20 Agustus 2016

Saat Itu, Kesedihan Sangat Merajam


Sebuah kapal merapat ke dermaga sekitar pukul 02.00 WIB dinihari. Pelabuhan terasa sunyi, meski orang-orang hiruk-pikuk. Ketika para penumpang hambur dan berlarian dari kapal, kesedihan sangat merajam. Tangisan terdengar dari berbagai sudut. Jiwa terguncang. Saya lemas. Bau mayat menyergap. Saya berlari menangkap dua anak kecil yang sudah lunglai.

Ilustrasi
Itu peristiwa bertahun-tahun lalu di Pelabuhan Sibolga, sesaat setelah gempa dan tsunami dahsyat yang menewaskan ratusan ribuan orang. Saya berada di pelabuhan itu untuk menjemput anggota keluarga yang mengungsi dari Nias. Sejak pukul 20.00 WIB, kami sudah berada di teluk Tapian Nauli itu karena kabar menyatakan, pukul 21.00 WIB kapal pengungsi akan tiba. Keresahan sempat mendera ketika komunikasi terputus.

Saat itu, gempa susulan dan cuaca yang labil dimungkinkan memicu badai. Akhirnya, ketika kapal muncul, kebahagiaan terasa memuncak dan kehidupan seolah berdenyut lagi. Kekasih saya (kini sudah jadi istri), sempat lelap di pangkuan karena kelelahan. Jalan darat Siantar-Sibolga bukan hal yang mudah dilalui dengan bis butut apalagi karakter supir sedikit ugal-ugalan.

Selalu, sejak dulu hingga waktu-waktu mendatang, kita masih akan selalu berhadapan dengan bencana. Dan setiap kali bencana muncul, terutama gempa, ingatan segera terlempar ke Aceh atau Nias. Dan setiap itu pula telepon diarahkan ke pulau atau tempat-tempat jauh yang dilanda gempa. Ketika telepon tak tersambung, rasa khawatir mencengkeram. Tapi ajaibnya, alam mengajarkan manusia memahami rasa sakit.

Ketika sebuah pesan tiba: 'di sini kami baik-baik saja', hati lantas lega dan kita sejenak tersenyum. Tersenyum mengingat hal-hal tak masuk akal, sebab kadang-kadang, kita tak pernah lagi menjalin komunikasi dengan anggota keluarga dan para sahabat di tempat yang jauh, tapi bencana sering membuat kita tergerak saling sapa, bahkan saling mengkhawatirkan. Betapa tak menariknya hidup semacam ini.

Demikianlah, hanya hitungan detik setelah bencana, biasanya hampir seluruh status media sosial (medsos) bicara bencana. Saya membayangkan kata-kata yang berhamburan di medsos itu seperti teriakan orang-orang ketika berlari dan berhamburan dari ruangan. Dan tak lama kemudian, situs berita ramai-ramai diakses. Semua berlomba mengabarkan informasi terbaru. Semua saling rebut membagikan kabar itu.

Betapa ajaibnya, betapa produktifnya orang-orang berbagi rasa. Di sini teknologi tiba-tiba hadir sebagai sosok perekat sosial. Sejenak, segala sindiran, kecaman dan keluhan, menjadi musnah. Ya, kepedulian sesama, kesadaran kolektif yang menyeruak itu mengingatkan bahwa kita memang mahluk sosial.

Sebuah kisah mengharukan pernah terjadi antara dua karyawan sebuah perusahaan. Sehari-hari, dua karyawan ini tak pernah saling sapa meski mereka bekerja di satu ruangan. Waktu berlalu disedot rutinitas, jam istirahat habis dirampas blackberry atau smartphone. Tapi saat gempa terjadi, dua karyawan itu tiba-tiba saling tatap, bingung, terombang-ambing antara mimpi dan kenyataan.

Lalu mereka saling sapa, "Gempa, ya?"

"Ya, gempa."

Sama-sama mereka berlari dari lantai atas, saling menuntun, lalu saling bicara tentang apa yang baru saja terjadi. Demikianlah terjadi di hampir semua tempat. Ketika orang-orang berkerumun usai gempa, mereka bercerita satu sama lain. Tetangga berbagi pengalaman, berlomba bicara: mulai dari derit pintu, lampu yang bergoyang, tas jatuh dari atas lemari, juga hal-hal paling privat. Ada yang tak malu-malu bercerita, dia sedang jongkok di kloset saat getaran itu muncul, buru-buru dia lari dari kamar mandi.

Lagi-lagi saya terharu dan kembali menyakini bahwa sisi kebaikan paling murni tak akan pernah hilang dari jiwa manusia, dan itu selalu muncul dalam kondisi-kondisi genting. Seseorang yang menyaksikan anak jatuh ke sumur, secara spontan akan berteriak dan memanggil orang-orang untuk bersama-sama menyelamatkan. Seseorang yang menyaksikan kecelakaan di jalan raya, spontan histeris dan berlari menolong, atau sekadar gemetar menyaksikan peristiwa itu dengan dada terguncang. Dan pengungsian kerap menjabarkan rasa hangat kolektif itu secara menakjubkan.

Kita juga sering menjumpai beberapa anggota ormas atau mahasiswa berdiri di jalan-jalan untuk menggalang dana bagi korban bencana. Tetapi, mengapa dalam kondisi normal potensi kebaikan kolektif itu seolah lenyap? Lalu, kitapun kembali pasrah disuguhi informasi tentang sejumlah orang yang tewas akibat bencana.

Setelah itu, sepi mendera lagi. Mungkin, individu-individu yang tadinya sempat beramah tamah dan bicara, akan kembali tak saling sapa. Dan kita kembali sibuk, saling kecam, saling sikut, saling sindir dan saling protes, bahkan saling menjatuhkan. Kota adalah contoh yang baik untuk saling kecam. Bagaimanapun, pemimpin yang hanya tahu 'merepet' adalah gambaran paling nyata yang kita catat: kekuasaan tak pernah benar-benar memuliakan kemanusiaan. (Panda MT Siallagan)***

Bagikan:

0 komentar:

Posting Komentar