, kuantar ke halte bus tujuan S," jawab pemuda itu.

Entah bagaimana awalnya, saya saksikan ayah sudah 'berkelahi' dengan pemuda itu. Ayah merebut tas kami. Pemuda itu bersikeras membawa tas itu seolah-olah miliknya. Situasi itu membuat saya beku, percampuan antara rasa takut dan amarah. Dalam situasi kalut, ibu turut membantu. Dengan marah, ibu berkata lantang kepada pemuda itu bahwa kami adalah warga Siantar dan bisa saja melakukan sesuatu untuk mengusir dia dari terminal itu. Pemuda itu melunak, menyerahkan tas kepada ayah, lalu perlahan-lahan menjauhi kami.

Persoalan tak berhenti di situ. Ketika kami duduk di ruang tunggu terminal menunggu bus tujuan S, ancaman lain muncul lagi. Saya tetap menamainya anak berandal, si tukang semir, yang meminta dengan cara kasar sepatu ayah untuk disemir. Ayah menolak dengan lembut, tapi si kecil itu tetap ngotot. Saya sebenarnya sudah nyaris menonjok anak itu andai ibu tidak melarang. Menurut ibu, meskipun mereka masih anak-anak dan bertubuh kecil seperti saya, mereka adalah orang-orang jahat yang sudah terbiasa melukai orang. Saya ciut.

Tak lama kemudian, muncul lagi pemuda berbeda, kali ini membawa buku teka-teki silang (TTS), alkitab, kidung jemaat gereja, juga buku-buku berbahasa Batak yang kelak saya tahu berisi silsilah (tarombo). Pemuda itu langsung meletakkan sebuah buku TTS di pangkuan ayah, lalu pergi. Ternyata ia melakukan hal yang sama kepada para calon penumpang bus di ruang tunggu terminal itu. Tak lama kemudian, ia muncul lagi dan bertanya kepada ayah apakah bersedia membeli buku TTS itu. Lagi-lagi ayah menolak. Dan itu berbuntut ricuh. Pemuda itu mengatakan, bukunya sudah kumal karena ayah membolak-balik halamannya, sehingga harus dibeli. Padahal, saya saksikan dengan mata kepala sendiri, ayah tak menyentuh buku itu. Ayah hanya memindahkan buku itu dari pangkuannya ke atas kursi. Pemuda itu ngomel setengah mengancam. Lagi-lagi saya naik pitam, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Adik-adik saya tampak kebingungan atas situasi itu.

Untunglah bus tujuan S tiba, dan kami masuk ke dalam. Pedagang buku yang lain naik ke dalam bus, lagi-lagi menjajakan dagangan kepada para penumpang, tapi tidak terlalu kasar seperti pemuda di ruang tunggu itu. Kelak saya tahu, jika mereka mengancam penumpang, maka kernet dan supir bus akan jadi lawannya. Sampai kini, saya ngeri membayangkan moralitas anak-anak muda itu. Bagaimana mungkin mereka bisa brutal seperti itu, sementara alkitab dan buku kidung gereja mereka bawa untuk dijajakan? Dan, ibu-ibu pedagang kue dan kacang, sama kasar dan beringasnya dengan anak-anak muda itu.

Sungguh, saya stres dan terguncang ketika itu. Ketika saya menginjak remaja dan harus lebih sering menyinggahi Siantar dalam rangka pulang-pergi ke perantauan menuntut ilmu, hal-hal menakutkan dan memalukan itu tetap terjadi. Lebih mengerikan, saya bahkan pernah diancam dengan pisau agar bersedia membeli buku TTS. Di lain waktu, dompet saya dicopet. Tentang ini, saya akan tulis dalam kisah tersendiri.

Sampai sekarang, bahkan untuk selama-lamanya, saya masih ingat wejangan ibu: hati-hati di terminal, mereka adalah preman-preman Siantar yang sesungguhnya tengik, tapi nekat melukai orang lain.

Demikianlah perkenalan saya dengan Siantar, yang selalu memunculkan kemarahan setiap terkenang. Maka, hingga saat ini, saya tidak pernah paham mengapa saya pada akhirnya tinggal dan hidup di kota yang saya benci, yang sejak usia belia sudah menanamkan amarah di dada saya. Sejak masa kanak-kanak itu, saya selalu ingin menghindari. Tapi inilah rahasia perjalanan. Kini saya mulai mencintai Kota Siantar dengan segala dinamikanya.

Dengan sedikit dendam yang masih memercik, saya kadang-kadang bertanya, sudah dimanakah kini anak-anak muda penjahat itu? Mereka tentunya sudah tua, sebagaimana saya kini mulai menginjak usia 40. Barangkali, sebagian dari mereka sudah menyeberang ke alam baka. Entahlah...! ***
Bagikan:

2 komentar:

  1. Saya prihatin 'hampir menangis' membaca pengalaman traumatis ini.
    Bahkan teringat, sekali waktu, anak-ku dari abang juga pernah mengalami hal yang mirip, di depan mataku sendiri, ketika dia masih belajar bicara.
    'Petugas' angkutan berlaku kasar, melempar tas bawaan kakak ipar yang tidak mau naik ke bus mereka, dan ketika saya melawan, petugas atau lebih pantas disebut preman, mengambil benda tajam dan mencoba menusukkan dengan kecepatan penuh ke badan saya.
    Syukur bagiNYA, entah bagaimana saya dapat menangkis dengan kaki kiri, sehingga tidak melkai sedikit pun. Akhirnya ada orang yang melerai, dan kami disuruh cepat-cepat berlalu.
    Anak, keponakan-ku, yang saat itu masih kecil sempat menjerit-jerit ketakutan dan menangis dengan kepanikan yang tak tergambarkan.
    Saya berempati dengan pengalaman traumatis yang Anda alami, bahkan sebagai warga yang bermukim di Siantar sejak tahun 1971 hingga sekarang, sejak 2010, tinggal kembali di Siantar ini.
    Namun sejak kejadian yang saya dan keluarga saya alami, saya sempat bertekad akan 'menghabisi' siapa saja yang masih berbuat hal yang sama kepada saya, keluarga saya, atau teman saya...
    Kepada kita orang Siantar sendiri, saya minta dengan sangat, cegahlah untuk berbuat, dan cegahlah terjadi lagi hal seperti dalam tulisan ini.
    Sedemikian rupa, aparat juga harus berupaya memberi rasa aman dan nyaman untuk setiap orang yang singgah, datang, dan tinggal di kota Siantar.
    Malu lah kita orang Siantar dengan label kasar, jahat, dan bringas.
    Saya pribadi sering bereaksi berlebihan ketika bertemu dengan orang yang bersikap 'manokko' atau 'menokoh' di Siantar ini hingga hari ini.
    Maaf dari saya sebagai warga Siantar, atas pengalaman traumatis yang menimpa Anda.
    Sekali lagi, mohon maaf...

    BalasHapus
  2. Trimakasih, kawan. Untung saja Siantar sudah jauh lebih nyaman saat ini.

    BalasHapus

Terimakasih kunjungan Anda. Salam Literal...!