14 Agustus 2016

Arti dan Makna Solup dalam Kehidupan Orang Batak

Oleh: Panda MT Siallagan

Desa selalu menjadi ingatan yang harum bagi orang-orang yang pernah memilikinya. Dan bagi generasi yang tumbuh dalam peradaban kota, desa menjadi imaji yang tenang tentang sawah, gunung, sungai, ladang atau lembah-lembah.

Entah bagaimana, desa masih kerap dicatat sebagai muasal sebagian besar generasi baru, betatapun modernisme telah begitu jauh menghasut kehidupannya. Acapkali, romantisme dunia pendidikan kita juga dijerumuskan pada kisah-kisah lesu: berlibur ke kampung nenek. Tapi tahu apa anak-anak itu? Keindahan dan kedamaian barangkali memang tak terpisahkan dari senyawa alam.

Begitulah di masa kanak yang jauh, di sebuah desa yang penuh lanskap pegunungan, hamparan sawah, saya mengenang peristiwa-peristiwa mengharukan yang membuat jiwa terkejut: betapa banyak hal-hal telah hilang. Di desa kami, setiap kali ada hajatan pesta, baik pesta adat pernikahan maupun upacara adat penguburan orang meninggal, lazimnya anak-anak ikut berbondong-bondong ke lokasi acara.

Untuk apa? Makan. Maka istilah mapes (makan pesta) itu sudah saya kenal sejak kanak-kanak. Mengapa mapes? Sebab itulah momen terbaik untuk bisa makan daging (makan enak, pen) secara lebih leluasa bagi seluruh anggota keluarga di seantero desa. Dan betapa hangatnya, mapes ala desa itu penuh kebersamaan. Seluruh tamu dan undangan tidak ada yang terbiasa makan sendiri. Bahkan makan sepiring berdua pun tidak. Harus makan sepiring berlima atau berenam atau sedikitnya berempat. Piring yang dimaksud adalah talam besar pipih berbentuk lingkaran kira-kira berdiameter 50 cm. Di atas talam itulah nasi disuguhkan. Juga daging. Juga sayur yang terbuat dari jantung pisang yang dicincang-cincang, dicampur dengan daging dan dimasak sedemikian rupa. Enak. Sungguh nikmat. Berbahagialah orang-orang yang pernah menikmatinya.

Dan, keunikan yang tak mungkin terlupa adalah peralatan minum, yaitu ruas-ruas bambu yang dipotong dan dibentuk menyerupai gelas atau cangkir yang kita kenal pada zaman ini. Saya menamainya cangkir-cangkir bambu. Atau gelas-gelas bambu. Yang terakhir ini, pastilah menjadi istilah konyol yang sulit diterima. Dan kelak, seseorang memberitahu bahwa cangkir-cangkir bambu dinamai solup. Solup untuk minum. Semoga seseorang itu tidak salah.

Dan suatu pagi yang berhujan,  kukenangkan seorang ibu datang ke rumah untuk meminjam beras dari ibu. Masih lazim ketika itu, para penduduk desa saling meminjam beras. Sebab, pabrik penggilingan padi sangat jauh. Jadi keluarga yang kehabisan beras untuk sementara bisa meminjam dulu sebelum padinya digiling. Takaran beras itu juga terbuat dari bambu berdiameter besar. Volumenya bisa sekilo atau dua kilogram beras. Alat takar itu juga disebut solup.

Demikianlah, sejak dahulu kala, bambu memang tumbuhan penting bagi orang Batak, antara lain untuk takaran padi atau beras. Pohon bambu dipotong-potong menurut ruasnya. Satu ruas bambu besar dapat menampung sekitar 2 liter beras. Lalu alat sederhana itu dijadikan alat untuk takaran beras yang akan dimasak. Alat itu diberi nama solup atau alat takar. Dari kata solup, muncul kata kerja manolupi, artinya mengukur mengukur banyaknya beras berdasarkan solup.

Konon, solup awalnya hanya alat rumah tangga, tapi kemudian menjadi alat sosial dan alat ekonomi yang digunakan di onan (pasar). Pertanyaannya, apakah ukuran dan volume solup sama? Jawabannya, tidak. Maka, standarisasi transaksi pembelian yang digunakan adalah solup penjual, bukan solup pembeli. Dari sinilah lahir pepatah orang Batak: Sidapot solup do na ro. Artinya, pendatang semestinya menggunakan takaran, ukuran, nilai atau norma di tempat yang didatanginya.

Kadang-kadang saya rindu, kemanakah lenyapnya solup-solup itu? Kemanakah hilangnya kreativitas yang lembut dan sederhana itu? Kemana perginya talam-talam raksasa yang penuh kebersamaan itu?

Dan, tentang pinjam meminjam beras itu tentu berpusar pada situasi nyaman. Saat paceklik, solup hanya berfungsi menakar beras jagung. Bahkan ada kalanya solup tak terlihat dalam aktivitas dan perjalanan hidup sebuah keluarga, sebab ubi menjadi pengganti nasi. Tentang ini, kadang-kadang muncul hasrat yang menggoda: melahap ubi rebus dengan bumbu cabe giling. ***

NB: Artikel ini sekaligus menjadi penjelasan atas pertanyaan tentang makna nama blog ini. Sedangkan literal adalah bentuk adjektiva dari literasi. 
Bagikan:

0 komentar:

Posting Komentar