Ketika fajar pagi bersinar, sayup-sayup terdengar suara itu: "Beta hamu bo, Beta hamu, dongan! (Ayo, ayo teman-teman). Itu artinya, satu per satu warga desa mulai bergegas ke sawah atau ke ladang. Dan mereka saling mengajak satu sama lain.
Sawah atau ladang tujuan mereka tentu sama. Milik seorang warga. Ya, mereka akan bergotong royong menuai atau memanen padi milik salah seorang warga. Gotong royong itulah yang dinamai marsiadapari.
Saya beruntung pada masa kanak yang jauh itu masih sempat menyaksikan dan menikmati kebersamaan dan hangatnya tradisi marsiadapari itu. Satu hal yang selalu mengagumkan dikenang: betapa mufakatnya warga desa, betapa tulus bekerja, betapa tingginya tanggungjawab, dan senantiasa penuh keriangan.
Mufakat dalam kegiatan marsiadapari sudah dimulai sejak penentuan jadwal. Misalnya tanggal sekian ke sawah si A, tanggal sekian ke ladang si B, dan seterusnya. Maka, sesama warga desa akan saling memberitahu jadwal itu. Adakalanya, pada malam hari, tuan rumah atau si empunya sawah datang lagi ke rumah teman-teman sedesa mengingatkan. "Unang lupa da, sogot tu hami (jangan lupa ya, besok ke kami)."
Begitupun keesokan harinya, saat fajar pagi bersinar, mereka saling mengajak.
Satu hal paling saya ingat, setiap jadwal marsiadapari masuk giliran ke sawah kami, baik menuai maupun memanen, maka jiwa akan bergembira. Sebab, pada hari itu, ibu akan memasak makanan enak. Sebab begitu lazimnya, saat gotong royong menuai padi, wajib bagi tuan rumah menyiapkan makan siang. Dan acara makan siang ini juga menyuguhkan kisah indah. Sebab acara makan siang biasanya berlangsung di dangau atau sekitar dangau dengan hanya menghamparkan tikar atau pelepah daun pisang. Makan di ruang terbuka dengan angin berhembus semilir, alangkah indah.
Lain lagi jika acara marsiadapari memanen padi. Untuk acara panen, maka mulai sarapan, makan siang hingga makan malam, semua disiapkan tuan rumah. Setelah padi diangkut ke rumah dan ditaruh di lumbung, malam harinya adalah jamuan makan bersama seluruh warga yang ikut marsiadapari. Dan biasanya ini adalah puncak, maka menu makanan pun tersaji lebih istimewa. Ini kelaziman di desa kami, di desa lain mungkin saja berbeda.
Saya selalu terharu mengenang kehangatan itu. Kini, di desa kami yang sesungguhnya masih sunyi itu, hal serupa sudah tak mungkin ditemukan lagi. Banyak hal yang menyebabkan tradisi itu pudar. Areal persawahan kini sudah banyak beralih fungsi jadi lahan darat, diganti dengan tanaman kakao atau kelapa sawit. Masyarakat makin individualistis.
Pudarnya tradisi marsiadapari juga sejalan dengan membaiknya perekonomian desa. Warga yang punya uang, perlahan-lahan mulai enggan ikut marsiadapari. Ketika lahan atau sawahnya memasuki masa tanam atau panen, ia mulai mencari orang untuk diupahkan. Sejak itu pula, muncul istilah manggaji (mengambil gaji ke ladang orang).
Perubahan ini kemudian memunculkan kelas sosial masyarakat di pedesaan. Warga yang sering mengupahkan orang lain mengelola sawah atau ladangnya, dianggap lebih kuat secara finansial. Celakanya, muncul kemudian golongan yang dari hari ke hari pekerjaannya manggaji. Mereka tidak lagi mengerjakan ladangnya. Golongan ini umumnya memang tak punya lahan, tapi menyewa atau mengontrak. Daripada menyewa, setelah fenomena manggaji itu muncul, mereka ebih memilih manggaji dari hari ke hari.
Demikianlah zaman terus berkembang, hingga sektor dagang mulai merayap ke desa-desa. Jenis pekerjaan masyaralat juga makin heterogen. Dan itu menyebabkan tradisi marsiadapari kian jauh terlupakan.
Sesungguhnya, bagi suku Batak, marsiadapari adalah tradisi luhur yang sudah sejak lama dipraktekkan nenek moyang. Konon, tradisi marsiadapari ini bermula dari gotong rotong dalam kegiatan pesta adat. Belakangan, kegiatan ini juga dilakukan dalam rangka saling bantu antara warga ketika musim panen atau musim tanam (marsuan).
Dalam konteks yang lebih luas, marsiadapari sesungguhnya memiliki makna sama dengan semboyan bangsa kita, yaitu "gotong royong". Dengan demikian, bukan hanya orang Batak yang memiliki tradisi marsiadapari. Suku-suku lain juga memiliki tradisi yang sama. Sub etnis Batak seperti Simalungun, Karo, Pakpak, Mandailing, juga menjalankan tradisi ini dengan nama berbeda-beda.
