Ia selalu mengenakan peci, sehingga kadang-kadang, saya penasaran: apakah kepalanya botak atau penuh dengan rambut lebat. Dan ia juga selalu memakai kacamata, entah plus atau minus, tapi sangat khas: bentuknya bulat, tangkai agak tebal, dan bertengger serasi di atas hidungnya yang mancung. Lalu, di kedua pipinya, ada lekukan yang agak dalam, pertanda ia sudah tua.
Seperti itulah kesan saya terhadap foto-foto Ki Hajar Dewantara yang diperkenalkan pada saya sejak kanak-kanak, baik melalui buku-buku, atau yang tertempel pada potongan kisah-kisahnya di berbagai surat kabar atau majalah. Dan barangkali, generasi kini dan yang akan datang, masih akan tetap menyaksikan foto yang sama.
Ketika saya dewasa, setiap kali Hari Pendidikan Nasional diperingati, selalu banyak artikel atau atau bahasan mengenai Ki Hajar Dewantara, dan tak jarang fotonya itu juga muncul. Saya gemar mengamatinya. Dan setelah zaman internet merebak, saya usil mencari-cari fotonya di mesin pencarian otomatis, dan saya tersenyum menemukan bahwa: Ki Hajar Dewantara itu sedikit botak pada kepala bagian depan, di atas keningnya.
Tetapi secara keseluruhan, saya kagum. Saya terpesona pada tatapan matanya yang tajam, kuat, dan memiliki sorot yang tegas. Saya temukan api semangat menyala dari situ. Dan saya bayangkan mata itu lebih berapi ketika dia bicara atau berpidato menyampaikan propaganda. Dari lekukan pada wajahnya, saya tangkap sebuah jiwa yang keras dan berkarakter, penuh hasrat, penuh cita-cita. Lalu saya simpulkan secara pribadi: ia pantas jadi bapak bangsa, bapak pendidik. Matanya bersahaja, menyimpan kewibawaan. Kewibawaan?
Ya, kewibawaan. Sejarah meneguhkan kepada kita bahwa tokoh bangsa sejak masa kolonial hingga era sekarang, adalah orang-orang yang penuh wibawa. Saya pikir, kewibawaan itulah kini yang rasanya tak lagi dimiliki bangsa ini lewat tokoh-tokohnya. Terlebih guru atau pendidik. Pada sebagian orang, wibawa mungkin bawaan sejak lahir, tapi bagi kebanyakan, wibawa lahir dari proses panjang perwujudan integritas, termasuk kadar moralnya.
Maka kita heran, jangankan murid, orangtua pun sangat hormat pada guru, pada zaman dulu. Tapi kini, guru hampir-hampir tak lagi punya wibawa bahkan dianggap tak penting oleh masyarakat. Apakah karena guru tidak lagi memiliki ilmu dan moral mumpuni, ataukah memang masyarakat sudah terlalu cerdas sehingga tidak lagi perlu menghargai guru? Entahlah.
Pada konteks inilah barangkali Ki Hajar Dewantara perlu 'dihayati' ulang sebagai panutan. Saya pribadi sangat tertarik membaca kisahnya, yang pada berberapa sumber disebut sebagai wartawan. Dan tentulah ia merupakan wartawan terbaik yang pernah dimiliki Indonesia pada zamannya. Ia handal menulis, dan gagasan-gagasannya hinggal kini masih abadi.
Semboyan Tut Wuri Handayani, yang terpatri dalam benak kita, adalah semboyan miliknya. Secara lengkap, semboyan itu sesungguhnya berbunyi: Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa, dan Tut Wuri Handayani. (di depan guru memberi teladan atau contoh tindakan yang baik, di tengah atau di antara murid, menciptakan prakarsa dan ide, dari belakang memberikan dorongan dan arahan).
Dan kita tahu, semboyan itu akan ideal selama-lamanya. Selain sebagai wartawan, Ki Hajar Dewantara lebih dikenal sebagai peletak dasar pendidikan Indonesia. Ia juga politisi ulung yang getol menggugah kesadaran berbangsa ketika itu, dan menjadi motor gerakan kebangkitan organisasi nasionalisme awal yang kita kenal sebagai Boedi Oetomo. Ketika Indische Partij berdiri, ia ikut di dalamnya.
Pria bangsawan yang lahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat ini pernah merasakan pengasingan di Belanda karena vokal memperjuangankan kemerdekaan pendidikan bagi rakyat Indonesia. Ketika kembali ke Indonesia, ia mendirikan dan membangun sekolah untuk semua kalangan, yaitu Taman Siswa. Meski ia bangsawan, ia peduli pada pendidikan dan masa depan seluruh kaum. Maka tak salah Soekarno mengangkatnya sebagai Menteri Pengajaran Indonesia pertama. Dan atas jasa-jasanya, ia diangkat jadi Pahlawan Nasional dan dinyatakan sebagai Bapak Pendidikan Nasional Indonesia, dan hari lahirnya dijadikan Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei.
