04 Agustus 2016

Sudah Terbit, Komandan!

Ceritanya, sudah lama tak pernah lagi menikmati suasana pagi. Maka, pada sebuah Minggu subuh  (tepatnya rembang pagi), saya dan istri tercinta beserta anak-anak, memilih sarapan di luar. Sarapan bubur. Bubur ayam, bubur ikan, atau bubur daging, tinggal pilih.


Lokasinya di Jalan Cipto Kota Pematangsiantar. Lokasi ini menjadi salah satu titik yang khas di kota berhawa sejuk itu. Khas karena sekian lama sepanjang sejarah, Jalan Cipto inilah pusat interaksi sosial kaum intelektual. Mulai dari pejabat, politisi, legislator, aktivis, LSM, pengacara, wartawan, hampir setiap saat berkumpul di situ. Mulai dari subuh, siang, petang hingga malam.  Maka ada semacam adagium: barangsiapa tak pernah nongkrong di Jalan Cipto, jangan mengaku paham politik.

Tapi itu dulu. Sejalan dengan karakter konsumtif masyarakat kota, kedai kopi dan kafetaria-kafetaria kini menyebar dan tumbuh subur bak jamur di musim hujan. Kota ini kemudian penuh dengan sarana nongkrong. Dan semuanya ramai. Tak ada yang sepi. 'Kelompok Jalan Cipto' pun mulai berdiaspora. Begitupun, keunikan Jalan Copto sebagai pusat produksi wacana, agaknya belum akan luntur hingga waktu yang masih akan lama.

Demikianlah pagi itu, suasana yang dinamis membangkitkan semangat tentang bagaimana sebuah hari dan aktivitas dimulai. Syabas.

Maka ceritanya, sang istri memilih bubur daging. Saya dan anak-anak ikutan. Entah karena sudah lama tak pernah menikmati bubur khas Jalan Cipto ini, lidah saya berterima. Enak. Dan singkat cerita, satu mangkuk segera tandas. Anak-anak makannya agak lamban. Fenomena anak susah makan agaknya sudah menjadi keluhan para orangtua pada zaman ini. Sulit membahasnya.

Saat menunggu anak-anak selesai sarapan dipandu ibunya, suasana bathin saya tiba-tiba terganggu. Seorang lelaki paruh baya tampak bertelepon. Tak ada yang salah tentang orang bertelepon. Tapi karena suara lelaki itu sangat keras, saya jadi memperhatikannya. Dia berjalan mondar-mandir sebagaimana kebiasaan banyak orang ketika bertelepon. Tangan kirinya menenteng sebuah koran. Dan tangan kanan memegang ponsel, menempel di telinga.

"Selamat pagi, Komandan. Maaf Komandan, mengganggu," demikian pria itu. Saya mengamatinya sekilas-lewat.

"Sudah terbit, Komandan. Halaman 8," ujar pria itu lagi. Perhatian saya yang tadinya sekilas-lewat, kini berubah jadi seksama.

"Pokoknya mantaplah, Komandan. Ada foto Komandan di situ, besar. Pokoknya kalo sama Komandan, apa yang tak kita lakukan? Ganteng kali Komandan di situ," kata pria itu lagi, sambil tertawa.

Dengan segera, saya paham. Tak perlu lagi menduga-duga. Pria itu pastilah seorang wartawan. Dan saya tentu tidak tahu siapa orang yang disebutnya 'komandan' itu. Tentulah itu narasumber. Dan saya benar-benar tak mau tahu. Kalau saya ingin tahu, saya bisa beli koran dengan merek yang ditentengnya. Cukup saya lihat halaman 8, tentu saya bisa tahu siapa tokoh kita bernama 'komandan' itu. Tapi saya tidak melakukannya. Tidak baik mencampuri urusan orang lain. Yang jelas, dari percakapan itu, saya dengar mereka berjanji bertemu hari Selasa. Saya tersenyum.

Demikianlah realitasnya. Banyak narasumber berita, terutama dari kalangan pejabat, seringkali berkata kepada wartawan yang mewawancarainya: "Kalau sudah terbit, beritahu ya. Besar bikin fotonya. Kalau bisa di halaman satu!" Hehe...!

Kami tinggalkan Jalan Cipto pagi itu, sebab anak-anak harus segera ke gereja. Dalam hati saya berpikir, terlalu banyak hal-hal kurang etis terjadi di dunia kewartawanan ini. Dan, wartawan tak sepenuhnya bersalah. ***
Bagikan:

0 komentar:

Posting Komentar