14 Agustus 2016

Senjakala Surat Kabar, Fajarkala Koran

Penghujung tahun lalu, diskusi dan wacana junalisme digital mencuat dan ramai dibicarakan. Bukan hanya di media konvensional, tapi keriuhan itu juga mencolok di media digital yang kita namai media sosial (medsos) itu. Pemicunya adalah tulisan jurnalis KOMPAS, Bre Redana, berjudul Inikah Senjakala Kami...(KOMPAS, 28 Desember).


Inti dari tulisan itu adalah keresahan Bre tentang keberlangsungan masa depan surat kabar konvensional (media cetak) di era jurnalisme digital yang terus menggila dan tak terbendung arusnya. Tanggapan atas tulisan itu meluap dan mengalir kemana-mana.

Keresehan Bre bukanlah barang baru. Keresahan itu telah berlangsung sejak lama, sejak Rupert Murdoch menyatakan bahwa suratkabar akan makin pupus di pusaran arus internet dan media digital. Meski Murdoch tidak mengatakan 'mati', tapi pernyataan taipan media itu langsung jadi 'puisi' yang dihapal mati oleh pengusaha-pengusaha media: bagaimana agar suratkabarnya jangan sampai mati.

Dan nyatanya, banyak koran-koran di seluruh dunia pada akhirnya memang mati (berhenti terbit) dan beralih ke media daring. Bahkan di Indonesia, tak kurang dari belasan media cetak telah tutup sejak tahun 2015, termasuk koran legendaris Sinar Harapan. Yang terbaru, di Inggris, sebuah koran ternama bernama The Independent juga telah tutup bulan Februari lalu.

Anehnya, pada waktu yang hampir bersamaan, kelompok media Trinity Mirror malah menerbitkan koran baru: The New Day. Berkebalikan dengan koran-koran yang tutup dan beralih ke media daring (media digital), The New Day bahkan mengambil langkah yang boleh dikatakan melawan arus. Koran itu tidak membuat website.

"The New Day akan tetap aktif di media sosial, tapi tidak akan memiliki media website," ujar Simon Fox, Kepala Eksekutif Trinity Mirror. Edisi perdana The New Day terbit tanggal 29 Februari lalu.

Lantas, benarkah senjakala surat kabar sudah tiba? Entahlah.

Mari sejenak lupakan itu. Dari perdebatan senjakala surat kabar ini, saya justru mencari hiburan, melakukan semacam rekreasi bahasa. Itu karena kata 'senjakala' kemudian menjadi populer dan saya tergelitik. Ketika Sinar Harapan akhirnya tutup, banyak media menulis judul-judul seperti ini: Sinar Harapan dan Senjakala Media, Senjakala Sebuah Media, dan judul-judul lain yang semuanya menggunakan 'senjakala'. Tak hanya berita, judul-judul artikel yang ditulis mengulas ancaman masadepan media cetak ini, juga latah menggunakan istilah 'senjakala'.

Bahkan ketika koran Inggris The Independent itu tutup, media-media di Indonesia juga menggunakan 'senjakala' sebagai judul berita itu, antara lain: Senjakala Surat Kabar Terjadi di Inggris, Senjakala Media Menimpa Inggris, dll. Apakah Inggris mengenal senjakala? Hehe...

Maka, saya juga usil membuat tulisan ini (atau lebih tepat bual-bual) dengan judul Senjakala Suratkabar, Fajarkala Koran, mengacu pada kejadian di Inggris itu. Satu koran mati sebagai senjakala, dan koran lain terbit sebagai fajarkala. Loh, fajarkala? Istilah apaan itu?

Sebelum saya jawab, saya juga berhak bertanya, senjakala, istilah apaan itu? Hehe. Kita tahu, senjakala merupakan bentukan dua kata, yaitu senja dan kala. Senja adalah sore atau petang atau lebih tepat rembang petang, itulah saat matahari segera tenggelam di ufuk barat dan kita segera tiba pada malam. Sedangkan 'kala' adalah waktu, masa, ketika. Jadi senjakala berarti waktu senja, masa senja atau kala senja. Sesungguhnya, kita tidak tahu apa perbedaan 'senjakala' dengan 'senja'.

Jika senjakala dimaksudkan untuk memaknai sebuah situasi atau kondisi segala sesuatu yang akan berakhir, maka sebaliknya fajarkala juga tiada salahnya kita gunakan untuk menjelaskan segala sesuatu yang akan bermula atau bercikal. Lalu selanjutnya, muncul istilah siangkala, sorekala, petangkala, dulukala (dahulu kala), kinikala, kelakkala, sejarahkala dst! Waduh, betapa kacaunya bahasa Indonesia kita.

Saya tak punya pretensi apa-apa kecuali sekedar ingin menghibur diri. Tapi demikianlah, suratkabar atau media-media digital, pada akhirnya akan turut mempengaruhi perkembangan kebahasaan kita. Dan warna-warna bahasa yang muncul di media pada akhirnya juga meresap cepat ke benak setiap orang  sebagai akibat dari sifat media yang masif. Demikianlah, selamat datang di fajarkala bahasa. Hehe...! ***
Bagikan:

0 komentar:

Posting Komentar