Baiklah, saya tak bermaksud mengulang-ulang biografi bapa kita ini, tapi entah kenapa, saya senang mengamati fotonya, yang selalu mengenakan peci, memakai kacamata bulat, entah plus atau minus, tapi sangat khas: bentuknya bulat, tangkai agak tebal, dan bertengger serasi di atas hidungnya yang mancung. Peci dan kacamata yang bagi saya seperti sebuah kisah. Sungguh berwibawa. ***
Seperti itulah kesan saya terhadap foto-foto Ki Hajar Dewantara yang diperkenalkan pada saya sejak kanak-kanak, baik melalui buku-buku, atau yang tertempel pada potongan kisah-kisahnya di berbagai surat kabar atau majalah. Dan barangkali, generasi kini dan yang akan datang, masih akan tetap menyaksikan foto yang sama.
Ketika saya dewasa, setiap kali Hari Pendidikan Nasional diperingati, selalu banyak artikel atau atau bahasan mengenai Ki Hajar Dewantara, dan tak jarang fotonya itu juga muncul. Saya gemar mengamatinya. Dan setelah zaman internet merebak, saya usil mencari-cari fotonya di mesin pencarian otomatis, dan saya tersenyum menemukan bahwa: Ki Hajar Dewantara itu sedikit botak pada kepala bagian depan, di atas keningnya.
Tetapi secara keseluruhan, saya kagum. Saya terpesona pada tatapan matanya yang tajam, kuat, dan memiliki sorot yang tegas. Saya temukan api semangat menyala dari situ. Dan saya bayangkan mata itu lebih berapi ketika dia bicara atau berpidato menyampaikan propaganda. Dari lekukan pada wajahnya, saya tangkap sebuah jiwa yang keras dan berkarakter, penuh hasrat, penuh cita-cita. Lalu saya simpulkan secara pribadi: ia pantas jadi bapak bangsa, bapak pendidik. Matanya bersahaja, menyimpan kewibawaan. Kewibawaan?
Ya, kewibawaan. Sejarah meneguhkan kepada kita bahwa tokoh bangsa sejak masa kolonial hingga era sekarang, adalah orang-orang yang penuh wibawa. Saya pikir, kewibawaan itulah kini yang rasanya tak lagi dimiliki bangsa ini lewat tokoh-tokohnya. Terlebih guru atau pendidik. Pada sebagian orang, wibawa mungkin bawaan sejak lahir, tapi bagi kebanyakan, wibawa lahir dari proses panjang perwujudan integritas, termasuk kadar moralnya.
Maka kita heran, jangankan murid, orangtua pun sangat hormat pada guru, pada zaman dulu. Tapi kini, guru hampir-hampir tak lagi punya wibawa bahkan dianggap tak penting oleh masyarakat. Apakah karena guru tidak lagi memiliki ilmu dan moral mumpuni, ataukah memang masyarakat sudah terlalu cerdas sehingga tidak lagi perlu menghargai guru? Entahlah.
Pada konteks inilah barangkali Ki Hajar Dewantara perlu 'dihayati' ulang sebagai panutan. Saya pribadi sangat tertarik membaca kisahnya, yang pada berberapa sumber disebut sebagai wartawan. Dan tentulah ia merupakan wartawan terbaik yang pernah dimiliki Indonesia pada zamannya. Ia handal menulis, dan gagasan-gagasannya hinggal kini masih abadi.
Semboyan Tut Wuri Handayani, yang terpatri dalam benak kita, adalah semboyan miliknya. Secara lengkap, semboyan itu sesungguhnya berbunyi: Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa, dan Tut Wuri Handayani. (di depan guru memberi teladan atau contoh tindakan yang baik, di tengah atau di antara murid, menciptakan prakarsa dan ide, dari belakang memberikan dorongan dan arahan).
Dan kita tahu, semboyan itu akan ideal selama-lamanya. Selain sebagai wartawan, Ki Hajar Dewantara lebih dikenal sebagai peletak dasar pendidikan Indonesia. Ia juga politisi ulung yang getol menggugah kesadaran berbangsa ketika itu, dan menjadi motor gerakan kebangkitan organisasi nasionalisme awal yang kita kenal sebagai Boedi Oetomo. Ketika Indische Partij berdiri, ia ikut di dalamnya.
Pria bangsawan yang lahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat ini pernah merasakan pengasingan di Belanda karena vokal memperjuangankan kemerdekaan pendidikan bagi rakyat Indonesia. Ketika kembali ke Indonesia, ia mendirikan dan membangun sekolah untuk semua kalangan, yaitu Taman Siswa. Meski ia bangsawan, ia peduli pada pendidikan dan masa depan seluruh kaum. Maka tak salah Soekarno mengangkatnya sebagai Menteri Pengajaran Indonesia pertama. Dan atas jasa-jasanya, ia diangkat jadi Pahlawan Nasional dan dinyatakan sebagai Bapak Pendidikan Nasional Indonesia, dan hari lahirnya dijadikan Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei.
Baiklah, saya tak bermaksud mengulang-ulang biografi bapa kita ini, tapi entah kenapa, saya senang mengamati fotonya, yang selalu mengenakan peci, memakai kacamata bulat, entah plus atau minus, tapi sangat khas: bentuknya bulat, tangkai agak tebal, dan bertengger serasi di atas hidungnya yang mancung. Peci dan kacamata yang bagi saya seperti sebuah kisah. Sungguh berwibawa. ***
0 komentar:
Posting Komentar