03 Agustus 2016

Penjual Bandrek


Cerpen Panda MT Siallagan

Seandainya ia tidak pernah muncul, mungkin selamanya kehidupan di komplek perumahan kami akan berlangsung tegang, kaku dan tanpa kehangatan. Kami, seluruh warga, mungkin akan selamanya dipisahkan sekat-sekat bisu, selalu merasa tak perlu bicara dan bertegur sapa dengan para tetangga. Semuanya tenggelam dalam kesibukan kerja dan saling berlomba menimbun pundi harta, lalu saling iri dan benci tanpa sebab yang masuk akal. Si A berhasil merenovasi rumah, si B ganti mobil, si C belanja perabot, memunculkan praduga-praduga buruk dan beragam gosip. Keberhasilan orang lain adalah ketidaktenangan bagi pihak lain, semacam kutuk mengerikan, berputar menyebar kebencian. Ah, segalanya berlangsung melelahkan.

Ilustrasi.
Untunglah ia hadir membawa suasana berbeda. Saat pertama kali muncul, ia mengelilingi komplek perumahan kami sembari mendorong gerobak, memukul-mukul piring kaleng dengan sendok, sambil berteriak-teriak menjajakan dagangannya. “Baaandrek…bandreeekkk.”

Awalnya, orang-orang hanya melongok lewat jendela, sebagian bahkan merasa terganggu mendengar denting sendok dan piring kaleng yang beradu. Tidak seorang pun membeli dagangannya pada malam pertama kemunculannya.

Malam berikutnya, seorang nyonya pemilik rumah di dekat gapura, menyuruhnya berhenti dan memesan segelas. Sigap ia membuka dandang, mengambil gelas, menuangkan bandrek, lalu menyerahkannya kepada wanita itu. Wanita itu menyeruputnya sedikit demi sedikit hingga akhirnya tandas.

“Berapa?” tanya wanita itu.

“Lima ribu perak, Bu. Tapi Ibu tak usah bayar. Saya sudah bernazar, siapapun pembeli perdana, saya akan beri gratis.”

Wanita itu tertegun. Ia paham arti nazar.

“Terimakasih,” katanya.

Sejak itu, kehadiran penjual bandrek menjadi perbincangan hangat di komplek kami. Cerita tentu saja bersumber dari Mak Tontu, pembeli perdana sekaligus pembeli satu-satunya pada malam kedua. Mak Tontu memang terkenal sebagai ratu gossip. Segala hal bisa menjadi menarik diramu mulutnya, sama seperti semua hal bisa menjadi sangat buruk disulut celotehnya. Maka tersiarlah kabar, penjual bandrek itu baik, ramah, dan sangat santun. Bandreknya enak, campuran gula aren dan jahe sangat pas, mujarab mengusir dingin, berkhasiat melegakan tenggorokan, mumpuni mengobati masuk angin. Tak lupa, Mak Tontu menggencarkan pendapat: sayang dia jadi penjual bandrek, padahal wajahnya sangat tampan, masih muda, pantas jadi pujaan banyak wanita.

Selanjutnya, pemuda tampan penjual bandrek itu kebanjiran pelanggan. Awalnya karena penasaran, tapi kemudian benar-benar membeli karena ingin. Untuk pertama kali, gosip yang menyebar dari mulut Mak Tontu terbukti benar. Bahkan banyak ibu-ibu yang kemudian tak hanya membeli bandrek, tapi juga mengajak pemuda itu berbincang-bincang. Tapi sayangnya, penjual bandrek itu hanya menjawab pertanyaan seperlunya. Dia bukan tipe lelaki yang enak diajak bicara, tapi tetap disukai ibu-ibu, sebab senyumnya memancar tulus. Seperti ada cahaya malaikat di matanya, kata sebagian orang. Sebagian lagi berpendapat, kebaikan hatinya berpendaran dari wajahnya.

Lalu, suatu malam, penjual bandrek itu tidak muncul di komplek. Beberapa orang yang sejak sore sudah menanti, mengaku merasa kecewa. Sesungguhnya ia tetap datang, tapi tidak lagi berkeliling di komplek. Ia mangkal di pos satpam dekat gapura, tak jauh dari rumah Mak Tontu. Mak Tontu yang mengetahui hal itu, langsung menghampiri penjual bandrek itu. Ia tentu saja bertanya mengapa pemuda itu tidak lagi berkeliling di sekitar komplek. Pemuda itu menjawab, itu dilakukannya agar pelanggan tidak kecewa. Pasalnya, pembeli mulai kerap mengajaknya ngobrol tanpa peduli waktu. Jika setiap pembeli mengajaknya ngobrol 20 menit, maka dalam sejam ia hanya bisa menjual 3 gelas dari rumah ke rumah. Itu artinya sejak pukul 19.00 hingga pukul 23.00, ia hanya bisa menjual 12 gelas, padahal di dalam dandang itu ada sekitar 50 gelas yang dibawanya setiap malam. Banyak pelanggan akhirnya kecewa karena terlalu lama menunggu, bahkan terkantuk-kantuk di teras rumah. Ia akhirnya memutuskan mangkal dekat pos satpam, sehingga pembeli bisa datang sendiri. Cerita inipun menyebar luas dari mulut Mak Tontu.

