07 Agustus 2016

Dua Sahabat


Cerpen Panda MT Siallagan

Sepanjang musim penghujan tahun itu, aku memutuskan lebih sering berkunjung ke rumah Marulova, kawanku sewaktu kanak-kanak. Setahun yang lalu, dia muncul secara mengejutkan di Namora Tuah, desa yang telah kudiami hampir dua per tiga dari usiaku. Peristiwa itu membuat kami sangat bahagia karena puluhan tahun sejak tamat SMP, kami tidak pernah lagi bertemu.


Ia mendekapku sangat erat dan berkata bahwa ia bahkan tidak pernah lagi berpikir tentang pertemuan yang masih terjadi antara kami. Ia mengaku dengan suara bergetar bahwa ia sangat rindu padaku tapi menyesal mengapa hal itu disadarinya setelah kami bertemu. Aku sendiri tidak dapat menggambarkan sebahagia apa aku hari itu. Dan, aku hampir tak percaya bahwa aku sangat bergetar ketika kawan itu menangis.

Hari pertama pertemuan itu kami habiskan dengan berbual-bual, saling bertukar cerita hingga puas. Pertama-tama kami tentu bicara soal kenangan-kenangan, kenakalan-kenakalan, juga tentang cita-cita masa kecil. Dan, semua itu rasanya terlalu lucu untuk dikenang pada masa sekarang. Dulu, kawan itu selalu berkata bahwa ia ingin jadi supir kapal terbang. Belakangan barulah kami tahu bahwa supir kapal terbang disebut pilot. Sementara, aku ingin sekali jadi tentara, sebuah cita-cita yang kemudian sangat kubenci. Kebencian itu terus berkembang tanpa alasan, sehingga aku berjanji pada diriku sendiri bahwa aku tidak akan pernah mengirimkan anakku masuk ke sekolah militer. Tapi untunglah aku tidak punya anak lelaki sehingga aku tidak perlu berpikir lagi soal itu.

Ada banyak orang yang barangkali bisa mewujudkan cita-cita masa kecilnya. Tapi, kurasa, orang yang melupakan hal itu tentulah lebih banyak jumlahnya. Ada yang kemudian menyadarinya tidak menarik, dan sebagian memang tak punya kesempatan mewujudkannya. Sebutlah Marulova, kawanku ini, bagaimana mungkin ia bisa menjadi pilot sedangkan memanjat pohon saja dia ketakutan. "Seperti ada hantu di atas sana," katanya.

Setelah puas berbicara tentang ingatan dan kenangan masa kanak-kanak, kami masuk ke dalam pembicaraan yang serius. Kuceritakan padanya segala hal yang telah terjadi dalam hidupku. Aku memang tak sepenuhnya bisa dikatakan gagal, tapi kerumitan dan kepedihan-kepedihan hidup telah begitu banyak kuhadapi. Dan, satu-satunya kebanggaan yang dapat kurasakan adalah bahwa semua itu telah berlalu tanpa menyebabkan suatu kehancuran. Kuceritakan segalanya kepada kawan itu, seolah-olah kami masih dua sahabat kecil yang saling mempercayai satu sama lain. Tak ada hal yang kukurang-kurangi ataupun kututup-tutupi. Juga, tak ada hal yang kulebih-lebihkan agar aku tampak lebih hebat dan berhasil.

"Istriku," kataku mengawali cerita, "Mendadak jatuh sakit pada saat pernikahan kami baru berusia tiga bulan. Dia merasakan sakit yang luar biasa di kepalanya dan selalu mual-mual. Awalnya aku berpikir bahwa gejala itu adalah tanda-tanda kehamilan dan aku bahagia sekali memikirkannya. Tapi, setelah beberapa lama penyakitnya tidak kunjung sembuh meskipun telah berkali-kali dibawa ke dokter, aku merasa sesuatu yang buruk telah terjadi pada istriku. Aku kemudian membawanya ke dukun. Dan benar, istriku ternyata kena guna-guna. Orang yang melakukan hal itu adalah rekan kerjaku, yang merasa iri melihat prestasiku. Dukun itu berkata bahwa istriku diserang dengan tenung jahat, dan satu-satunya jalan untuk menyembuhkannya adalah pergi dari kota itu. Untunglah ketika bekerja, aku sudah membeli sedikit tanah di desa ini. Kebetulan aku mempunyai seorang teman yang berasal dari desa ini, dan dialah yang menyarankan aku membeli tanah di sini karena, katanya, masih sangat murah. Begitulah, setelah tinggal di desa ini, istriku tak pernah sakit lagi. Sekarang, di masa tuanya ini, dia malah bisa berbuat amal. Aku selalu bangga kepadanya."

