27 Agustus 2016

Lingkaran Luka


Cerpen Panda MT Siallagan

Rumah mungil berdinding gedek itu dikelilingi beberapa jenis pohon seperti kemiri, jambu air, rambutan, kakao, dan rumpun-rumpun pisang. Agak jauh ke belakang, membentang lahan luas yang sebagian dikelola dan sebagian lagi terbiar. Pada lahan yang dikelola itu, tumbuh beragam tanaman seperti jagung, cabe, ubi dan kacang-kacangan. Tanaman-tanaman itu tampak subur dan berwarna hijau, seperti berkisah tentang kecekatan pemiliknya bercocok tanam. Dan pada lahan yang terbiar itu, melebat beragam rumput dan semak-semak. Sesungguhnyalah ada sejarah luka yang meruap dari rumah, pohon, rumput dan semak–semak itu.

Ilustrasi.
“Masih kaukenangkah kampung itu?” Suara itu menggelegar, menyusupkan segala getar ke dalam dada saya.

”Masih. Saya masih mengenang segalanya. Tapi, tolong jangan kepung saya dengan luka,” kata saya sambil menutup mata. Saya tidak sanggup menatap sosok asing bermata tajam dan bersuara berat itu. Saya juga tidak paham mengapa ia bisa berada di dalam kamar saya pada malam ini, pada saat hujan menderas. Berkali-kali saya mencubit lengan untuk memastikan bahwa saya tidak sedang bermimpi. Dan benar, saya tidak sedang bermimpi. Saya tadi terbangun oleh petir yang menggetar, seolah-olah sebuah martil raksasa telah dihantukkan ke dinding rumah saya. Dan pada saat terbangun itulah saya menemukan sosok itu sudah berada di kamar saya, duduk di salah satu sudut.

”Tapi, siapakah Anda, Tuan?”

”Saya adalah ingatanmu. Maknailah!”

Bedebah! Keangkuhan sosok asing itu membuat saya sangat marah. Tapi, sekejap kemudian, amarah saya reda karena rumah mungil dan kampung itu muncul lagi dalam penglihatan saya. Atapnya penuh dengan daun-daun gugur, seperti telah terjadi angin topan. Di sisi kiri rumah itu, terdapat sebuah kandang yang dirancang dari batang-batang bambu dan di dalamnya hidup banyak ayam. Pada saat saya saksikan, ayam-ayam itu sedang berhamburan dari kandangnya. Jantan-jantannya berkokok, induk-induknya bersegera mencakar-cakar tanah, mencari makanan, dan anak mereka terciap-ciap. Lalu, seorang anak kecil tiba-tiba keluar dari rumah mungil itu, menenteng jagung pipil dan nasi basi, melemparkannya ke halaman. Maka berebutlah ayam-ayam itu menyantap sarapan pagi yang disuguhkan tuannya kepada mereka. Saya kaget. Apakah saat ini hari memang sudah pagi? Dan kekagetan itu makin menggila ketika saya mengamati anak kecil yang memberi makan ayam-ayam itu. Ia mirip seperti saya ketika kanak-kanak.

”Masih lekatkah peristiwa itu dalam ingatanmu?” Sosok itu bertanya lagi, dengan suara yang lebih menggelegar, memporak-porandakan kesadaran saya. Saya mulai merasa takut.

”Masih. Saya masih mengingatnya, Tuan. Tapi, tolong jangan kepung saya dengan luka,” kata saya sambil berusaha melirik jam dinding: pukul 03.13 WIB. Astaga, hari ternyata masih sangat dini. Dari kejauhan, lamat-lamat terdengar suara katak bersahut-sahutan dan saling memburu dengan gemuruh hujan yang menetes-netes dari genteng. Angin menderu, dan kudengar daun-daun pepohonan saling bergesek, seperti mempersembahkan tarian gaib pada malam. Saya makin tidak paham dengan apa yang terjadi. Saya cubit lagi lengan saya, sakit. Saya benar-benar tidak sedang bermimpi. Tapi, siapa dan untuk apa sosok keparat ini hadir di kamar saya? Apakah ia seorang perampok yang ingin menghabisi nyawa saya tapi terlebih dahulu mempermainkan saya dengan tindakan-tindakan aneh? Tapi, apa yang ia inginkan di rumah saya yang jorok dan melompong ini? Tak ada apa-apa di rumah ini selain kesunyian. Dan, apapun resikonya, saya putuskan menghajarnya. Tapi, ketika saya hendak bangkit dan mendaratkan tendangan di perutnya, ia berkata, “Saya bukan maling”.

Saya tersentak. Saya gemetar. Tubuh dan seluruh tulang-tulang saya terasa panas. Saya menggigil.

