09 Agustus 2016

Salah Kaprah Pemakaian Kata 'Genjot' dalam Berita


Ini bukan berita, tapi judul berita. Ketika membaca judul ini, orang-orang mungkin terkejut, segera terperangkap dalam berbagai tanya. Digenjot maksudnya apa? Dianiayakah? Dipukulikah? Benarkah pemakaian kata genjot ini?



Setelah berita selesai dibaca, ternyata maksudnya adalah dicabuli atau disetubuhi. Dan memang, sejak semula membaca judul itu, sebagian besar pembaca mungkin segera terlempar pada majinasi terlarang, membayangkan sebuah aksi amoral antara seorang istri dengan tetangga, seorang pria yang bukan suaminya.

Yang pasti, judul ini sangat dasyat. Sensasional. Bahkan mungkin dramatis, sebab telah terjadi tragedi sosial di situ, pelanggaran hukum dan norma-norma. Judul yang sungguh memancing rasa ingin tahu. Membuat penasaran. Saya jadi ingat pelajaran mengarang ketika masih duduk di bangku sekolah. Guru Bahasa dan Sastra Indonesia mengajarkan: buatlah judul semenarik mungkin.

Maka, dalam konteks itu, Istri Digenjot Tetangga adalah judul yang baik. Tapi mari kita lihat dalam konteks diksi (pemilihan kata). Benarkah penggunaan kata 'genjot' dalam kalimat itu? Apakah hubungan suami-istri, tindakan pencabulan, atau pemerkosaan, bisa disebut sebagai peristiwa 'penggenjotan'?

Di sisi lain, kita sering membaca di surat kabar atau mendengar di televisi, banyak pejabat atau politisi gemar menggunakan kata 'genjot'. Misalnya dalam kalimat ini: pertumbuhan ekonomi harus digenjot, produktivitas pertanian digenjot untuk mewujudkan swasembada pangan, pekerja digenjot meningkatkan produksi, dll.

Dengan demikian, kita menemukan dua makna kata 'genjot' yang sangat berbeda. Pertama,  'genjot' berarti hubungan suami istri, pencabulan, atau istilah lain yang mengacu pada tindakan seksual terlarang. Kedua, 'genjot' berarti ditingkatkan, dipercepat, atau dimaksimalkan. Mana yang benar?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata ‘genjot’ atau ‘menggenjot’ memiliki beberapa arti: 1. Mengayuh (tentang sepeda, becak, dan sebagainya). 2. Menginjak (pedal mesin jahit kaki). 3. Menyerang dengan hebat, misalnya dalam kalimat: pasukan keamanan menggenjot sisa-sisa pemberontak. 4. Memukul atau menendang (dengan ayunan badan), contoh kalimatnya: ia menggenjot lawannya hingga jatuh tersungkur. 5. Mengintensifkan (mengaktifkan) agar lebih tinggi hasilnya; mempertinggi (memperkeras, mempercepat) produksi dan sebagainya. Contoh: para produsen berlomba-lomba menggenjot produksinya.

Kamus tersebut juga menjelaskan bahwa pada arti nomor 1 dan nomor 2, genjot adalah jenis kata kerja. Sedangkan pada nomor pada  3, 4 dan 5, kata genjot merupakan kata kiasan, yang berarti bukan makna sebenarnya.

Dengan demikian, kata 'genjot' dalam statemen para pejabat dan politisi yang tertulis di suratkabar atau tersiar di televisi itu, bisa dibenarkan meskipun bukan makna sebenarnya. Sebagai kata kiasan, 'genjot'  disitu berarti mengintensifkan (mengaktifkan) agar lebih tinggi hasilnya; mempertinggi (memperkeras, mempercepat) produksi dan sebagainya.

Lalu bagaimana dengan istri digenjot tetangga? Entahlah. Di suratkabar, penjudulan-penjudulan semacam itu juga lumrah terjadi. Kini dan seterusnya mudah-mudahan tidak lagi. Kenapa mudah-mudahan? Sebab adakalanya wartawan dan redaktur 'syor-syor' sendiri bikin istilah, meski ia tidak paham makna istilah itu. Dan celakanya, adakalanya lolos hingga cetak. Inilah salah satu resiko jurnalistik. Resiko yang menyebabkan malapetaka hebat dalam dinamika dan perkembangan kebahasaan kita. ***
Bagikan:

0 komentar:

Posting Komentar