20 Agustus 2016

Cintaku Membara di Televisi


Cerpen Panda MT Siallagan

Sebelumnya, kau tidak pernah menangis di depan televisi. Tapi ketika suatu hari kau menyaksikan seorang lelaki yang kau kenal muncul di televisi, kau menangis. Benar-benar menangis.

Sudah sangat lama kau berpisah dengan lelaki itu. Kau ingat bahwa kepergiannya membuatmu terluka. Dan sangat sedih. Hari-hari sesudah kepergiannya adalah rentangan sunyi. Kau telah begitu tersiksa menjalaninya.

Ilustrasi.
Ketika pergi, lelaki itu tidak memberitahumu ke mana arah tujuannya. Dia hanya berjanji bahwa dia akan kembali. Masih jelas terekam di benakmu ketika dia berlalu, melenggang dengan berat, seolah ada banyak hal yang harus disepakati ulang tentang cinta kalian. Kau sedih sekali, tapi sebagai gadis cerdas, kau berusaha tegar. Kau katakan kepadanya bahwa kau mengantarnya dengan doa, dengan cinta dan kesetiaan. "Aku akan menunggumu. Wujudkanlah cita-citamu," katamu dengan suara yang dibungkus pilu.

Setiba di rumah, kau menangis di kamar. Kau lupa bahwa kau adalah perempuan yang benci sikap cengeng. Kau lupa bahwa seharusnya kau bisa lebih tenang. Lalu kau himpun lagi segala peristiwa dalam ingatanmu. Kau ingat betapa mesra kalian pada suatu masa, bergandeng tangan menyusuri jalan-jalan kota. Kalian saling bercerita, saling berbagi bahagia, juga berbagi sedih. Kau ingat lagi tangismu saat pipimu diciumnya. Tangisan ganjil yang entah mengapa selalu hambur dari mulut perempuan setiap menerima ciuman lelaki untuk pertama kali.

Kau ingat semuanya, juga hari-hari sesudahnya. Kau selalu menemaninya ke kantor pos setiap kali dia mengirim surat kepada ayah bundanya. Di kampung kami belum ada jaringan telepon, surat adalah satu-satunya alat komunikasi, katanya kepadamu. Dan kau mendapatkan kesadaran baru sejak itu. Kau tahu akhirnya bahwa surat adalah media komunikasi paling indah. Di dalamnya, sangat mungkin bagi siapa saja menulis kata-kata mesra, kalimat-kalimat indah, bahasa-bahasa menyentuh, yang barangkali akan terdengar aneh jika disampaikan dalam bahasa lisan. Itulah sebabnya pada saat-saat terakhir kepergiannya, kalian berjanji akan saling berkirim surat satu sama lain. Kalian memutuskan bahwa kalian hanya akan berhubungan lewat surat.

"Setelah sampai, akan segera kutulis surat untukmu, sekaligus memberitahu alamatku di tempat yang baru," katanya.

Dua minggu kemudian, suratnya datang. Kau bahagia sekali menerimanya. Kau ciumi surat itu berkali-kali sebelum kau baca berkali-kali. Setelah itu, hampir setiap bulan kau mengiriminya surat. Hampir dalam setiap surat kau katakan bahwa kau tetap mencintainya, mendoakan dan mendukung setiap pekerjaan dan rencana-rencananya. Hampir dalam setiap surat kau berkata bahwa kau tetap menunggunya, bersetia hanya untuk lelaki itu.

Tapi kau kecewa dan terluka karena akhirnya dia tidak pernah membalas suratmu. Surat terakhirmu padanya adalah surat yang ke tiga puluh dua. Lalu kau coba melupakannya. Kau tenggelamkan dirimu dalam kegilaan-kegilaan, sibuk merancang dan melakukan perjalanan ke tempat-tempat yang bagus. Kau berkumpul bersama teman-temanmu, pergi menghadiri undangan-undangan pesta, ngalor-ngidul sekedar mengurangi luka. Kau ajak teman-temanmu memancing, berkemah di hutan-hutan, dan sesekali mabuk-mabukan. Kau sebetulnya tahu bahwa tindakan itu sangat salah. Kau tahu bahwa sebaiknya kau berpikir dan berbuat untuk masa depanmu. Tapi, kau benar-benar tidak bisa menerima perlakuan kekasihmu itu, ingatanmu padanya terlalu menyiksa, dan kau melakukan semua itu sekedar bisa melupakannya, meskipun hanya sekejap. Tapi semua itu tak bisa membuatmu tenteram. Selalu terbayang olehmu penampilannya yang sederhana, sikapnya yang santun, bicaranya yang lembut, dan tentu saja otaknya yang cerdas.