Ada yang berubah sejak itu. Vivi Lestari dan Dian Harta, dua gadis manis bertetangga yang sebelumnya tidak pernah saling menyapa karena kesibukan kerja, menjadi sering berpapasan ketika membeli bandrek, lalu saling melempar senyum dan akhirnya bersahabat karib. Keluarga Sinaga yang tak pernah akur dengan keluarga Pak Broto, akhirnya saling menyapa saat bertemu ketika membeli bandrek. Pak Lurah yang sepanjang kukenal hanya tahu minta sumbangan untuk kegiatan-kegiatan tak jelas, mulai bertanya tentang kabar warga. Anak-anak kecil mulai saling mengenal, saling mengunjungi, bermain dan belajar bersama, bahkan beberapa membentuk kelompok belajar. Para orangtua senang, anak-anak makin cerdas.

Tak terkecuali di keluarga kami, penjual bandrek itu sering menjadi topik pembicaraan. Bapak yang sering mengalami pegal linu, mengaku lebih sehat setelah rutin minum bandrek. Sulastri, adikku paling bungsu, sering merengek-rengek minta dibelikan bandrek terlebih jika hujan turun dan cuaca sangat dingin. Ibuku, wanita pendiam yang sepanjang kukenal tak mempan gosip, kali ini ketularan. Dia tidak hanya bicara soal citarasa bandrek, tapi juga soal lelaki itu. Ibu jadi suka membandingkan lelaki itu dengan anak-anak muda komplek yang hanya tahu nongkrong, minta uang rokok kepada orangtua, keluyuran hingga larut malam bahkan tersiar desas-desus bahwa sebagian anak-anak muda itu telah terjerat ganja. Sudah menjadi rahasia umum bahwa tanah kosong di ujung komplek sering digunakan pemuda-pemuda pengangguran sebagai tempat untuk mabuk-mabuk dan mengisap ganja. Bagi ibu, penjual bandrek itu adalah contoh bagaimana seorang anak muda dapat berusaha, punya cita-cita dan keseriusan menjalani hidup. Ia adalah pemuda yang patut ditiru.

Hingga suatu malam, aku marah besar pada ibu. Di tengah perbincangan tentang penjual bandrek itu, ibu tiba-tiba menawarkan agar aku berkenalan dengannya. Darahku tersirap. Ubun-ubunku tegang. Hatiku sumbat. Kukatakan bahwa saran ibu adalah penghinaan dan aku membantah tegas tawarannya.

“Kenapa?” tanya ibu.

“Ibu sadar tidak, aku ini sarjana loh, sudah PNS? Pokoknya tidak. Tidak. Jangan lagi sekali-kali Ibu bicara seperti itu.”

“Kenapa kau marah? Ibu hanya menawarkan, kalau kau tidak mau, katakan baik-baik, tak perlu teriak-teriak seperti itu. Hanya kau perlu tahu, tidak ada pemuda sebaik itu di jaman ini….”

“Sudah, sudah, aku tak mau bicara soal itu.”

“Kau aneh, semua orang menilai dia baik, hanya kau yang tidak pernah peduli. Kau tidak pernah mau melihatnya. Kau sombong, Ira! Kau angkuh! Kau bisa seperti sekarang, kau pikir karena bapak dan emakmu kaya? Bapakmu hanya penarik becak, apa kau lupa? Apa kau lupa ibumu ini hanya seorang tukang cuci. Kau lupa menengok sejarahmu….”

Kutinggalkan ibu dan berlari ke kamar. Pintu kubanting keras dan kukunci dari dalam. Aku sangat terluka mendengar tuduhan ibu. Aku sombong? Aku angkuh? Aku sangat benci kata-kata buruk itu dituduhkan padaku, sebab sepanjang kutahu, aku tidak pernah angkuh dan tidak pernah memandang rendah siapapun. Diam-diam aku mengutuk penjual bandrek itu, sebab kehadirannya membuatku terluka. Tak pernah kuingat ibu bicara sekasar itu. Juga tidak pernah aku melawan ibu sekeji itu.

Kuhempaskan tubuhku di ranjang. Aku sangat sedih. Airmata menderas dari mataku. Andai ibu tahu, sesungguhnya aku sedang merindukan seseorang. Seseorang yang mungkin membuat ibu lebih marah. Andai ibu tahu siapa lelaki yang kudamba itu, ibu mungkin akan menuduhku perempuan tolol yang tak tahu diri.

Sambil terisak, aku ingat lelaki itu. Lelaki bemata merah, mulut berbau alkohol, rambut gimbal tak terurus dan telinga ditenggeri anting-anting besar. Ingin aku keluar kamar dan berkata pada ibu bahwa aku mencintai lelaki seperti anak-anak muda komplek yang dikecamnya.

