Api mendesis kepada tanah, meminjam bara jantung padoha. Seketika motif-motif berguguran dari langit, membakar tanduk kerbau di ruma-ruma bolon. Sejak itu kutuk mengekal: tanah gersang dan penuh batu. Tapi sejauh bubungan asap, tanah setia memakamkan dendam. Tunas-tunas selalu tumbuh mengukir gorga. Demikian gunung itu meletus demi bumi yang segar. Para pewaris bercocok tanam di atas batu.
Tanah merangkul api, setenang embun, dan orang-orang pulau gemetar mengukir mimpi di dinding sampan. Langit terbakar, tapi tangisan hanya riak ombak bagi perantau. Api menjilat, memahamkan tuah lahar. Sunyi sejak itu: kecipak sejarah di dedaunan, angin dingin lembah, gerimis agung di pantai Toba.
Tapi pada angin terhidang jalan sua. Rantau semula jadi memang kekal untuk luka. Maka pada tanah beku dikekang kubur leluhur, pulang jua lewat danau, mengubur warna-warna kembara. Bersiul pada api: mari berpeluk, memuja legenda-legenda naga dan burung hulambujati. Sejak itu, ada dua doa: antara meminang dan mengenyahkan.
Pematangsiantar, 2016
Sulap
Di pucuk mimpimu, cuaca meledak
Kita terombang-ambing jadi udara
Kedamaian, maka, adalah lonceng bernama makam
Di ujung lelapmu, ajal memuing di mulut cacing
Maka, surga cuma sejauh guguran daun
Tapi di mulut pagi, kau percaya sajak, katamu:
Cacing-cacing akan tumbuh jadi hariara
Pematangsiantar, 2016
Pintu
Jauh dan lama
Sihir nyiur tiba
Menenggelamkan jiwa
Membakar samudera raga
Dan mantera, dan cuaca
Menetak angin dan doa
Terkubur
di bandar uzur
Makam pagi
Makam tongkat leluhur
Dan bunga-bunga
Kisah-kisah sakti
Merambat tangis
Antara pasir dan kerang
Dan rindu yang mengiris
Dongeng-dongeng agung
Kenang-kenangan lengang
Menghembus raya ini
Mulajadi pantai-pantai
Rantau-rantau semula jadi
Lama meraung
Aroma sotong panggang
Dan kepiting
Meniup tuah karang
Pada lorong-lorong
Kota-kota yang datang
Orang-orang lalu-lalang
Menjinjing mambang
Pada jalan batu
Makam-makam empu
Membius bandar
Dan syahwat-shahwat mekar
Sungguh jauh merana
Meretas jalan sua
Ingin jadi burung mantera
Menetas dari kubur
Mengalur jadi akar, jadi sulur
Menjahit raya ini
Dari pantai semula jadi
Mengikat bukit mula jampi
Mula kita jadi
Mula kata
Sebelum shahwat
Sebelum makam
Meretas lagi
Jalan surgawi
Pematangsiantar, 2016
Balada
Terbang mengejar sajak, kau meninggalkan cangkang. Cangkang pembentang makna sangkar, cangkang pembentang warna udara. Katamu:
Tuan, aku ingin mati seperti burung betina menenggelamkan sayap ke dalam darah para pemburu, menjelma rantai pembelenggu cakar elang, aku melolong pada sangkar yang terbakar darah. Menyanyikan mantera-mantera, memanterakan sajak-sajak, yang hitam dan yang suci.
Aku gemetar menyaksikan kau terbang jadi sajak, mengejar cakar elang dan terbakar di mata panah pemburu. Kataku:
Puan, pada mata burung, gairah pemburu senantiasa berputar-putar membidik waktu, menerka-nerka pintu surga. Maka sebaiknya hamburlah dari mulut panah, sembunyi di cangkang tebing, mencabut riwayat peluru dari tembolok doa, dan pulang ke muasal sajak.
Tapi alangkah hening. Luka betapa tak terganti. Betatapun para penyair membakar sajak untuk burung-burung dan kelokan waktu. Tertikam jua.
Pematangsiantar, 2016
Pada Puisi
abadi kita
jadi jejak batu
membaca gua
di mulut datu
seperti air
merawat batu
di mata gua
jadi sungai
mengukur batu
di mata muara
abadi kita
menyetubuhi kata
di hampa kata
Pematangsiantar, 2016
* Puisi-puisi ini terbit di Riau Pos, 8 Mei 2016
0 komentar:
Posting Komentar