”Tuan, tolong jangan kepung saya dengan luka,” suara saya bergetar.

”Saya tidak melukai Anda. Tapi saya adalah luka Anda sendiri. Hayatilah!”

Maka penglihatan saya akan rumah mungil dan kampung itu melintas lagi. Sekarang, seorang wanita separuh baya keluar dari pintu belakang, membawa sapu lidi. Wanita itu lalu menyapu halaman, mengumpulkan daun-daun gugur. Dan ketika wanita itu membakar sampah dan daun-daun gugur pada sore harinya, saya melihat bukan asap yang membubung, tapi semacam kesedihan. Saya mencium bukan uap asap yang meruap, tapi semacam kenangan. Lalu, serpih-serpih kehilangan menguap ke angkasa dan mencoreti langit dengan segala yang habis, terbakar oleh waktu.

”Masih kau ingatkah wanita itu?” sosok asing itu bertanya lagi.

”Tidak.”

”Masih kauingatkah wanita itu?” suara sosok asing itu mengerang marah, seperti tahu bahwa saya sedang berbohong. Saya gemetar, semakin ciut didera rasa takut.

”Ya,” kata saya akhirnya, “Dia bekas ibu saya.” Pada saat itu, saya tiba-tiba merasa sangat sakit, seolah-olah telah ditikamkan ratusan pisau ke sekujur tubuh saya. Dan, rasa sakit itu semakin menggila ketika sosok asing itu mencambuki tubuh saya.

”Tuan, tolong jangan kepung saya dengan luka.”

”Saya tidak melukaimu. Saya hanya ingin menyelamatkan hidupmu dari kutukan.”

Lalu seorang lelaki kurus berkulit legam keluar dari rumah mungil itu. Ia menghampiri istrinya dan berkata, “Tak guna kau bersihkan halaman ini, Istriku. Biarkanlah kesedihan dan kenangan itu berserakan. Tak guna kau membakarnya, sebab masa lalu yang membubung itu akan membuat nafasmu semakin sesak.”

Pada saat itu, lelaki kecil yang memberi makan ayam-ayam itu datang menghampiri suami-istri itu. “Ayah, Ibu, ayam-ayam itu sudah kenyang disuapi tanganku. Mereka mengucap syukur dan berdoa untuk kesehatan Ayah dan Ibu.”

”Kata-katamu beracun benar, Anakku. Kelak, bukan hanya doa binatang yang kau sampaikan menghina orang tuamu. Tapi kau mungkin akan membunuh ayahmu dengan kebuasan binatang.”

”Tidak. Aku tidak mungkin membunuh ayah…”

Penglihatan saya tiba-tiba dibuyarkan oleh sosok asing itu. “Sekarang, kau bahkan tak merasa bersalah setelah bertahun-tahun membunuh ayahmu. Kau juga membiarkan ibumu menderita dalam kesepiannya,” katanya.

”Tuan, tolong jangan kepung saya dengan luka.”

***

HUBUNGAN saya dengan ayah berlangsung seperti sebuah tragedi kebohongan. Saya, anak yang selalu dididik menjadi orang soleh, selalu menangkap kejahatan dan kebusukan justru hadir dalam setiap prilaku ayah, orang yang selalu memberi saya berbagai nasehat. Sejak kecil, mungkin sejak saya ingat saya ada, ayah selalu bercerita pada saya. “Nak, kita hidup di sebuah negeri yang makmur. Negeri yang memberi banyak kemungkinan berbahagia kepada banyak orang. Kelak, jika kau sudah besar, akan kau lihat negerimu ini sesak diserbu para pemburu. Kau juga akan sadar betapa tak jelas batas antara pemburu dan buruan. Pemburu-pemburu itu, anakku, muncul dengan wajah anjing, babi, dan binatang-binatang aneh lainnya. Dan kita adalah buruan itu, manusia-manusia tak berdaya. Jadi, anakku, kau harus bisa jadi lelaki kuat, agar kelak pemburu-pemburu itu bisa kauusir dari tanah kita. Dan ingat, mintalah kekuatan itu dari Allah. Tidak akan terberkati hidupmu jika kau tidak menghadapkan wajahmu kepada-Nya.”