Dulu, kau selalu menemaninya ke perpustakaan, mencari buku-buku yang kalian butuhkan, berdiskusi, dan itu mambuatmu selamat dari bahaya kebodohan karena sebelumnya kau adalah gadis pemalas, gadis yang sama sekali tidak memiliki minat baca. Bersamanya, kau akhirnya tahu bahwa belajar itu sangat menyenangkan.

Setelah selesai berdiskusi dan belajar bersama, kau biasanya mengajaknya ke kantin, makan bersama. Tapi dia selalu menolak jika kau membayar makanannya. Dia juga selalu tak bersedia naik ke mobilmu jika kau menawarkan untuk mengantarnya pulang. Dia selalu memilih naik oplet jika ingin pulang ke rumah sewaannya. Tapi kau tidak pernah tersinggung. Dia cukup tahu bagaimana memberi penjelasan yang nyaman atas penolakannya. Dan semua itu membuatmu terpesona, makin cinta kepadanya.

Makin sempurna kemudian kegilaanmu padanya ketika suatu hari kau mendengarnya bernyanyi. Kau takjub pada keindahan suaranya. Sejak itu, kau seringkali memintanya bernyanyi, dan dia selalu memenuhi permintaanmu. Selain membaca, menyanyi memang sudah menjadi hobinya sejak kanak-kanak.

Sekarang, setiap kali suaranya terngiang di telingamu, ingatanmu padanya kian menerkam. Kau ingat lagi kebaikan-kebaikannya, nasehat-nasehat yang membuatmu makin dewasa. Dia memang selalu menyokong, mendukung dan tidak pernah memuatmu sakit hati. Pernah suatu kali kau membuatnya terluka ketika kalian bertengkar kecil, lalu kau bangga-banggakan kekayaan orangtuamu.

Tapi dia hanya tersenyum, tidak tersinggung. Dia bahkan menyarankanmu agar selalu bersyukur kepada Tuhan. Sungguh, kau tidak pernah menyangka bahwa dia akan melupakanmu. Benar-benar tidak kau duga. Ketika suratmu yang ke limabelas tidak mendapat balas, kau mulai sakit hati, marah, kecewa dan berhasrat sekali mencarinya. Dan jika ketemu, kau akan menampar wajahnya sekuat yang kau mau. Tapi kebencian itu selalu terkalahkan oleh ingatanmu pada senyumnya, kebaikan-kebaikan dan kelembutannya yang tanpa batas. Jauh di dalam hatimu, kau masih berharap semoga kalian dapat bertemu lagi dan kau akan mendekapnya dan berkata bahwa kau sangat merindukannya.

Setelah cukup lama, kau memang berhasil melupakannya walau hanya sesekali, saat bergabung dengan teman-temanmu sepengangguran. Kau juga sudah mulai berteman dengan banyak lelaki yang kau tahu sangat damba pada cintamu. Dan akhirnya, di tengah kehancuran menanti, kau memilih salah seorang dari lelaki-lelaki itu. Tapi kau tidak pernah benar-benar yakin mencintainya, meski selalu berusaha mencintanya. Oleh sebab itu, setiap kali lelaki itu bicara kepadamu tentang pernikahan, kau selalu mengelak. Kau masih terus berharap semoga kekasihmu itu kembali lagi.

Seiring waktu, kau memang tidak terlalu sedih lagi walaupun setiap saat masih teringat kepadanya. Kau ingat bagaimana dia sangat kikuk ketika kau mengajaknya ke rumahmu, yang dikatakannya seperti istana. Kau ingat bagaimana canggung dan gugupnya dia menghadapi ibumu yang menyerbunya dengan banyak pertanyaan. Kau ingat bagaimana lucu mimiknya membanding-bandingkan rumahnya dan rumahmu.

