18 Agustus 2016

Kisah Marsinah, Pejuang Buruh Tangguh

Saya bayangkan gadis kecil itu mengendarai sepeda dengan keriangan khas anak-anak. Dan, ia bersepeda bukan bermain-main seperti anak-anak zaman kini. Gadis kecil tokoh kita ini bersepeda ke rumah-rumah penduduk di sekitar kampungnya untuk mengambil gabah atau jagung, lalu membawanya ke rumah neneknya.


Ya, sang nenek berprofesi sebagai pedagang-pengumpul gabah dan jagung di desa itu. Dan pekerjaan itu dilakukan Gadis Kecil itu agar bisa mendapat uang jajan dari sang nenek. Oh, tidak. Tidak sekedar ingin mendapatkan uang jajan, tapi ia mengerjakan itu dengan sadar: sebagai bentuk terimakasih kepada sang nenek yang telah merawat dan memeliharanya.

Ya, ketika Gadis Kecil itu berusia 3 tahun, ia ditinggal mati ibunya. Juga seorang kakak dan adik berusia 40 hari. Sungguh, saya bergetar membayangkan 3 anak perempuan hidup tanpa seorang ibu. Bergetar membayangkan tangis bayi berusia 40 hari tanpa perlindungan ibu, bagaimanakah mereka merasakan kepedihan itu? Dan seperti dikisahkan, sang ayah kemudian menikah lagi dengan perempuan lain.

Sejak itulah Gadis Kecil itu tinggal dan hidup bersama neneknya. Ia tumbuh tanpa siraman kasih sayang ibu. Ia tidak bisa bermanja-manja sebagaimana anak-anak seusianya. Tiada tempat mengadu, tiada tempat menumpahkan tangis dan rasa takut. Dia harus mandi sendiri, makan sendiri, dan mencuci baju sendiri. Sungguh, saya bergetar membayangkan kesunyian itu.

Kepadanya patut kita haturkan puji, sebab ia anak yang tahu berterimakasih. Ia dengan sadar membantu nenek menjalankan usahanya agar mereka bisa hidup. Ia tumbuh menjadi gadis tangguh, pemberani, dan tidak cengeng. Dan kesadaran lain membuatnya tumbuh jadi gadis cerdas: suka belajar, suka membaca. Imbalan yang diberi nenek atas jasanya mengangkut gabah dan jagung, sebagian ia pergunakan membeli buku. Ia haus ilmu. Jika tiada bacaan yang dipunyai, ia memungut potongan-potongan koran yang tercecer dimana saja sebagai bahan bacaan.

Dan, ia tumbuh jadi gadis terpelajar: cerdas, ramah, setiakawan, suka membantu orang lain, dan kritis terhadap hal-hal yang bertentangan dengan nuraninya. Ia gadis yang bertanggungjawab bukan hanya pada hidupnya, tapi juga pada zamannya. Maka ia pemberani, sangat berbeda dengan gadis-gadis seusianya. Ia gemar menonton televisi di rumah tetangga untuk menambah ilmu, lalu pulang malam hari jika sajian televisi usai.

Ketika ia sudah duduk di bangku SMA, kegemaran membaca sejak usia dini itu tetap awet. Ia suka membaca biografi tokoh-tokoh terkenal. Dan ia mengagumi Hamka. Hamka adalah tokoh idolanya.

Tapi takdir memutus mimpi. Gadis cerdas dan pintar itu mengakhiri riwayat perjalanan pendidikannya hanya SMA. Tapi ia sadar, pengetahuan dan wawasan tak hanya diperoleh dari bangku pendidikan. Dan, diapun pamit kepada keluarga, berangkat menuju Surabaya untuk bertarung menantang hidup. Ia meninggalkan desanya yang sunyi: Nglundo, Nganjuk, Jawa Timur.

Dan di Surabaya, gadis itu menggetarkan dunia, membuat sibuk negara, ketika ia berteriak lantang bersama rekan-rekan buruh memperjuangkan hak dan melawan penindasan. Dan, seperti kita tahu, ia dibunuh secara keji. Sungguh keji. Dan para pelaku adalah petinggi-petinggi perusahaan dimana ia bekerja. Sungguh, saya bergetar membayangkan betapa sunyi ia ketika disekap, dianiaya dan disiksa. Saya bayangkan, dalam keheningan yang menyakitkan itu, dia terkenang pada neneknya, terkenang masa kecil bersepeda mengangkut gabah. Dan ketika tusukan demi tusukan merongrong tubuh dan jiwanya dengan rasa sakit, ia mungkin teringat ibunya, yang telah meninggalkannya di usia tiga tahun. Sungguh, saya bergetar mengenang gadis itu: MARSINAH. Marsinah, sesunyi apakah mimpimu? Andai kau bisa mengisahkan. ***
Bagikan:

0 komentar:

Posting Komentar