05 Agustus 2016

Solilokui dalam Segelas Kopi

Terkadang, tak perlu ada jeda untuk merenungkan sebuah topik untuk digoreskan. Seperti air mengalir, manusia senantiasa hidup beriringan dengan masalalu, masa kini, dan masadepan, yang menyerupai kilasan harapan atau mimpi-mimpi.


Pada waktu-waktu tertentu, segala warna bernama nostalgia atau cita, berseliweran menentukan dan merebut ruang-ruangnya. Itulah mengapa setiap orang terkadang hanyut dibuai arus-arus melankolis, kadang menjelma pendendam yang buas, dan kadang menjadi pengasih yang hangat atas banyak hal. Betapa luasnya bathin, betapa kompleksnya.

Persimpangan semacam itulah yang samar-samar menyusup ke bathin saya ketika suatu petang bersua dengan beberapa sahabat di sebuah kedai kopi legendaris di pusat kota. Sebagian para sahabat itu saya saksikan terlalu cepat tua dan sebagian bertahan dalam kemudaan yang mengagumkan. Wajah kota juga tergambar dalam penghayatan semacam itu: ada banyak hal berubah, tapi kekhasan yang terekam sejak lama tidak mungkin terhapus begitu mudah.

Barangkali, itulah mengapa rasa rindu tak gampang dirumuskan. Ketika para perantau terpaut jauh dari tamadun kelahiran, kenangan terasa sangat mahal,  jauh dan sulit dijangkau karena geliatnya serupa warna-warni. Tapi ketika perjumpaan berlangsung, semua buyar dan hal-hal yang berlalu terasa menjadi seperti baru kemarin. Waktu memang nisbi. Sama nisbinya dengan kenangan.

Lalu, dalam percakapan-percakapan, tak ada yang bisa mengelak dari garis waktu itu. Kebanggaan, kegagalan, kemenangan, kemarahan, keangkuhan, bahkan ketidaksadaran, bergerak tanpa alur. Menguar campur baur. Larut. Seperti seruputan demi seruputan kopi. Dan saya terhenyak digulung keriuhan itu: meski gelas demi gelas kopi tandas, tapi percakapan-percakapan sesungguhnya tak pernah habis, melainkan terbang mengawang, mengabadi, dan kelak kembali lagi sebagai ingatan pada momen-momen yang memungkinkannya terpercik.

Saya percaya, tak banyak orang yang bisa menikmati keindahan dan kemurungan sekaligus. Dan itulah yang saya coba maknai tentang kota ini, yang penuh kisah-kisah historis, meski barangkali tak bisa sepenuhnya saya kenali secara utuh. Bahwa peradaban sebuah kota tak bisa ditandai hanya dari perubahan fisiknya dari masa ke masa, tapi lebih penting adalah rumusan orang-orang tentangnya baik oleh penduduk setempat maupun oleh orang-orang yang menyinggahinya.

Begitulah kesadaran saya merayap perlahan, adakah sesuatu yang benar-benar berubah tentang kota ini? Orang-orang yang saya kenal belasan tahun silam, jalanan sempit, kedai-kedai, wacana-wacana, kultur-kultur lama, rasanya masih terhidang apa adanya. Tapi begitulah kebiasaan saya, untuk memperoleh kesan mendalam tentang sesuatu, saya kadang-kadang mengubah diri jadi pendatang, atau berpura-pura sebagai orang asing. Dengan cara seperti itulah saya bisa menyaksikan sekitar sebagai ruang-ruang berbeda, yang menyimpan keindahan, kemurungan, juga bayangan-bayangannya sepanjang masa.

Di sanalah terangkai perubahan-perubahan zaman, dinamika politik, jatuh-bangunnya sebuah kekuasaan, karakter generasi demi generasi, atau mimpi-mimpi masyarakatnya. Dan saya tidak tahu apakah harus meminta maaf atas pandangan ini: di masa yang masih jauh, Kota Pematangsiantar agaknya akan terus terjerumus ke tujuan-tujuan yang ahistoris dan akultural. Sebab, seluruh hal yang saya resapi dari segelas kopi, ada komitmen-komitmen yang jauh terlupakan dan tidak tersentuh, yaitu gagasan-gagasan kesenian dan kebudayaan, moralitas penataan kota, simpul-simpul sosial, segalanya terasa seperti kerumunan tawon.

Dan tiba-tiba, saya dirasuki perasaan sentimentil tentang sumber penghidupan di kota ini, yang sangat terbatas: saudagar, aparatur sipil negara, akademisi, militer, polisi, wartawan, aktivis, politisi, buruh, dan tentu saja penjahat (penyedia layanan judi, bandar narkoba, prostitusi, dll).

Dan imajinasi saya terpental pada mimpi-mimpi romantis atas kota-kota yang lebih beradab, yang menemukan keseimbangannya lewat eksistensi para pemikir, budayawan, sastrawan, pelukis, teater, musik, atau kelompok-kelompok kreatif bernafaskan siraman-siraman intelektual dan kontemplasi asali.

Dan sebagaimana sebuah solilokui, saya bicara sendiri meskipun para sahabat mengoceh tentang pilkada Siantar yang redup dihisap takdirnya. Sesungguhnya, saya bayangkan ada novelis, penyair, pencipta lagu, atau sutradara, sehingga lahir aktivitas-aktivitas alternatif di kota Pematangsiantar. Begitulah, tak perlu ada jeda merenungkan sebuah tema untuk ditulis. (Panda MT Siallagan)***
Bagikan:

0 komentar:

Posting Komentar