19 Agustus 2016

Anak Muda Itu Mencipta Dosa di Hatiku


Kehadiran pengamen itu mendorong saya tercebur menyelami makna sebuah kata: fakta. Dan ternyata, kata ini menyimpan bahaya di tengah pemuliaan terhadapnya. Akan tetapi, lagu-lagu dan musik mungkin akan terus dilantunkan, meski malam dan dingin mendera, hidup harus berlanjut.



Pengamen itu, seorang anak muda berwajah segar, hadir menciptakan dosa di hati saya. Sebab, emosi menjadi tidak stabil setiap kali melihatnya muncul dan mulai bernyanyi. Tatapan mata dan senyumnya tampak ‘bebal’, menghadirkan semacam chaos bagi orang-orang yang gemar menikmati makan malam di kafetaria dan pusat jajanan malam. Ia selalu datang menenteng gitar butut, memberikan salam dan memperkenalkan diri kepada pengunjung kedai atau warung. Ia bangga mengatakan bahwa ia seorang mahasiswa dan sengaja mengamen pada malam hari untuk biaya kuliah. Ia menggambarkan hidupnya seperti derita. Dan ia mengaku telah menciptakan lagu atas derita itu, yang senantiasa ia lantunkan bagi pendengar. Ia bangga mengabarkan capaian itu.

Tapi pendengar dan pecinta musik, mungkin bukan hanya kecewa, tapi juga marah setiap mendengar pengamen muda ini bernyanyi. Suaranya jelek. Petikan gitarnya hancur. Lagu yang konon diciptakannya itu jauh di bawah standar. Dan itu fakta yang sulit dibantah. Beberapa teman-teman yang kerap menikmati malam sambil menyeruput kopi, mengatakan hal yang sama ketika dimintai komentar. Tapi sesekali, saya menebus dosa sembari melihat sisi positif dalam setiap kemunculannya. Anak muda itu semacam lorong kreativitas, sebuah kenyataan yang berani tegak mengesampingkan gengsi dan rasa malu demi menjalankan rencana hidupnya.

Kadang-kadang kesedihan menyergap ketika ia muncul menenteng gitar butut itu dengan tubuh basah karena hujan atau gerimis. Betapa gigihnya kawan itu menyusuri jalan-jalan kota, mencari kedai atau café yang ramai pada malam hari. Dari sana, ia akan menyusuri lagi jalan hingga kadang-kadang kita temukan juga di di kafe-kafe lain. Maka, ia juga seperti lorong imajinasi, sebab kita kemudian bertanya: betulkah hidupnya susah, benarkah ia mengamen untuk memperjuangkan hidup, atau sekedar memenuhi obsesinya sebagai artis jalanan?

Tapi satu hal yang kita lihat, ia tidak macam-macam. Ia polos. Ia tidak mengenakan atribut khas anak jalanan yang kadang membuat kita muak dan marah: rambut panjang, gimbal atau berjambul, tubuh kurus dan kotor. Kita lalu dikejutkan tingkah anak-anak muda lain yang melakukan aksi balap liar, yang juga dilakukan malam hari. Mereka berkumpul sambil menghidupkan mesin sepedamotor yang kasar dan meraung-raung. Setiap Sabtu malam hingga Minggu dinihari, mereka bahkan berani melakukan aksi itu dengan melawan arah. Andai seseorang sedang terburu-buru melintasi jalan untuk urusan genting, lalu muncul sepedamotor anak-anak berandal itu dengan kecepatan liar, betapa remuknya. Betapa mengerikan bahaya yang ditimbulkannya.

Dan inilah cikal bakal munculnya geng-geng motor di berbagai tempat di Indonesia yang kini kian meresahkan dan sulit diatasi. Inilah bentuk kegagalan pendidikan terutama pendidikan karakter dalam keluarga. Faktor yang mendorong remaja berkumpul-kumpul, mungkin karena di kelompok itu mereka merasa nyaman, bisa mengekspresikan diri. Barangkali, mereka tidak mendapatkan rasa nyaman di rumah, dan lokasi balapan liar adalah realisasi kenyamanan yang dicari. Di mana-mana, seorang anak muda yang bermasalah secara psikologis, akan sangat mudah bergabung pada kelompok yang anti kultur. Dan di situ, mereka gampang tersulut dan dihasut.

Dua sisi kehidupan anak muda di atas adalah fakta, sebuah realitas sosial yang hari-hari ini bisa kita saksikan dan rasakan. Tapi sungguhkah situasi itu bisa kita rasakan? Di sinilah makna ‘fakta’ itu terselami. Fakta adalah sesuatu yang eksternal dan memaksa individu. Fakta menjauhkan kita dari sisi emosional, sebab terhadap fakta kita dimungkinkan melakukan kebaikan dan kejahatan. Kebaikan meluncur ketika kita ikut bersimpati dan berbuat untuk sebuah fakta yang menuntut campur tangan.

Dan memang, sisi termurni jiwa akan selalu tersentak melihat luka atau suka. Dan kejahatan akan menggelegak ketika terhadap fakta kita hanya berperan sebagai hakim. Menjaga jarak dengan fakta itu, tapi seolah-olah paling dekat dengan kebenaran. Tapi, musik dan lagu-lagu harus selalu berkumandang untuk kehidupan. Dan suara-suara sepedemotor yang meraung itu akan selama-lamanya menjadi mimpi buruk.(Panda MT Siallagan) ***
Bagikan:

0 komentar:

Posting Komentar