26 Agustus 2016

Lalu, Baju Setengah Jadi Itu Mereka Sebut Yukensi


Sehelai tikar anyaman pandan digelar di bawah pohon rambutan. Sekelompok perempuan merumpi atau markombur di atasnya dengan beragam polah: ada yang tidur-tiduran, duduk berselonjor kaki, atau telentang menghadap langit. Sejuk dan teduh. Angin desa yang berhembus dari bebukitan, terasa lembut melengkapkan segalanya.

Ilustrasi.
Itulah salah satu model gosip kaum perempuan desa yang saya kenang di masa kanak yang murni. Dan biasanya, itu terjadi pada hari Minggu atau hari libur lainnya, sebab pada hari biasa mereka sibuk menguras peluh, mengurus ladang. Hal-hal yang meluncur sebagai topik diskusi biasanya  berpusar pada harga sembako, biaya produksi, harga jual komoditi, atau sekadar berbincang tentang anak-anak yang merantau dan menuntut ilmu di kota.

Kini pemandangan semacam itu sudah sulit ditemukan: televisi sudah masuk desa, kaum ibu mulai paham infotainment bahkan mulai candu pada sinetron. Perlahan-lahan, mereka mulai jarang berkumpul. Dan pohon-pohon di pekarangan rumah mulai terlupa. Sejak itu, satu sama lain mulai merasa terasing dan semakin mudah saling curiga.

Gaya hidup kota, denyut modernitas atau laku postmodern, mulai merangsek sebagaimana dihasratkan kapitalisme. Dan suami-suami yang tadinya lekat pada sahaja warung kopi, mulai tergiur merambah hutan, menjual batang batang kayu, atau manghabisi liukan rotan di hutan-hutan yang hijau dan basah. Bertahun-tahun kemudian, kita terkejut merasakan cuaca dan iklim yang tadinya sejuk, kini mendera kita dengan hawa panas.

Produsen kulkas merambah dan terus memperluas pasar, juga kipas angin. Mesin pendingin udara atau AC, ikut ambil bagian bersamaan dengan datangnya kabel dan tiang listrik. Kaum ibu desa, mau tidak mau, harus belajar lagi mengenakan pakaian ‘setengah jadi’ akibat cuaca panas. ‘Pakaian setengah jadi’ itu mereka sebut yukensi. Hmmm....

Begitulah pembangunan, industrialisasi dan modernisasi menunjukkan wajahnya. Dan kini, kaum intelektual kota ikut pula cari makan atau berbisnis dengan rekayasa isu global warming. Tentu, perempuan ikut jadi isu mahal, bias jender terus digugat, feminisme terus diproduksi sebagai wacana. Maka jangan heran, lipstik masuk desa kini berperan besar melenyapkan tradisi makan sirih di kalangan perempuan desa. Betapa kacaunya!

Imajinasi saya begitu saja bergerak mencomot pohon dan perempuan. Kita telah begitu banyak belajar dari kedua hal ini. Seseorang yang kehilangan jati diri, baik dari tujuan, norma dan adat istiadat, kerap diistilahkan sebagai kehilangan akar. Seseorang yang jatuh atau sengaja dijatuhkan dengan pelbagai trik fitnah, kerap membentengi diri dengan pepatah, “semakin tinggi pohon, semakin kencang angin berhembus." Lalu, sebuah petuah akan selalu lekat di ingatan, “jika kau ingin ditinggikan, lentur dan lembutlah seperti pucuk pohon, jangan serupa batang yang keras dan kaku.”

Kita tahu, setiap ibu yang pernah menganut petuah itu, akan menanamkan juga nilai-nilai itu pada anak-anaknya, pada generasi baru yang diharap bisa menegakkan marwah keluarga. Seberapa panjangkah pusaran hidup ini? Pada akhirnya, tentang kematian atau kebenaran, kita diingatkan bahwa surga ada di telapak kaki ibu. Sampai di sini, kita patut merenung, jangan-jangan seluruh persoalan hidup sesungguhnya sudah selesai ketika kita berhasil mencintai pohon dan perempuan. Bah!

Demikian memang, pohon menawarkan kepada kita kelembutan yang tiada habis, tapi ia juga menyimpan bahaya. Negara hampir tak pernah tenang karena pohon. Kita tentu ingat bagaimana ribuan petani terusir dan terampas kehidupannya karena pohon, dituding melakukan illegal loging atau merambah hutan. Mereka tercerai berai, lalu meneruskan hidup yang selanjutnya tak pernah kita saksikan lagi. Setelah mereka ditangkap, dipenjara, lalu bebas lagi, kita tak pernah bertanya, ke mana mereka pergi setelah itu? Kita hanya tahu, meski mungkin tak pernah menyadari, bagi mereka hidup terus berjalan dan bagaimana mereka menyiasati derita, negara tak pernah peduli.

Para perempuan yang suaminya ditangkap itu, betapa ngilu: mereka harus tampil sebagai pahlawan membela darah dan marwah keluarga. Dan, keteguhan dan kehancuran berada di tangan para perempuan ini. Dan politik jeli melihat peluang dari sisi ini. Iblis juga sangat cermat mempelajari rumus ini. Maka pelacuran kian menggila dengan bermacam kedok, penjahat-penjahat berdasi kerap memperalat perempuan memuluskan ambisi atau menghancurkan lawan. Dan kita hampir terkecoh, perempuan-perempuan yang diidentifikasi sebagai pahlawan seringkali hanya bentuk paling lembut dari kejahatan kapitalisme.

Dan ajaibnya, perempuan cantik atau artis yang sekilas bicara tentang lingkungan, selalu lebih terkenal ketimbang kaum agamawan dan guru-guru yang menyerahkan hidupnya menjaga desa dan lingkungan terpencil. Begitulah, kota-kota kian gersang. Dan kenyataan itu merongrong keteguhan dan kepekaan kita sebagai manusia, sebab kita juga mulai ikut menghabisi pohon-pohon demi hedonisme yang ditularkan kapitalisme. Tapi kita tahu, Negara tak pernah menjadi gemilang hanya karena kesedihan dan kesepian sekelompok jiwa yang terbatas. (Panda MT Siallagan)***

Bagikan:

0 komentar:

Posting Komentar