25 Agustus 2016

Kisah Sanggar, Tinittip Baen Huru-huruan


Oleh Panda MT Siallagan

Ada satu jenis rumputan liar yang sangat terkenal dan akrab dalam kehidupan masyarakat Batak. Mereka menamainya sanggar. Tumbuhan ini banyak tumbuh liar di tepi jalanan desa, dan hingga saat ini masih mudah ditemukan.

Sanggar atau riang-riang.
Sesungguhnya, tumbuhan ini sangat tidak bersahabat. Daun atau pelepahnya tajam dan bisa menyayat tangan atau tubuh jika tergesek. Terlebih bunga dan malai (bulir) biji-bijinya, terasa sangat gatal jika terkena ke bagian tubuh. Begitupun, tumbuhan ini sangat akrab deengan budaya Batak.

Sebuah lagu terkenal berjudul Tinitip Sanggar, misalnya, sangat populer di kalangan masyarakat Batak, terutama generasi muda dalam konteks pergaulan. Demikian lirik lagu itu:

Natinitip sanggar ito da
Lao bahen huru-huruan da
Jolo sinukkun marga
Asa binoto ito da partuturan da


Lirik lagu itu kental dengan nuansa pantun atau umpasa. Dua larik pertama merupakan sampiran, dan dua larik terakhir merupakan isi. Jika diterjemahkan secara bebas, kira-kiranya maknanya seperti ini:

Potong dulu sanggar
Membuat sangkar burung
Tanya dulu marga
Agar tahu pertalian


Ini menjadi pesan bagi generasi muda bahwa pergaulan harus terlebih dahulu mengedepankan perkenalan, saling mengetahui marga masing-masing, dengan demikian tahu memposisikan diri dalam langkah selanjutnya. Sama seperti membuat sangkar burung, harus terlebih dahulu sanggar dipotong-potong sebagai bahan.

Sesungguhnya, sangat banyak lagu Batak menggunakan frasa tinitip sanggar ini. Maestro opera Batak Tilhang Gultom juga pernah menciptakan sebuah lagu yang menggunakan frasa tinitip sanggar.

Saya kadang sangat gembira setiap kali melihat rumpun-rumpun sanggar ini masih banyak berada di tepi-tepi jalan. Ingatan masa kanak-kanak bangkit. Bagi kami anak-anak desa, sanggar adalah pertaruhan kreativitas. Masih nyata di ingatan, saya bersama teman-teman sebaya masih mahir membuat huru-huruan (sangkar burung) dari batang-batang sanggar ini.

Batangnya memang lunak, berbuluh dan berbuku (punya ruas seperti tebu), bagian dalamnya menyerupai gabus. Batang rumput itulah dipotong-potong sesuai ukuran yang diinginkan, dilubangi sesuai kebutuhan, kemudian dirangkai atau dibuhul dengan lidi.

Bentuk sangkar yang tercipta bisa bermacam-macam. Bisa berbentuk alakadarnya, bisa menyerupai rumah adat, dan biasanya dibuat pintu yang bisa naik turun. Huru-huruan memang bukan sekedar tempat burung, tapi sekaligus berfungsi sebagai alat jerat.

Dengan memasukkan burung pipit ke dalam sebagai umpan pemanggil, pintu sangkar didesain terbuka. Begitu burung-burung pipit lain datang dan masuk, maka burung tersebut akan menyentuh semacam 'kunci', dan pintu tertutup. Pipit yang datang akan terjebak. Alangkah bangga dan riang jika kita berhasil mendapatkan banyak burung. Saya selalu terharu mengenang kisah itu.

Adakalanya saya rindu menyaksikan kreativitas anak-anak serupa itu, yang sungguh bersahabat dengan alam. Tapi zaman terus berubah, hal-hal indah di masa lalu semakin banyak yang hilang.

Selain kreativitas itu, sanggar juga menyisakan kenakalan, sebagaimana lazimnya kegemaran anak bermain dan terkadang usil. Bulir-bulir sanggar yang gatal itu, kadang digunakan sebagai alat untuk saling mengusili. Misalnya, seorang anak sengaja memetik dan mengumpulkan biji-biji sanggar, lalu digenggam diam-diam. Ketika seorang teman lalai, biji-biji itu dimasukkan melalui kerah baju di leher, masuklah biji-biji itu ke badan. Dan si teman yang jadi korban itu merasa gatal pada sekujur badan. Dan si anak usil akan tertawa-tawa.

Tapi demikianlah, meski sanggar sangat populer di kalangan masyarakat Batak, tak banyak yang tahu, apa sesungguhnya bahasa Indonesia tumbuhan ini. Setelah saya telusuri, ternyata namanya rumput pimping atau riang-riang. Pimping atau rumput riang-riang, nama latinnya themeda gigantea, sejenis rumput mirip gelagah, anggota dari suku padi-padian. Tumbuhan ini menyebar luas bukan hanya di Indonesia, tapi juga terdapat di wilayah Indocina hingga Pasifik.

Belakangan, rumput ini juga banyak digunakan sebagai obat alami penurun demam. Untuk obat demam ini, konon yang digunakan adalah tunasnya atau sanggar yang baru tumbuh. Setelah dibersihkan, tunas itu direbus, lalu airnya diminum pagi dan sore hingga penyakit demam itu sembuh.

Sumber lain menyebutkan, batang-batang sanggar itu sangat baik digunakan sebagai bahan pembuat kertas. Hanya saja, karena jumlahnya terbatas, kapitalis kemudian memggunduli hutan untuk memproduksi kertas, lalu diganti dengan eukaliptus. Baiklah, lupakan kapitalisme itu, mari bernyanyi:

Natinitip sanggar da
Lao bahen huru huruan da
Jolo sinukkun marga
Asa binoto ito da partuturan da 


***
Bagikan:

1 komentar:

Terimakasih kunjungan Anda. Salam Literal...!