03 Agustus 2016

Istri Selingkuh, Dipolisikan

Ini bukan berita. Tapi judul berita. Soal bahasa. Pembaca media yang rajin, pasti sangat akrab dengan istilah ini: dipolisikan. Bukan hanya di koran abujahal alias koran kuning, di koran-koran putih mainstream pun, istilah ini kerap muncul. Bukan hanya di media cetak, tapi juga di media-media online.

Saya tidak tahu bagaimana sejarah dan proses terbentuknya istilah ini. Masyarakat begitu saja menerimanya dan memahami maknanya dengan baik. Dan tampaknya tidak ada upaya dari pihak-pihak berwenang meluruskan atau memperbaikinya. Memperbaiki? Apakah istilah itu memang salah?

Justru itu, kita tidak tahu apakah istilah itu salah atau tidak. Tapi menurut saya, itu tidak benar. Kalaupun benar atau dibenarkan, maka masa depan Bahasa Indonesia akan kacau.

Mari kita lihat sejenak. 'dipolisikan' berasal dari kata dasar 'polisi'. Polisi adalah sebuah profesi. Profesi penegak hukum. Maka, ketika seseorang dilaporkan ke polisi atas dugaan pelanggaran hukum, saat itulah dia disebut 'dipolisikan'. Dalam hal judul di atas, muncul pertanyaan, siapa yang memolisikan? Mungkin suami. Mungkin juga keluarga.

Tapi yang jelas, jika ada pihak yang dipolisikan, maka ada pihak yang memolisikan. Hmm...! Istilah memolisikan atau mempolisikan inipun masih butuh ruang diskusi. Mana yang benar? Kasus-kasus bahasa seperti ini juga tak ada penjelasan yang memadai. Dulu, yang kita tahu adalah mempengaruhi, sekarang berubah jadi 'memengaruhi'.

Kembali ke istilah 'dipolisikan'. Masyarakat begitu saja menerima dan memahami bahwa 'dipolisikan' berarti 'dilaporkan ke polisi'. Padahal, jika dihayati lebih seksama, 'dipolisikan' bisa juga bermakna 'dibuat jadi polisi' atau 'didaftarkan jadi anggota polisi'. Sama seperti 'dikaryawankan', ia berarti 'diangkat jadi karyawan'.

Sejalan dengan istilah ' dipolisikan', kita juga kerap menemukan istilah 'dikorankan'. Katakanlah seorang narasumber tak bersedia namanya ditulis di koran, maka sang editor surat kabar itu menulis begini: menurut sumber yang namanya tidak mau dikorankan....! Publik pun maklum juga akan hal ini. Tak ada protes. Tak ada penolakan.

Suatu ketika, seorang ayah mendapat tugas dari instansi tempatnya bekerja, yaitu membuat surat undangan. Sang ayah sudah membuat konsep surat itu dengan tulis tangan. Tapi ia tidak bisa mengoperasikan komputer, maka disuruhnya anaknya,   katanya, "Tongat, komputerkan dulu surat undangan ini."

Si anak tertawa, merasa lucu dengan istilah yang terlontar dari mulut sang ayah. Loh? Kenapa istilah 'komputerkan' terdengar lucu sementara 'dipolisikan' tidak? Jawabnya ada pada pribahasa: bisa karena biasa. Dan kebiasaan itulah yang lama-lama menjadi kebenaran.

Tapi kelihatannya, kekacauan itu masih akan terus berlangsung sepanjang media tidak menyadari bahwa ia juga sebenarnya ikut bertanggungjawab menjaga dan melestarikan bahasa. Tapi sebaliknya, istilah-istilah kacau itu muncul dan diperkenalkan secara masif justru oleh media. Faktor teknis redaksional tentu saja menjadi salah satu penyebabnya. Dari aspek ruang, istilah 'dipolisikan' memang jauh lebih praktis ketimbang 'dilaporkan ke polisi'.

Akan tetapi, alasan itu tentulah mengada-ada. Mengapa, misalnya, tidak sekalian saja memunculkan istilah 'dijaksakan', 'didewankan', atau 'diwartawankan'? Sebab banyak juga pejabat yang dilaporkan ke jaksa, banyak juga eksekutif yang dilaporkan ke dewan, dan banyak juga warga melapor ke wartawan, seolah-olah wartawan itu bisa menyesaikan beragam persoalan.

Dan uniknya, si wartawan pun acapkali memberikan jaminan kepada kliennya. Katanya: "Tenang aja bos, kalau lurahnya macam-macam, nanti kita korankan." Jadi ada kronologinya: diwartawankan dulu, baru dikorankan. Hehe...

Dalam konteks inilah saya khawatir, akan seperti apakah bahasa Indonesia kita di masa mendatang? Saya kira, inilah tugas-tugas yang sesungguhnya harus digeluti Balai Bahasa.  Atau jangan-jangan, Balai Bahasa juga takut mengkritisi bahasa atau istilah-istilah media yang salah kaprah, takut dimediakan. Hehe...! ***
Bagikan:

0 komentar:

Posting Komentar