Tapi, suatu malam, kebanggaan saya pada ayah runtuh. Saya selalu ingat peristiwa itu, sebuah peristiwa yang membuat saya terjebak pada perbatasan antara takut dan rasa marah. Semuanya bermula ketika seseorang mengetuk pintu rumah kami. Malam itu, ibu saya sudah tidur. Dan saya yakin, ayah pasti menduga bahwa saya juga sedang lelap memeluk mimpi. Setelah ayah membukakan pintu, saya kemudian mendengar percakapan serius berlangsung antara ayah dan tamu itu. Dari percakapan mereka yang lamat, saya tahu bahwa ayah, bersama tamu itu, sedang berencana merampok tanah seseorang dengan cara yang mungkin hanya mereka berdua yang tahu. Saya memang masih kecil, tapi karena ayah selalu menasehatkan kepada saya bahwa tindakan mencuri dan merampok adalah najis di mata Allah, saya tahu ayah saya telah melanggar sendiri nasehat-nasehatnya. Saya marah, geram, dan ingin sekali menampar ayah. Dan kemarahan itulah kemudian yang mendorong saya mengintip dari lubang kunci untuk mencari tahu siapa gerangan tamu itu.

Astaga, tamu itu ternyata kepala desa. Kemarahan saya makin tinggi. Selama ini, warga di kampung kami selalu menghormati kepala desa itu sebagai orang yang baik, agung dan bertanggungjawab terhadap warganya. Dan, tiba-tiba saja wajah kepala desa itu saya lihat seperti anjing, dan wajah ayah mirip babi. Saya benar-benar menonton percakapan rahasia yang berlangsung antara dua binatang.

Pada hari-hari selanjutnya, saya tidak tahu bagaimana kehidupan kami berubah. Rumah kami yang terbuat dari bambu dan beratap rumbia itu berubah menjadi rumah cantik. Ayah membelikan saya  sebuah sepeda. Ibu saya, wanita molek itu, makin molek karena baju-bajunya makin bagus. Ada kalung emas melingkar di lehernya. Dan pada jari manis dan tangannya, melingkar cincin dan gelang-gelang berkilauan.

”Lihat, Nak, Allah telah memberi berkat yang luar biasa kepada kita. Maka, kau harus lebih taat beribadah, dan teruslah menjadi anak yang tidak tercela di hadapan pencipta. Semua ini berkat doamu, Nak.”

Pada saat itu, saya sudah duduk di bangku SMP. Saya tidak mengiyakan nasehat ayah, tapi tidak juga membantah. Tapi, karena sebelumnya saya selalu antusias mendengarkan nasehatnya, ayah dengan segera mengetahui bahwa saya tidak lagi menyimak nasehatnya.

Ayah marah. “Kau sudah mulai menantang ayahmu. Tahukah kau apa hukuman bagi seorang anak yang membantah orang tua?”

Seminggu kemudian, tanpa ada pemberitahuan sebelumnya, saya dikirim ke kota. Supaya saya makin pintar, kata ayah. Supaya saya tahu bahwa tata krama terhadap orang tua harus tetap dijalankan. Dan sejak itu, saya tidak pernah pulang kampung kecuali pada saat saya datang dengan diam-diam ke desa itu dan membunuh ayah saya tanpa seorangpun yang tahu. Saya tidak tahu kenapa saya begitu tega melakukan hal itu. Sebelumnya, saya ketahui melalui televisi bahwa kampung saya selalu disesaki kabut asap yang bersumber dari hutan yang terbakar. Pada kesempatan lain, saya dengar bahwa anak-anak di kampung kami banyak yang mati kelaparan dan sebagian lagi tersiksa didera penyakit. Saya dengar juga bahwa sungai-sungai tidak lagi mengalirkan air, tapi racun. Lalu saya surati ibu saya. Saya tanyakan kepada ibu apa-apa saja yang telah diperbuat ayah sehingga malapetaka itu bisa terjadi. Ibu menceritakan dalam suratnya bahwa ayah melakukannya bersama orang-orang yang dulu dikecamnya sebagai pemburu. Sekarang ayahmu juga tidak sayang lagi kepada ibu. Dia sekarang sudah sering membawa pelacur ke rumah kita, baik laki-laki maupun perempuan, para pemabuk dan orang-orang aneh yang selalu membuat rumah dan kampung kita jadi gaduh. Ibu sedih, Nak. Ayahmu tidak bisa lagi saya nasehati. Ia makin sering menampar ibu. Kalau bisa pulanglah, ibu rindu padamu, kata ibu mengakhiri suratnya. Lalu, saya pulang, membunuh ayah saya. Setelah itu, saya kembali lagi ke kota, mengembara seperti sedia kala.

Setahun setelah kematian ayah, saya pulang menjenguk ibu. Saya temukan ibu sedang sakit. Tubuhnya kurus sekali. Saya sedih. Saya menangis. Tapi, dengan suara lantang, ibu saya meradang. “Pergi kau, anak jahanam. Ketika ayahmu meninggal, kau tidak pulang. Sekarang, setelah kuketahui bahwa kaulah pembunuh suamiku, kau datang. Meskipun orang-orang tidak tahu bahwa kaulah pembunuh itu, tapi Tuhan selalu memberitahu hal itu setiap malam, lewat mimpi-mimpiku. Sekarang, pergilah untuk selamanya. Kau bukan anakku lagi.”