Kulihat kawan itu manggut-manggut dengan mata yang dipenuhi rasa ingin tahu. Maka kulanjutkan ceritaku dengan semangat yang lebih berkobar.

"Demikianlah kami memulai hidup baru dengan bertani di desa ini. Kau tahu, bertani ternyata bukan jalan hidup yang susah asalkan kita paham benar trik-triknya. Sungguh, aku dan istriku tidak pernah kesulitan kalau hanya sekedar makan. Kami selalu bahagia. Dan kebahagiaan itu semakin berganda setelah putri kami satu-satunya itu lahir. Kami membesarkan dengan cinta dan perhatian yang tulus. Tapi sayang, dia harus pergi dengan cara menyakitkan. Sekarang usianya 17 tahun. Dia tinggal di kota, bersama suaminya."

Kulihat kawanku Marulova sedikit kaget, maka kukatakan padanya bahwa peristiwa itulah luka paling menyakitkan yang pernah kualami.

"Dengan bangga," kataku melanjutkan kisah, "Kami mengirimnya ke kota untuk sekolah, meskipun kami harus berjuang keras membiayainya. Tapi, tahun ketiga di SLTP, beberapa bulan menjelang tamat dan kami sudah merancang akan mengirimnya lagi ke SMA bermutu, dia pulang dan berkata bahwa seorang lelaki telah menghamilinya. Anak-anak sekarang memang susah. Tapi, akhirnya, hatiku terobati juga karena ternyata menantu kami itu sangat baik. Sekali setahun mereka pasti pulang. Dengan menunggang mobil, dan itu membuat kami merasa bangga. Tapi, betatapun segalanya berlangsung tertib, hingga kini aku tetap sedih. Kau tahu, kami belum mengenal besan kami. Dulu, mereka menentang keras aib yang telah terjadi antara putra mereka dengan putri kami. Mereka tidak terima. Mereka pergi ke tempat yang jauh, melupakan anaknya si pendosa, menantu kami itu. Tapi bagaimanapun, aku harus mengakui bahwa besan kami itu cukup baik. Mereka meninggalkan sedikit harta dan itulah yang kini dikelola menantuku itu dan tampaknya usahanya berjalan lancar."

Sampai di situ, aku merasa sedikit malu karena ceritaku mulai bernuansa puji diri. Kuambil bungkus rokok dari saku, mengambilnya sebatang, lalu menawarkannya kepada Marulova. Kami lalu merokok bersama-sama.

"Aku sudah terlalu banyak mengoceh," kataku sambil menghembuskan asap rokok, "Sekarang giliranmu, Kawan. Ceritakanlah bagaimana kau bisa sampai di desa kami yang sunyi ini?"

Kawan itu sedikit gugup, diam sejenak, lalu berkata, "Aku datang ke sini untuk meminta maaf?"

"Minta maaf? Kepada siapa?"

"Kepada kau."

"Hahaha....! Kau masih seperti dulu ketika kecil, suka bercanda. Suka menyindir. Baiklah, aku salah. Dari tadi aku tak memberimu kesempatan bicara. Aku minta maaf."

"Tapi aku memang datang untuk minta maaf," katanya lagi, sambil tertawa.

"Jangan membuatku makin merasa bersalah. Tapi baiklah, kau mungkin belum bersedia bercerita sekarang. Lain kali aku akan mendengar ceritamu. Sekarang sudah malam, aku pamit dulu," kataku.

Kami lalu berjanji untuk saling mengunjungi satu sama lain. Tapi, ketika hari-hari berikutnya aku berkunjung ke rumahnya dan kawan itu tetap tidak bersedia berbicara tentang jalan hidupnya, aku merasa bahwa situasinya telah berbeda. Dia bukan lagi sahabat kecilku, yang dulu selalu riang dan suka berbagi cerita. Dan, setiap kali aku mengundangnya ke rumahku, dan ia selalu berjanji untuk datang dan tidak pernah menepatinya, aku makin yakin bahwa dia memang bukan sahabatku lagi. Sejak itulah aku mulai jarang ke rumahnya, dan akhirnya tidak pernah lagi sama sekali.