Rumahku di kampung persis seperti kandang kuda, katanya tertawa. Mengingat semua itu, kau tersenyum. Lalu setelah senyum yang jenak itu, dadamu terhantam lagi karena kau berpikir bagaimana keadaannya saat ini, dan di mana dia berada. Dan setiap kali kau bertanya dalam hati apakah dia masih sendiri atau sudah menikah, kau pasti ambruk, dadamu serasa terbakar, jantungmu remuk. Kau tak mampu membayangkannya hidup bersama perempuan lain. Kau tidak rela kebaikan dan kelembutannya menjadi milik perempuan lain. Kau menangis lagi. Benar-benar menangis.

Kau lupa, seandainya dia melihatmu menangis, dia akan mengejekmu habis-habisan. Dulu, dia sering menangis di hadapanmu, bukan karena kau sakiti, tapi karena sedih memikirkan orang tua, nasib adik-adiknya. Kau memang berjanji untuk membantu mereka jika kelak kalian sudah menikah, tapi dia selalu berkata bahwa Tuhan akan mengatur segalanya. Dia juga sering menangis saat menonton tayangan-tayangan sedih di televisi. Jika berhadapan dengan berita pemerkosaan, pembunuhan, perampokan, kerusuhan, dia akan menangis seolah-olah korban itu adalah saudaranya. Dia juga sering menangis jika sinetron dan film-film menghadirkan adegan sedih. Dan kau selalu mengejeknya, menuduhnya tidak rasional, terlalu sentimentil dan perasa. Tapi dia menanggapi ejekanmu dengan senyuman, dan berkata: "Adakalanya kau belajar memahami perasaan. Perasaan adalah kehidupan itu sendiri."


Kau mengiyakan, tapi tetap tidak setuju dengan sikap seseorang yang menangis di depan televisi. Kau berkata bahwa apa-apa yang dihadirkan televisi adalah dusta,  kebohongan-kebohongan yang secara menakjubkan dikirim ke rumah-rumah. Dan kau bersumpah tidak akan pernah menangis di depan televisi.

Lalu hari itu pun tiba. Kau menangis di depan televisi. Benar-benar menangis. Kau saksikan lelaki terkasihmu itu muncul di televisi. Tampil sebagai salah satu peserta kontes nyanyi. Kau nyaris pingsan, tapi segera menata pikiran. Kau pelototi lagi televisi untuk memastikan apakah benar dia kekasihmu. Dan benar, dia memang kekasihmu.

Tubuhmu gemetar, persendian tulang-tulangmu terasa panas, jantungmu berdegup kencang, pikiranmu kacau, panik, sedih, bahagia, marah, kesal, semuanya berbaur mencabik-cabik jiwamu. Kau ingat lagi detik-detik terakhir perpisahan kalian.

"Dik, aku mencintaimu. Tapi aku harus pergi. Aku harus berjuang menata hidupku. Kelak, jika aku sudah berhasil, aku akan datang menikahimu. Aku tahu Adik bisa menghidupiku. Apa sih yang tidak bisa diberikan ayahmu sama kau? Tapi aku harus menunjukkan kepada orang tuamu bahwa aku adalah lelaki yang tepat buatmu. Adik jangan sedih, ya! Aku pasti pulang untukmu."

Dan sekarang, kau menyaksikan kekasihmu itu muncul di televisi. Kau melihatnya dipuja jutaan orang, disoraki dengan begitu meriah, orang-orang histeris karenanya. Kau tahu dia akan terkenal. Kau tahu dia sudah menjadi milik banyak orang. Harapanmu tumpas. Impianmu memilikinya terputus. Kau merasa bahwa dia bukan milikmu lagi. Dia sudah milik orang lain. Kau hanya bisa menangis.

Kau kalap. Kau putuskan untuk menikah dengan Van Emte Eseljien, pacarmu yang tidak pernah benar-benar kau cintai itu. Kau merasa hanya dialah satu-satunya orang yang bisa menyelamatkanmu. Setelah segalanya dibicarakan, diatur, direncanakan dan diputuskan, hari dan tanggal pernikahanmu ditetapkan. Kau menangis pada hari pernikahan itu.

Tapi kau tidak tahu, di sebuah tempat yang jauh, lelaki itu telah bersiap menemuimu. Segera sesudah kontes nyanyi itu berakhir, dia sudah berjanji untuk datang. Setelah kedua orang tuanya, kaulah orang pertama yang akan ditemuinya. Lelaki itu akan menikahimu. Tapi kau benar-benar tidak tahu.

Pematangsiantar, 2007

Bagikan:

0 komentar:

Posting Komentar