31 Agustus 2016

Syair-syair Panda MT Siallagan


Silsilah

Duduklah, kata pohon
Sungai menghilir, menjejak dingin
Di sini embun menoreh akar,
melubangi batu. Antara sakit dan lupa,
Hutan berkicau, sayap burung jatuh
Daun-daun merabuk, jiwa mabuk
Jangan tidur, seru licin lumut
Tapi mimpi lanjur menjulur,
mengejar sungai ke laut
Hening, menunggu membatu

Pematangsiantar, Juni 2009



Tragedi

Terharu mendengar siul burung hantu. Lagu yang turun dari dinding gunung, menyambut gang dan lorong kota di jantungku, juga usia yang terpanggul. “Sejauh apa jiwamu membaca luka, Tuan?”

Nadi mendenyut. Malam retak ditiup sedih, tak lagi butuh bunyi. Siul burung hantu menguak kenangan dan harapan yang aus dicakar batu jalanan. Mimpi telah hancur di jantung bapak, terlontar bersama batuk, dahak dan darah.

Beku aku di genangan itu. Gubuk bambu masih tabah memikat sungai. Sungai yang memeluk batu dan mengirim nafas hutan ke mulut muara. Tapi aku hanya haus pada debur, tak kuat memeluk laut. Gelombang dan mulut kota-kota nyala amat tajam.

Bergetar disayat dingin. Begini selalu, pulang tanpa pucuk, bagai dulu pergi tanpa akar. Menggenapi ziarah, kuibadahi muram batu di tebing ngarai. Kupahat kekalahan pada lumut, tapi doa bagai lendir. Alangkah hambar, gambar tuhan di masa lalu cuma lereng gersang. Bukit dan lembah di tanah ari-ari ini menyambutku sekeji mata mambang.

Dalam auman nyeri, kucumbu bau tanah dan kelat tuak, masa lampau busuk kian dalam dekap. Kedai dan lagu-lagu, memecah resah. Malam hambur teramat jauh. Sejauh airmata ibu, tak henti mengukur jantungku. Aku mabuk, meski ini bukan ziarah terakhir.

Pematangsiantar, Agustus 2009

Andung Perjalanan

Puan, sudah rampung maut menukangi terminal
dalam kepakaku. Serupa bus, waktu berhenti
di situ, menurunkan penumpang penuh wajahmu,
untuk kemudian pergi lagi menjudikan muasal

Oh, kesepian yang amat perih untuk ditonton
Kulihat pipit menyanyikan sawah dan ladang
masa kanakku dalam nafas orang-orang,
melengking senada lagu dangdut
yang tersangkut di tembok-tembok kota
Orang-orang itu, dengan luka kampung
dalam tasnya, melangkah ke lapo-lapo terminal
yang beku, sekedar ingin menenggak kecut
dan asam takdir.

Tapi tak ada tuak dan ikan arsik di sini
hanya uap kopi yang beradu dengan kartu judi
lelaki-lelaki kuli. Inilah kedatangan
yang senantiasa disambut hampa, tapi
kepergian nama-nama memang pahit.

Lihat, bus yang parkir dalam kepalaku
mulai penuh lagi, kulihat sosok perempuan tua
kehabisan kursi, seolah menunda kepergian
adalah belati yang diacungkan bapak
ketika kau memilihku.

Hingga akhirnya kau rutuki susu, roti dan keju
Kau maki bapak yang membangun dirimu
dengan kekayaan. Andai aku sepertimu,
membangun diri dalam perjalanan dengan ubi rebus
dan nasi jagung, katamu ketika waktu berangkat
Ya, andai kita lahir dari luka yang sama

Maka kulihat sesosok perempuan menghanyutkan diri
dalam darah sesosok lelaki, sementara aku
hanya bisa membatu, beku di ujung riwayat
yang buntu dipenggal maut
Terminal itu, kini lengang lagi.
Bus telah berangkat, kulihat sesosok perempuan
melambaikan tangan serupa mabuk jarum jam
mendaki luka di dinding yang menangis
memeluk foto bapak-ibu, juga gubuk reot
di bebukitan itu. Sunyi dan ringkih, bukan?
seringkih sosok perempuan yang berkelana
menyusuri serpihan muasal sesosok lelaki
yang pergi dari desa.
Dan aku masih selalu berdiam diri, membiarkan
maut menukangi terminal dalam kepalaku

Sebuah bus lagi tiba, Puan
Bus yang membawa peristiwa penuh wajahmu
Dan kudengar orang-orang memanggilku
dengan suaramu

"Ayo pergi,
jangan tidur dalam waktu yang berhenti!"

Pekanbaru, 2005

Bagikan:

0 komentar:

Posting Komentar