Tapi musim hujan yang rasanya berlangsung lebih lama pada tahun itu membuatku tergoda lagi untuk pergi ke rumahnya. Aku jengah di rumah melulu. Sementara, kalau aku pergi ke kedai kopi, penyakit judiku pasti kambuh, dan itu pasti membuat istriku meradang. Jadi kuputuskan berkunjung ke rumah kawan itu lagi. Selain masih penasaran dengan liku-liku hidupnya, aku juga ingin sekali mengungkap misteri mengapa kawan itu bisa menempati rumah bagus milik anggota dewan. Maklumlah, ulah pejabat-pejabat itu memang begitu. Mereka seringkali menumpuk harta di desa, agar di kota tetap tampak bersih dan tidak korup.

Tapi hal itu sebetulnya tidak terlalu penting. Aku pergi ke rumahnya benar-benar untuk menghilangkan suntuk. Seperti kataku, aku bosan di rumah. Sementara istriku sudah lebih berbahagia dengan hobi barunya menganyam tikar dan bakul dari daun pandan.

Untuk menghindari rasa jengkel, aku memutuskan untuk tidak bertanya lagi tentang kehidupannya. Ia mungkin tidak suka jika kehidupan pribadinya dijadikan topik pembicaraan. Dan kurasa, mengajaknya ngobrol tentang politik, agama, perang berkepanjangan Israel-Palestina, pasti lebih menyenangkan meskipun apa-apa yang kami ketahui sudah sangat jelas diberitakan di koran-koran dan televisi dan pengetahuan kami tentulah hanya sebatas itu.

"Kau tahu," tiba-tiba kawan itupun berceritalah seperti seorang yang mabuk, "Istriku meninggalkan aku. Aku tidak mengerti mengapa dia melakukan itu setelah puluhan tahun hidup bersamaku. Dia tertarik pada seorang lelaki yang sering bertemu dengannya di sanggar senam, dan pergi bersama lelaki itu. Aku sangat terluka memikirkan hal itu dan tetap berdoa semoga dia sadar bahwa apa yang dilakukannya adalah salah. Sepeninggalnya, aku kesepian, kesulitan mengurus diri, dan kemudian memutuskan kembali ke Indonesia karena hidup di tengah-tengah masyarakat yang sibuk ternyata tak begitu menyenangkan jika sendiri. Untunglah anak dan menantuku sangat baik dan mereka menerimaku kembali. Aku menyesal telah meninggalkan mereka. Menantuku itu sangat baik, bijak dan gesit. Merekalah yang menyuruhku tingal di desa ini. Mereka juga yang menyarankan aku membeli rumah ini. Kata mereka, aku pasti hidup bahagia di sini. Dan itu benar. Jadi, maafkanlah aku!"

"Oh, tak perlu minta maaf, Kawan. Semua orang pasti punya kisah masing-masing, yang hebat dan yang memalukan. Teruslah bercerita. Aku akan mendengarmu."

Tapi kawan itu diam, tidak lagi melanjutkan kisahnya. Mungkin ia tersinggung dengan caraku menanggapi.

"Baiklah," kataku kemudian setelah agak lama dia terdiam, "Aku senang mendengar ceritamu. Jalan hidup kita sama, persoalannya saja yang berbeda. Aku tetap bahagia kita bisa bertemu lagi. Sesekali, bawalah anak dan menantumu itu kemari. Aku pasti bahagia bertemu dengan orang sebaik mereka. Jika putri dan menantuku datang, aku juga akan memperkenalkan mereka kepadamu. Baiklah, sekarang sudah larut. Aku pulang dulu. Selamat malam!"

"Selamat malam," jawab kawan itu dengan geleng-geleng kepala. Ia mungkin kesal dengan sikapku yang tidak tanggap pada ceritanya. Ia mungkin berpikir betapa bodohnya aku, yang tidak paham dengan permintaan maafnya. Tapi, malam itu aku bahagia sekali. Aku berjalan di jalan becek desa sambil bersiul-siul, sementara gerimis masih merinai dari langit yang gelap. Aku sibuk berpikir bagaimana kebahagiaan ini harus kuceritakan pada istriku.

Oho, aku mungkin akan menciumnya, memeluknya, menggendongnya seperti yang sering kulakukan ketika pacaran dulu, lalu kubisikkan di telinganya, "Sayang, si Marolova bodoh itu ternyata besan kita." *** 

Catatan: Cerpen lawas ini terbit di Harian Riau Mandiri, Minggu 29 Agustus 2004. Riau Mandiri kemudian berganti nama jadi Haluan Riau.

Bagikan:

0 komentar:

Posting Komentar