Apakah aku aneh? Seharusnya aku memang membenci lelaki itu, sebab ia nyaris mencelakaiku. Aku bertemu ia di persimpangan menuju komplek ketika pulang kemalaman mengikuti rapat di dinas. Ia mencegatku, menodongkan pisau dan meminta seluruh perhiasan yang kukenakan. Aku hampir pingsan. Tapi ketika kutatap matanya, sesuatu membuatku trenyuh. Warna merah itu adalah warna penderitaan.

“Baik, jauhkan pisaumu, kuberikan permintaanmu,” kataku.

Dia mundur beberapa langkah.

“Kau laki-laki, kenapa pakai anting? Apa kau tak malu?”

Aku melontarkan pertanyaan itu untuk menenangkan suasana. Lelaki itu tersenyum. Tapi aku tetap dilingkupi rasa takut. Jantungku berdegup laju. Kulihat sekeliling sangat sepi. Aku tahu, tidak akan ada pertolongan. Maka kuajak dia ke warung kopi tak jauh dari persimpangan itu. Aku pasrah, jika ia benar-benar merampok, cukup kusarankan agar dia tidak melukaiku, dan semua perhiasanku akan kuserahkan padanya. Kami lalu minum kopi.

“Mau ke mana?” tanyanya.

“Mau pulang, rumahku di komplek itu.”

“Oh, kuantar ya?”

“Tidak usah.”

“Maaf ya, Mbak! Tadi aku benar-benar ingin merampok.”

“Kenapa?”

“Ibu sakit keras. Tidak ada uang beli obat. Bapak sudah tak ada. Aku hanya bisa memberandal. Di mana-mana tak diterima kerja, hanya tamat SD. Aku sedih tak bisa berbuat apa-apa. Mbak bisa bantu aku?”

“Aku punya sedikit uang, mungkin tak cukup,” kataku sambil membuka tas dan mengeluarkan beberapa lembar uang dan memberinya kepada lelaki itu. Aku tetap curiga, sebab banyak modus kejahatan saat ini. Tapi aku tulus memberikan uang itu karena ingin segera bebas dari cengkeramannya. Tapi saat kulihat matanya berkaca-kaca, aku yakin dia tidak berbohong. Mendadak dia beranjak dari kursi, tanpa pamit langsung berlari meninggalkan warung. Di kejauhan, dia menoleh lagi sambil berteriak dengan suara parau menahan tangis, “Terimakasih nona. Doakan ibuku sembuh. Moga rezekimu bertambah.”

Aku beranjak sedih dari warung itu. Dan sejak itu, ingatanku padanya tak pernah lekang. Bayangnya selalu hadir melintasi malam-malamku. Aku tahu aku jatuh cinta padanya. Jatuh cinta pada lelaki berandal yang bahkan tak kutahu nama dan di mana ia berada. Ibu tidak tahu aku mencintai lelaki berandal. Ibu malah menuduhku angkuh, sombong dan lupa pada sejarah, hanya karena seorang penjual bandrek.

Akhirnya aku keluar kamar. Kutemui ibu di ruang tengah Kuceritakan segalanya pada ibu. Aku tidak setuju dituduh sombong. Usai menceritakan itu, aku minta maaf. Ibu memelukku dan berkata, “Ibu juga minta maaf. Ibu hanya menyarankanmu berkenalan dengan dia, tidak menyuruhmu pacaran. Dia sangat baik Nak. Malam hari dia jualan bandrek, siang hari dia jadi tukang sorong di pasar. Tadi pagi ketika belanja, dia membantu ibu mengangkat belanjaan ke oplet tanpa minta upah. Ibu terharu. Itu saja.”

Demikianlah, cerita tentang penjual bandrek itu terus berdengung. Seluruh warga di komplek kami semakin suka padanya. Dagangannya semakin laris. Aku juga mulai suka menyuruh Sulastri membeli bandrek untukku, benar-benar nikmat. Lega rasanya ketika air jahe itu mengaliri tenggorokan. Tersiar pula kabar, hampir semua ibu-ibu di komplek selalu dibantunya ketika belanja di pasar. Aku sendiri mulai realistis dan tidak lagi berpikir tentang lelaki berandal yang pernah ingin merampokku.

Lalu, suatu malam, aku penasaran melihat penjual bandrek itu. Kuajak Sulastri keluar untuk minum bandrek sekaligus menikmati suasana komplek pada malam hari. Kebetulan cuaca sangat cerah, bulan separuh bersinar dari langit. Begitu tiba di pos satpam, aku hampir pingsan. Tubuhku bergetar. Oh Tuhan, penjual bandrek itu, lelaki berandal itu.

Pematangsiantar, Juni 2008 

* Cerita ini pertama kali dimuat di harian Suara Pembaruan


Bagikan:

0 komentar:

Posting Komentar