Kini, tradisi itu kian pudar dan sepertinya akan segera hilang. Namun, saya yakin, generasi baru bisa mengenang tradisi ini untuk diambil nilai-nilanya sebagai pedoman menjalani kehidupan modern. Paling tidak, kebersamaan yang kian menipis di tanah rantau bisa ditimbang-timbang di atas kenangan atas marsiadapari. (Panda MT Siallagan)***
Foto/Internet |
Saya beruntung pada masa kanak yang jauh itu masih sempat menyaksikan dan menikmati kebersamaan dan hangatnya tradisi marsiadapari itu. Satu hal yang selalu mengagumkan dikenang: betapa mufakatnya warga desa, betapa tulus bekerja, betapa tingginya tanggungjawab, dan senantiasa penuh keriangan.
Mufakat dalam kegiatan marsiadapari sudah dimulai sejak penentuan jadwal. Misalnya tanggal sekian ke sawah si A, tanggal sekian ke ladang si B, dan seterusnya. Maka, sesama warga desa akan saling memberitahu jadwal itu. Adakalanya, pada malam hari, tuan rumah atau si empunya sawah datang lagi ke rumah teman-teman sedesa mengingatkan. "Unang lupa da, sogot tu hami (jangan lupa ya, besok ke kami)."
Begitupun keesokan harinya, saat fajar pagi bersinar, mereka saling mengajak.
Satu hal paling saya ingat, setiap jadwal marsiadapari masuk giliran ke sawah kami, baik menuai maupun memanen, maka jiwa akan bergembira. Sebab, pada hari itu, ibu akan memasak makanan enak. Sebab begitu lazimnya, saat gotong royong menuai padi, wajib bagi tuan rumah menyiapkan makan siang. Dan acara makan siang ini juga menyuguhkan kisah indah. Sebab acara makan siang biasanya berlangsung di dangau atau sekitar dangau dengan hanya menghamparkan tikar atau pelepah daun pisang. Makan di ruang terbuka dengan angin berhembus semilir, alangkah indah.
Lain lagi jika acara marsiadapari memanen padi. Untuk acara panen, maka mulai sarapan, makan siang hingga makan malam, semua disiapkan tuan rumah. Setelah padi diangkut ke rumah dan ditaruh di lumbung, malam harinya adalah jamuan makan bersama seluruh warga yang ikut marsiadapari. Dan biasanya ini adalah puncak, maka menu makanan pun tersaji lebih istimewa. Ini kelaziman di desa kami, di desa lain mungkin saja berbeda.
Saya selalu terharu mengenang kehangatan itu. Kini, di desa kami yang sesungguhnya masih sunyi itu, hal serupa sudah tak mungkin ditemukan lagi. Banyak hal yang menyebabkan tradisi itu pudar. Areal persawahan kini sudah banyak beralih fungsi jadi lahan darat, diganti dengan tanaman kakao atau kelapa sawit. Masyarakat makin individualistis.
Pudarnya tradisi marsiadapari juga sejalan dengan membaiknya perekonomian desa. Warga yang punya uang, perlahan-lahan mulai enggan ikut marsiadapari. Ketika lahan atau sawahnya memasuki masa tanam atau panen, ia mulai mencari orang untuk diupahkan. Sejak itu pula, muncul istilah manggaji (mengambil gaji ke ladang orang).
Perubahan ini kemudian memunculkan kelas sosial masyarakat di pedesaan. Warga yang sering mengupahkan orang lain mengelola sawah atau ladangnya, dianggap lebih kuat secara finansial. Celakanya, muncul kemudian golongan yang dari hari ke hari pekerjaannya manggaji. Mereka tidak lagi mengerjakan ladangnya. Golongan ini umumnya memang tak punya lahan, tapi menyewa atau mengontrak. Daripada menyewa, setelah fenomena manggaji itu muncul, mereka ebih memilih manggaji dari hari ke hari.
Demikianlah zaman terus berkembang, hingga sektor dagang mulai merayap ke desa-desa. Jenis pekerjaan masyaralat juga makin heterogen. Dan itu menyebabkan tradisi marsiadapari kian jauh terlupakan.
Sesungguhnya, bagi suku Batak, marsiadapari adalah tradisi luhur yang sudah sejak lama dipraktekkan nenek moyang. Konon, tradisi marsiadapari ini bermula dari gotong rotong dalam kegiatan pesta adat. Belakangan, kegiatan ini juga dilakukan dalam rangka saling bantu antara warga ketika musim panen atau musim tanam (marsuan).
Dalam konteks yang lebih luas, marsiadapari sesungguhnya memiliki makna sama dengan semboyan bangsa kita, yaitu "gotong royong". Dengan demikian, bukan hanya orang Batak yang memiliki tradisi marsiadapari. Suku-suku lain juga memiliki tradisi yang sama. Sub etnis Batak seperti Simalungun, Karo, Pakpak, Mandailing, juga menjalankan tradisi ini dengan nama berbeda-beda.
Kini, tradisi itu kian pudar dan sepertinya akan segera hilang. Namun, saya yakin, generasi baru bisa mengenang tradisi ini untuk diambil nilai-nilanya sebagai pedoman menjalani kehidupan modern. Paling tidak, kebersamaan yang kian menipis di tanah rantau bisa ditimbang-timbang di atas kenangan atas marsiadapari. (Panda MT Siallagan)***
0 komentar:
Posting Komentar