Saya pergi, dan tidak pernah berusaha untuk pulang. Meski begitu, ingatan saya akan kampung halaman selalu membuat saya tersiksa. Tersiksa karena ingatan yang berkelebat itu justru bercerita tentang masa-masa ketika keluarga kami masih miskin, ketika setiap pagi saya harus bangun lebih awal, memberi ayam-ayam makan, lalu pergi ke sekolah. Masa ketika ibu masih rajin menyapu halaman dan memunguti buah kemiri dari bawah pohonnya. Masa ketika ayah sering mengeluh tapi tetap semangat menjalani pekerjaannya sebagai petani. Masa sebelum perampok dan pemburu itu tiba di desa kami dan akhirnya mengajari ayah saya jadi pemburu, perampok dan penjahat yang menyiksa sendiri kaumnya. Masa penuh cinta yang sampai saat ini tak sanggup saya lupakan. Dan, ingatan itu adalah rangkuman. Rangkuman peristiwa yang dimulai dari suatu kehidupan yang murni, merangsek, dan sampai pada kehidupan suatu puak yang terampas, terhempas.

***

DI luar, hujan masih terus menderu. Angin bertiup kencang. Malam menjelang pagi hari ini terasa sangat berisik, seperti sebuah isyarat betapa gaduh hidup yang telah saya pilih. Betapa durhaka dan terkutuk sikap yang telah saya ambil sebagai manusia. Saya kenang lagi masa kecil itu, tanaman-tamaman yang mengelilingi rumah itu, ladang itu, semak-semak itu, ibu-ayah saya, juga orang–orang kampung yang tak pernah bebas dari penjara kemiskinan. Saya kenang lagi pantun-pantun yang selalu didendangkan ibu ketika saya masih kecil. Saya kenang lagi malam-malam di mana ayah saya mengajari saya menggambar perahu. “Nak, coba lukis Lancang Kuning,” kata ayah. Tapi, ketika gambar yang menurut saya sangat cantik itu saya tunjukkan, ayah berkomentar, “Belum sempurna, Nak. Kau lupa membuat motifnya. Itik Pulang Petang-nya mana, Akar Pakis-nya mana?”

Saya kenang segalanya. Saya tiba-tiba menangis. Saya belum pernah sesedih ini. Dan, saya rindu sekali bertemu ayah. Saya ingin pulang menjenguk ibu. Saya berdoa. Inilah untuk pertama kalinya saya teringat kepada Allah setelah melupakan-Nya berpuluh-puluh tahun. Saya sujud.

Dan, tiba-tiba tubuh saya dicambuk. Wajah saya ditampar. Bedebah, siapakah yang berani berbuat kurang ajar seperti ini kepada saya dan di rumah saya?

”Saya, sayalah yang mencambuk tubuhmu,” suara sosok asing itu menggelegar, “Selama ini, saya sudah mendatangi kamu berkali-kali, tapi pintu rumahmu selalu tertutup buat kelembutan. Sudah saya panggil kamu dengan bahasa paling halus, tapi telingamu selalu terkunci. Sekarang saya datang dengan cara yang kamu inginkan. Sekarang saya ingatkan lagi kepadamu: sejahat apapun sesamamu, jangan hakimi. Dan kamu, kamu telah membunuh ayahmu karena kesalahannya. Apa kamu pikir dengan membunuhnya tanahmu akan luhur lagi, puakmu akan berjaya lagi. Sudah saya ajarkan kepadamu segala pengertian dan kasih sayang, tapi kamu tidak mendengarnya. Sudah saya ajarkan kepada kamu bahwa ibu adalah Tuhan di dunia kecil bernama rumah, tapi kamu siksa ibumu sedemikian rupa. Sekarang saya telah datang dengan cara yang kamu inginkan. Rasakanlah!” kata sosok asing itu sambil mecambuki lagi tubuh saya, lebih keras dan lebih cepat. Saya mengerang, menjerit, memohon-mohon ampun kepada sosok asing itu.

”Tuan, tolong jangan kepung saya dengan luka.”

Tapi cambukan itu terus berlanjut. Saya ambruk. Dan segalanya menjadi lindap. ***

Pekanbaru, Agustus 2004

* Cerpen ini meraih Juara II Laman Cipta Sastra Dewan Kesenian Riau (DKR) tahun 2004

Bagikan:

0 komentar:

Posting Komentar