26 Agustus 2016

Ketika Anak Petani Berdoa


Puisi-puisi Panda MT Siallagan


Ketika Anak Petani Berdoa

Ketika anak petani itu berdoa, ia tahu lidah dan perutnya telah lama jadi tua, setua daging ikan yang senantiasa menyemai surga di celah dan cabang duri-duri: sisa nikmat yang memerangkap cecap jadi dusta dan lupa.

Itulah sunyi batu-batu dicumbu arus, atau sepi sungai dibungkam telapak kaki anak petani itu, saat lengannya melemparkan mata kail. Sangat tabah ia memain-mainkan senyum tuhan di ujung benang dan joran, sedalam angin memasuki rumpun bambu, membalut patahan batang dan akar.

Angin berkesiur dingin, tapi anak petani tanpa celana itu disesah gerah, sebab ia harus pulang memenuhi janji pada kuali dan bumbu-bumbu yang menunggu, sebab ia tahu lidah dan perutnya telah lama jadi tua, bahkan lebih tua dari jenggot bapak dan kulit keriput emak, yang tak jua pandai menyiasati belacan dan cabe giling, sementara cinta habis disedot ladang dan batang-batang ubi.

Anak petani itu kesepian tapi terus berdoa dan bernyanyi tentang tungku, mungkin ia dengar ikan-ikan meminta api. Dan ya, ketika akhirnya joran bergetar berkali-kali bagai bentur petir dari dasar sungai, ia tahu tahu Tuhan telah menelan mata kailnya, maka ia akhiri doa dengan tulus. “Amin,” ujarnya, berterimakasih pada sungai.

Kisaran, Juni 2009 

Kembara

Duri ikan mas di piring kaleng, tumpukan belulang anjing di meja kayu, menjerit tentang daging yang hilang. Maka kita tahu kedai itu sudah lenyap dihisap malam. Pesta hanya ampas bual, sisa kecut sendawa para pemabuk. Bau mencekik udara, mengirim dingin dan murka ke lubang nafas kita. Mimpi betapa pahit, tidur senantiasa kecut.

Tapi terdengar dengkur pemabuk itu menggetar, merampas siul katak dan lagu jangkrik di parit lubuk. Maka kita sampailah di lorong mimpi penyair melolong kasur lapuk. Entah berguru dosa pada siapa, ia menggulung ulos dan bernyanyi menyeret-nyeret bulan, saatnya menenun sajak, saatnya menjahit sajak, sebab lama kematian minta ditunggang.

Lalu sunyi saling menggonggong dengan anjing, mengirim kutuk gondang dari jurang-jurang jauh. Petani tua merinding dan menepi di mulut kedai, mengelak ludah dan tulah bibir datu-datu. Duri dan tulang belulang di meja kayu memerangkap mata dan jantung lelaki itu ke dalam tuak. Ia menyeret liur menjalari sepi kampung, merengkuh sedih paling rampung.

Kemana para pemabuk itu, tuan? Ia merangkak, mencari surga di sepanjang dengkur mulutnya, menerangi lumpur di liang busuk parit desa. Ia menenun sajak di lorong tidur dan menjadì tahu: tak hanya daging yang hilang, lengang telah lama jua membunuh jantung. 

Pematangsiantar, 2010

Silobosar
: St S Siallagan

Kisah si anak mematahkan rahang kota-kota, lepas jadi kawanan burung. Seperti mimpi kanak dulu, riak danau pantai Tigaras terbang menjelma bintang-bintang, mengukur tahun-tahun sakit parumu.

Tapi tak mati kita dikubur awan, tak bersayap aku menjenguk lembah dan kelam ladang. Seperti dulu dibalut lumpur, aku pulang tak lagi menumpang truk dan goni pupuk, botol-botol pestisida, kardus-kardus mi instan, plastik gula dan tepung.

Dan suatu ketika, di koran bekas pembungkus ikan asin entah dari laut mana, namaku menghardik mata dan jantungmu. Bapa, ikan mujahir itu kurindu terkisah, tapi alangkah jauh.

Maka kau pahami betapa ajaib usia terbang. Kaulah yang mahir menunggang sayap itu melintasi derita, sekekal Simanindo yang landai, sesunyi batukmu menggali lembah sejarah di Simalungun.

Kelak, kudekap kenangan di makammu: nasi jagung atau ubi rebus, hasrat yang tak terhapus pada derita. Sejauh luka menggali doa, hentak batukmu menghitung duri dan batu jalanan dari tepi pancuran hingga lorong kota-kota. Dahakmu, kuibadahi seperti ombak memukul perahu, seperti peluh ibu menggambar Tuhan di gubuk lapuk itu.

Dan aroma sambal belacan masih menari di sini. Di dada ini. Seperti keringat ibu, lidah dan perut masih mahir menguras liur dan air mata, melayarkan jiwa. Lalu di mana-mana aku seperti menunggang badai. Kukenal laut di puncak lukamu.

Tapi laut mana? Sebab di sampan tak mengayuh si pendahulu pulang, mengisahkan taman dan api terjanjikan. Takdir ke sana lebih jauh ketimbang kenangan. Aku tak akan tersesat, meski sangat sepi rahim ibu memuntahkan takdir di lembah diammu.

Padamu, aku selalu perantau.

Pematangsiantar, 2009
Bagikan:

0 komentar:

Posting Komentar