10 Agustus 2016

Minum Apa? Air Transparan!


Dulu, istilah rekreasi atau tamasya masih enak didengar, apalagi dibayangkan. Pikiran segera melayang ke tempat-tempat yang indah. Sekarang, istilah itu justru ikut-ikutan membuat pikiran sumbat. Kenapa?

 

Karena kita akan bertanya, rekreasi ke mana? Bingung. Sungguh, rasanya tak ada lagi tempat yang bisa menawarkan suasana indah nan segar. Danau Toba, misalnya, wajahnya begitu-begitu juga. Parapat dan Ajibata sebagai kota penopang objek wisata ajaib itu, malah kelihatan makin kumuh. Tak bernyawa. Tak ada penataan. Kulinernya miskin. Budayanya seolah terkubur. Hal menarik apa lagikah yang bisa disaksikan di situ?

Lalu ke mana? Ke luar kota? Waduh, jalanan sekarang sungguh memuakkan. Di mana-mana macet. Rakyat Indonesia sepertinya sudah makmur dan kaya-kaya, berlomba-lomba beli mobil dan menjadikannya barang koleksi. Sementara volume jalan segitu-gitu juga. Bepergian sama saja artinya membiarkan pikiran jadi lalu-lintas stres.

Ke pusat-pusat pemandian alam di pinggiran kota, juga sudah tidak nyaman. Pergi ke sana rasanya geli, bisa pingsan diserang rasa sungkan apalagi bersama keluarga. Sebab di tempat-tampat itu sudah berdiri tenda-tenda biru sarana mesum, bahkan mulai muncul penginapan-penginapan maksiat.

Atau jalan-jalan ke pusat perbelanjaan modern, rasanya makin sakit. Sebab semua benda-benda yang terpajang di situ tiba-tiba menjelma jadi mahluk penggoda, memanggil-manggil untuk dibeli. Sementara kantong sudah kian sering tak berisi di zaman Jokowi, eh di zaman digital ini. Hehe...! Dan anak-anak sepertinya masuk pada golongan manusia paling peka terhadap panggilan atau rayuan benda-benda itu. Sebab seringkali, mereka lebih mementingkan benda itu ketimbang bapa-ibunya. Menangis dan tak mau pulang.

Jadi, saya sering memutuskan untuk rekreasi di rumah saja. Saya ajak istri dan anak-anak mengutak-atik kata. Tapi bukan mengisi teka-teki silang, meski itu juga penting untuk memperkaya perbendaharaan kata. Mengutak-atik kata yang saya maksud adalah diskusi mengenai bahasa. Untungnya, saya punya sebuah buku berjudul Ensiklopedi Kelirumologi karangan Jaya Suprana.

Di buku itu, misalnya, ada dibahas soal air putih. Dan kita sangat akrab dengan benda ini. Kadang-kadang, benda ini adalah alat menunjukkan kasih sayang. Seorang ibu kepada anak, misalnya, selalu menyarankan agar banyak minuk air putih. Agar sehat. Dokter apalagi, itu senjata yang tak pernah lupa ditodongkan kepada kepada pasien: kau harus banyak minum air putih.

Menurut Jaya Suprana, istilah air putih sangat keliru. Sebab air bukan berwarna putih. Contoh air putih yang benar adalah air susu, air tahu, air kapur, campuran cat tembok, dan lain-lain yang memang berwarna putih. Air justru tidak berwarna, tapi transparan, tembus pandang, bening, atau apapun istilahnya.

Jadi, kalau ada yang bertanya: Ibu minum apa? Maka jawablah: "Minum air transparan." Mendengar itu, istri dan anak-anak saya tertawa.

"Aku minum air tembus pandang saja," kata si sulung menimpali. Bukankah suasana itu lebih menyenangkan ketimbang saling memaki dengan sesama pengemudi di jalanan yang macet?

Yang ini lain lagi, yaitu kata anggaran. Jadi masih berhubungan dengan urusan rekreasi tadi. Tapi ini tidak saya sadur dari buku Jaya Suprana itu. Ini orisinil pengamatan saya. Saya pilih kata ini karena semua orang akrab dengannya. Sebab di rumahtangga ada anggaran, di perusahaan ada anggaran, apalagi di instansi pemerintah, sangat banyak anggaran. Oleh karena itulah, seorang teman pernah berkata bahwa PNS adalah profesi yang lucu. Mereka itu tukang incar. Tukang incar anggaran. Padahal sudah digaji dari anggaran. Hehe...! Itu menurut teman saya.

Akan tetapi, meski istilah anggaran sangat familiar bagi semua kalangan, hampir tak ada orang berpikir bahwa kata dasar anggaran adalah ANGGAR. Dari kata dasar itulah muncul kata 'anggarkan', 'penganggaran', 'dianggarkan', 'menganggarkan', dll.

Jadi anggar bukan cuma berarti cabang olahraga bela diri yang kita kenal itu. Anggar juga bermakna mengira-ngira, mengagak-agak, mengitung-hitung, atau merencanakan penggunaan uang. Dan konsep hitung-hitungan itulah yang disebut dengan anggaran. Jadi, kalau ada yang berpikir bahwa anggaran adalah uang, berhentilah berpikir demikian. Anggaran bukan uang. Anggaran adalah konsep. Konsep atau aturan tentang pengelolaan uang, baik uang masuk (pendapatan) maupun uang keluar (belanja). Menarik, bukan?

Tapi sayangnya, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tidak mencatat pengertian 'anggar' versi bahasa Batak. Padahal, orang Batak paling sering menggunakan kata 'anggar' ini. Dalam bahasa Batak, arti kata 'anggar' kira-kira begini: pamer, arogan, culas, dll. Maka muncul frasa anggar jago, anggar kaya, anggar hepeng.

Jadi kalau pejabat anggar apa? Yang pasti anggar pangkat. Dan lebih sering anggar anggaran. Tapi marilah tidak usah mengurusi anggaran para pejabat itu. Kita lanjut bicara anggaran rumah tangga.

Nah, dari frasa 'anggaran rumah tangga', kita temukan lagi satu istilah yang unik dan bisa dijadikan hiburan, yaitu rumah tangga. Kenapa disebut rumah tangga? Dan darimana lahirnya istilah ini? Kenapa pula orang yang menikah disebut berumahtangga?

Tentang ini, jujur, saya tidak tahu. Benar-benar tidak tahu. Kalau ada diantara pembaca yang tahu, tolong diberitahu saya lewat surel.

Tapi saya coba dulu menduga-duga. Mungkin karena zaman dulu umumnya rumah-rumah di tamadun Melayu adalah rumah panggung atau rumah bertangga. Rumah bertangga itu tentulah didiami sebuah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak. Rumah-rumah orang Batak zaman dulu, yang lebih dikenal sebagai Rumah Bolon atau Rumah Adat itu, juga sebenarnya adalah rumah panggung. Untuk masuk ke dalamnya, harus melalui tangga. Jadi dugaan saya, ketika sepasang muda-mudi menikah, mereka dengan sendirinya pergi ke rumah baru. Ke rumah bertangga yang baru. Mungkin. Saya hanya menduga.

Baiklah, rekreasi bahasa kita sekian dulu. Semoga bermanfaat. ***
Bagikan:

0 komentar:

Posting Komentar