Ode untuk Toba
Kukenang jantungmu: sebuah tanah lengang. Kabut mencumbu danau, mengibarkan luka kapal-kapal. Aku menunggu di kampung beku itu. Di lembah dan bukit, merayap rindu, mengekalkan kutuk abu dan mantra datu-datu. Sungai-sungai mengalirkan doa, kukirim lagu, menyusur angit arang. Tapi di parit luka hutan, yang terhampar adalah kemarau doa.
Dan di jantungku harapan menggersang jadi batu. Seteguh itu kenangan diramu. Maka lama terdengar derita, tentang jejak umpasa-umpasa yang hilang diseret ombak. Nyala api itu adalah mercusuar para pemburu, cahaya pulau yang berpendar dicumbu lagu-lagu Batak sendu.
Kukenang warna matamu: sebuah kota yang tumbuh melumat mimpi anak-anak, melupakan tonggo-tonggo, memeluk pintu kematian. Aku mendatangimu selamban doa, memanggul uap danau di sepanjang jalan, mengetuk semua mimpi, bertembang bersama bulan. Tapi alam teramat sepi, tanah retak, malam hilang dalam kedip matamu.
Di atas peta yang digariskan uap peluh, kubaca jejak ziarah dara-dara. Tapi kaulah yang mendendangkan Tano Batak, melarung luka, mengusir tulah, memulangkan resah pada bingkai mimpi. Dan memendar luka, mengabut harapan, menjebak lagu-lagu redup bagai mulut gua. Dan dinding hatiku pecah diterjang airmata. Sinar itu adalah darah dan bau roh leluhur, lampu-lampu yang menerangi tugu belulang kita.
Kukenang jantungmu: kota dan kampung yang habis, kampung yang tenggelam dalam liur budak-budak lapar, dilindas senyum para pemburu.
Pematangsiantar, 2009
Sembahyang
Wahai putri daun bawang, datanglah menenun lidahku. Tenun sayur-mayur dan lauk jadi madu bagi sultan setampan kamboja. Tenun sambal dan kuah jadi ludah permaisuri seharum daun pandan, sebab kutahu nasi telah patah jiwa atas perjodohan dengan raja penambang dari lembah bulan.
Aku tahu kau penenun abadi. Aku tahu suatu malam gulungan benang jatuh dan kau ikut menyulur ke meja makan ini. Tenun piring-piring dan gelas ini, agar aku tak menelan buah pembangkanganMu terhadap langit.
Medan, 2010
Menemani Malam
Kautemani malam
Kautunggu sesosok lelaki
melompat dari rembulan
dan mengalungkan selendang cahaya
pada bahumu yang dingin
Lalu kautangisi malam
kauingat sesosok lelaki selalu berangkat
pada malam yang menyiksa jiwamu
"Ia tak akan pulang," katamu
sambil menelanjangi doa
memasrahkan jiwa disetubuhi malam
kaupun selalu tertidur
bermimpi melahirkan lelaki
untuk menemanimu menemani malam
Riau-Siantar 2007
Bingkai Doa
Di dalam bingkai fotoMu,
aku memungut daun-daun gugur
Kulihat punggungku memanggul langit
Taman gersang seringkih tubuhku
merinduMu seberat menyapu bumi
Daun-daun berguguran
Siantar, Februari 2008
Semedi
Tolong carikan aku bahasa, kataku. Sebab pahit kopi dan asap rokok di meja tua ini sudah tak mampu lagi merenangi sungai dan laut yang membanjiri halaman koran-koran. Juga genangan peristiwa dalam buku-buku, telah membeku direndam tangis akut dan amarahMu.
Lalu pisang goreng di nampan, menghardik petang dan rumpun hujan di mulutku. Itulah suaraku menyeruMu, berhenti menggayuti malam di punggung para penyair yang mahir menyulap dusta jadi arak. Tapi Kau terlanjur mabuk, tak lagi mampu mereguk siul burung hantu dan dengus bintang-bintang berteriak. Maka cahaya bungkam di lorong nafasku, tolong carikan aku bahasa.
Pulangkan saja nafas pada uap puisi, kataMu. Maka kupasrahkan meja bekas ini memecahkan cangkir dan kubiarkan sendok mengaduk suaraMu jadi bangkai lagu. Tapi hanya kuhirup lenting detik, meraut malam setajam senyumMu, mengubur doa dan kidung-kidung sedalam lembah mataMu.
Tetap saja bisu, waktu terbuang seperti mayat hutan. Tak pernah kuhisap darah dan peluhmu atas nama sajak, sebab punggungku belum mahir melepas angit tungku dari ceracau para babu. Lihat, asbak selalu tabah menunggu hentakan sampah dari bibirku, seperti kata-kata merindukan api.
Di belantara marah, puisi punah membakar penyair. Tolong carikan bahasa, aku belum ingin jadi abu.
Medan, 2010
0 komentar:
Posting Komentar